Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES 2. Gimana Rasaya?

Setelah sepekan, hari ini Ardan sudah di perbolehkan pulang. Dokter telah mengatakan kalau hasil lab Ardan bagus, walau ada sedikit keretakan dibagian tulang belakangnya, Ardan harus tetap hati-hati. Akibat terpeleset waktu itu ia harus di larikan ke rumah sakit. Bagi sebagian orang terpeleset adalah hal yang lumrah dan akan mengatakan kurang hati-hati.

Namun, untuk hal sekecil itu, bagi Ardan adalah bencana. Dia bahkan tidak pernah memikirkan akibatnya, jadi jangan salahkan Ardan jika dia harus ke rumah sakit setiap kali terpeleset.

Ardan itu hyper, apapun bisa dia lakukan, apapun bisa dia tiru, jika terpeselet adalah kecerobohan, Ardan tidak melakukannya dengan sengaja. Bahkan ini bukan kali pertama Ardan mengalaminya. Sudah sering, biasanya hanya terkilir lalu di urut oleh Panji. Hal kecil utnuk Ardan, tapi tidak untuk Panji

Panji cukup tahu bagaimana adiknya bertingkah, seperti orang kurang asupan, apalagi kalau sudah heboh dengan sebuah film favoritnya. Anak itu akan banyak bicara dan meniru setiap gaya pemainnya.

"Gue cuma ngasih tahu sekali, jangan buat gue tambah emosi. Dengar Ar?!"

Percuma saja, anak itu akan mengangguk namun tidak benar-benar dengarkan dengan baik. Ardan hanya anak remaja biasa yang ingin main dan bermalas-malasan sesuka hati.

"Gis! Dengar ngga, sih?"

"Iya, Kakakku sayang, ada apa sih, sewot terus deh kerjaannya."

Jika Ardan sudah memanggilnya bergitu, artinya dia memang mendengarkan. Meski ada rasa kesal jika adiknya memilih dengan dunianya sendiri. Menurut Dokter Sahwa Ardan hanya butuh istirahat sehari lagi agar tubuhnya benar-benar pulih. Tapi, anak itu tidak akan tenang kalau Kakaknya belum bersabda untuk memperingati jangan sekolah sebelum waktunya.

"Lo harus di rumah, jangan keluyuran apalagi mangkal di rumah Pitter."

"Yah. Gak asik banget sih, gue berasa jomlo kalau gini caranya."

"Ya, terserah, kalau lo gak mau mati muda, gue sih bodo amat."

Jangan katakan apapun setelah ini. Ardan memang suka membantah, apapun yang di rasa kurang enak dia akan mengomentari meski hal kecil sekali pun.

"Huh! Selalu begitu, sekali aja buat gue seneng, susah banget kayaknya."

Panji tidak menyahut, cowok itu memilih menyibukkan dirinya dengan membereskan beberapa pakaian ke dalam tas, setelah di rasa sudah semua dan siap dibawa pulang. Suara Ardan tidak lagi terdengar, Panji melirik sebentar sebelum akhirnya ia memekik kesal karena ulah Ardan yang sembarangan.

"Ar, gue bilang turun dari sofa itu, nanti lo jatuh lagi."

Ardan tidak peduli, anak itu justru berceloteh dengan bangganya sambil berjalan ke sana ke mari di atas sofa.

"Dasar anak tidak tahu diri, kamu pikir saya suka melihatnya? Harusnya saya tidak datang, kalau tahu kamu berpura-pura."

Suara barinton yang tiba-tiba itu berhasil menghentikan Ardan, membuat Panji mengalihkan tatapnya pada sosok yang berdiri diambang pintu kamar Ardan yang memang tidak tertutup rapat.

"Aku juga ngga berharap Papa datang, tapi tolong hargai perasaan aku, Pa." kata Panji. Cowok itu justru sudah melangkah lebih dulu untuk mendekat. Sementara Ardan, anak itu memilih duduk diam di sofa membiarkan nyaring suara teriak Panji dan Papanya menggema di sana.

Ardan cukup paham apa yang di katakan kedua pria yang masih berdiri di sana. Membiarkan semuanya berkicau bagai burung. Hanya saja, Ardan tidak sekuat itu pendengarannya selalu bermasalah ketika suara nyaring mulai menusuk masuk tanpa permisi.

"Dengar Panji, kamu itu anak Papa satu-satunya, jadi tolong hormat sama Papa."

Panji mendecih ketika mendengar ucapan Aries, Papa-nya. Dengan mudahnya mengatakan anak, padahal pria itu sudah memiliki dua putra bukan hanya satu, tapi dua.

Panji heran mengapa Aries bisa sebenci itu bila melihat Ardan yang statusnya anak kandung, bukan anak tiri atau anak pungut. Jika bukan karena Ardan, mungkin saat itu Panji sudah menolak kehadiran Aries selamanya.

"Bang, udah. Gue yang salah, udah biarin aja. Emang ngga seharusnya gue bersikap kayak tadi, sama lo."

"Saya sama sekali tidak habis pikir, saya membuang banyak uang hanya untuk menyekolahkan kamu, tapi apa yang saya dapat dari kamu? Anak tidak tahu sopan santun begini."

Ucapan Aries memang sudah keterlaluan, sejak dulu pria itu hanya bisa menyalahkan Ardan atas kesalahannya sendiri, bahkan pria itu hampir saja melenyapkan Ibu-nya, Alsha.

"Kalau Papa pikir itu hutang, aku yang akan membayarnya. Jadi Papa ngga perlu takut harta Papa habis. Denger ya, Pa. Papa itu manusia berjiwa iblis yang hanya ingin senang tapi tidak mau susah."

Setelah puas mengucapkan kalimat panjangnya, satu tamparan melayang tepat di pipi kiri Panji begitu keras sampai cowok itu memejam dan memeganginya.

Tak ada yang bisa Ardan lakukan kecuali hanya diam. Jika boleh jujur, rasanya melihat Panji di sana seolah melihat dirinya saat usianya masih belia dulu.

🍭🍭

Perselisihan saat di rumah sakit tadi memang mencekam. Beruntungnya Alsha datang tepat waktu, jika terlambat sedikit saja mungkim Panji sudah menjadi jadi pelampiasan Aries.

Ardan hanya khawatir karena dirinya Panji semakin membenci Aries, karena dirinya Panji semakin menjauhi Aries. Panji hanya perlu menjelaskan padanya, 'kan? Lalu mengapa Kakaknya terus bungkam jika setiap kali Ardan bertanya alasan sebenarnya..

Kini, mereka memang sudah kembali ke rumah, bahkan sepanjang perjalanan jArdan hanya diam. Anak itu tidak tahu harus mengatakan apa pada Panji. Melihat Kakaknya saja dia masih belum berani mengingat bahwa tamparan itu memang benar-brnar nyata dan di lakukan di depan matanya.

" kamu kenapa, Nak?"

Suara lembut Alsha kini menjadi akhir dari lamumannya, sejak kembali ke rumah, Ardan benar-benar diam. Duduk bersandar pada kursi belajar sambil mematap bingkai foto yang terpajang di depannya. Ardan tidak tahu harus mengatakam apalagi pada Alsha kalau dirinya lelah.

"Mi, kenapa Papa ngga suka sama aku?"

Alsha tersenyum lalu mengusap pumggung putra bunhsunya dengan sayang. Alsha hanya ingim melihat senyum di wajah Ardan bukan sebaliknya. Wanita itu diam sejenak, memutar memorinya yang telah ia simpan rapat kini harus dibuka perlahan.

Mata mereka beradu, membiarkan mata sipit Ardan mencari celah untuk menemukan jawab yang dia coba gali. Namun, sekali lagi dirinya gagal, Alsha justru memalingkan wajahnya begitu tahu kalau Ardan memang ingin tahu lebih banyak.

Alsha lupa kalau putra bungsunya adalah anak yang memiliki beribu cara, bukan dengan kata tapi juga dengan tingkah laku yang membuar siapa saja akan gemas.

"Mi, kok diem? Aku nanya dari tadi, Mami malah diem, kenapa?"

Alsha menggeleng, wanita itu hanya melepas senyum sebelum ia memilih bangkit dan pergi meninggalkan Ardan. Bukan karena tak bisa menjawab, hanya saja Alsha masih ragu untuk menjelaskan alasannya pada Ardan.

Hari semakin sore, tadi setelah mengantarkan Ardan pulang Panji langsung pamit untuk pergi ke kampus, karena ada jadwal mata kuliah wajib yang harus dihadiri.

"Gis, ayo turun, makan dulu."

Suara lembut Alsha sudah berulang kali memanggil Ardan, namun jawabanya tetap sama. Anak itu tidak akan keluar jika belum di teriaki oleh Panji. Seperti sekarang, Panji baru saja muncul dari balik pintu melangkah masuk lalu  mendekati Maminya. Memeluknya dari belakang sampai wanita itu terkejut.

Perlahan Alsha mengusap pipi putra sulungnya, mengingat tadi Ardan bercerita kalau Kakaknya di tampar oleh Aries.

Alsha memang tidak pernah melawan bagaimana suaminya bertindak, wanita itu hanya takut jika dia melawan yang akan jadi sasarannya adalah Ardan. Suaminya bisa saja melakukan hal yang tidak diinginkan.

"Maafin Papa kamu, ya Sayang." ucap Alsha, mendengar itu perlahan peluk itu terlepas. Membiarian jarak kembaki menjadi satu-satu jalan untuk tidak

"Mami jangan paksa aku buat minta maaf apalagi maafin Papa. Mami tahu, 'kan? Aku ngga suka sikap Papa karena apa, aku harap Mami ngga lupa. Aku permisi ke kamar duluan."

Katanya, lalu Panji berlalu meninggalkan Alsha yang masih diam terpaku di tempatnya. Membiarkan punggung itu menghilang dari pandangnya.

"Gimama rasanya, Bang?"

Satu pertanyaan yang harusnya tidak pernah Ardan tanyakan ketika mood Panji sedang hancur. Panji hanya menatap kemudiam pergi melewati Ardan yang baru saja keluar dari kamar. Pandang mereka beradu walau sebentar.

"Gue harap lo gak bodoh, Gis. Lo tahu apa yang gue maksud." gumam Panji sebelum cowok itu benar-benar pergi meninggalkan Ardan yang terpaku di tempat ia berdiri sekarang, sebelum ia menuruni anak tangga dan menemui Maminya.

Ardan hanya lupa, bukan sengaja untuk bertanya kalau kejadiannya memang tidak seenak yang dia pikirkan.


Salm manis NJ
Terima kasih, sudah mampir 😊

Publish 30 September 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro