Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 18 Asing.

Sore tadi Pitter mengantarkan Ardan pulang ke rumahnya. Namun, di tengah perjalanan anak itu mengaduh kesakitan. Pitter tidak tahu apa yang dialami Ardan ketika ia masih di di sekolah sebelum bel pulang. Ketika Pitter melihat punggung Ardan di sana terdapat luka yang cukup mengganggu penglihatan.

Awalnya Pitter hanya diam biasa saja, dia hanya berpikir itu luka kecil dan mudah diobati. Tapi nyatanya tidak semudah yang dipikir. Ardan justru mengeluh seolah itu luka yang cukup serius. Sejauh Pitter mengenal Ardan, baru kali ini Pitter melihat Ardan hanya meringkuk dibalik selimut tebal milik Panji.

Sejak pulang sekolah anak itu tidak berniat untuk beristirahat di kamarnya, dia memilih untuk mengisi kamar Panji yang dia katakan kamar itu akan kosong setiap saat jika tidak diisi.

Pitter tidak bodoh, Pitter tidak lupa, dia hanya terlalu sayang pada Ardan bahkan dia rela untuk menemani anak itu sampai terlelap. Untuk beberapa jam Pitter hanya diam, menatap wajah Ardan yang terlihat lesu tak bergairah. Bibirnya yang biasanya cerah tapi tidak untuk yang dilihatnya saat ini. Anak itu tampak pucat, bila mengingat bagaimana dia pergi tiba-tiba kemarin setelah melihat Panji.

"Gis, gue, Jupitter Permana berjanji akan selalu ada buat lo. Gue mau jadi satu-satunya orang yang tahu kalau lo bahagia, setelah Panji dan Nyokap lo." gumam Pitter. Jemarinya tak henti mengusap rambut Ardan. Sekesal apapun Pitter pada Ardan, di dasar hatinya cowok itu sangat sayang walau dia tahu, Ardan hanya orang lain yang berhasil mengusik ketenangannya setiap kali dia ingin sendiri. Hanya Ardan yang bisa membuatnya kesal  dan gemas dalam waktu  bersamaan. Hanya Ardan yang mampu membuatnya rela membolos karena alasan bosan dan hanya Ardan yang berhasil merebut  perhatiannya dari  kegiatan yang begitu sibuk.

Kini Pitter sadar kalau Ardan segalanya. Dia tak peduli celoteh kejam orang-orang yang memandang Ardan sebelah mata, baginya Ardan adalah sosok adik yang sejak dulu Pitter inginkan. Ardan adalah pelengkap dikala sepi menghampiri. Ardan adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah dunia sunyi yang Pitter lalui menjadi warna dan ramai.

"Abang.... Abang..." gumam Ardan mengejutkan Pitter, cepat-cepat dia menjauhkan tangannya lalu menepuk lengan Ardan pelan. Pitter bisa melihat gerak kelopak mata serta kerutan dikeningnya yang menandakan kalau dia ketakutan.

"Gis, gue di sini temenin lo sampai Bang Panji pulih. Gue ada buat lo, jangan takut lagi, ya." bisik lembut yang Pitter katakan selalu bisa menenangkan  Ardan. Walau Ardan tahu Pitter hanya orang asing yang masuk dikehidupannya  lalu menjelma menjadi satu diantara banyak orang yang mau menerima keadaannya.

🍭🍭
Dulu...ketika Ardan kecil, anak itu hanya bisa melihat anak-anak seusianya bermain bola bersama dilapangan kompleks perumahan. Saat itu Ardan hanya seorang diri duduk di tepi lapangan  sambil tersenyum memegangi permen lolipop. 

Namun, ketika ia tengah asik menikmati apa yang dilihatnya tiba-tiba sebuah botol bekas mendarat mengenai kepalanya. Anak itu menekik kesal, mengoceh lalu berdiri sambil memegangi botol yang tadi mengenainya.

"Siapa sih yang main-main botolnya, kan sakit kena kepalanya aku, ih nanti aku bilangin Mami sama Abang!" gerutunya begitu kesal. Bahkan permennya yang tinggal setengah tak sengaja terlempar karena terkejut.

Tak lama suara anak laki-laki lain berteriak meminta botol yang ada pada Ardan. Ardan hanya diam menatap anak laki-laki yang berlari ke arahnya sambil melambai.

"Ah! Ketemu! Sini balikin punya aku." kata anak laki-laki itu, Ardan terkejut, dia menatap heran dan bingung ketika anak laki-laki yang merebut paksa botol bekas dari tangannya. 

"Kamu nggak dengar? Ini botol aku! Tadi kelempar. Dengar nggak?"  kata anak laki-laki itu. Kesal dan gemas rasanya menatap Ardan yang  hanya diam sambil mengerjap. Akhirnya anak itu pun melangkah sedikit mendekat lalu mengulang kata-katanya begitu keras sambil mengarahkan jarinya pada botol lalu menunjuk kembali pada dirinya sendiri.  Cukup lama anak laki-laki itu berusaha memberikan pengertian, barulah Ardan mengangguk paham dan tersenyum.

"Tapi tadi kena kepala aku, sakit tahu!" gerutu Ardan. Ada rasa bersalah yang anak laki-laki itu perlihatkan, akhirnya anak itu memilih cara agar Ardan mengerti. Anak itu menautkan kedua telapak tangannya untuk meminta maaf, Ardan hanya mengangguk.

"Aku Pitter." katanya, sambil mengulurkan sebelah tangan di hadapan Ardan. Ardan sempat ragu, dia kembali menatap wajah anak laki-laki yang sejak tadi berdiri cukup lama di depannya. 

"Aku mau jadi teman kamu, boleh?"  tanyanya, Ardan kembali tersenyum, dia pun menerima uluran tangan Pitter sambil memperkenalkan dirinya begitu antusias.

"Algis."

Singkat dan mudah diingat, Pitter mengangguk. Untuk pertama kalinya Pitter melihat senyum semanis milik Ardan. Yang Pitter bisa tangkap saat itu Ardan memang sendiri, tak ada yang mau mendekatinya, bermain bersamanya, bahkan dia rela melepaskan apa yang dia suka hanya untuk mendapat sebuah uluran hangat seorang yang tulus.

Walau itu hanya masa lalu, tetap saja Ardan hanya seorang anak biasa yang juga ingin bergaul seperti yang lainnya.  Kali ini Pitter merasa dirinya sama seperti dulu, asing bila melihat Ardan yang tak mau tersenyum ketika bertemu orang baru.

"Gis, makan dulu, gue udah bawain sayur lodeh kesukaan lo, tadi Mama gue masakin. Mami lo belum bisa pulang malam ini, sorry gue baru kasih tahu sekarang. Tapi Gis, tolong makan jangan diem aja," ucap Pitter. Sejak Ardan bangun sekitar satu jam lalu, Ardan masih bungkam. Ardan terus menanyakan keberadaan Alsha, dia tidak hanya merindukan Panji. Dia juga sangat merindukan Alsha, wanita yang selalu ada untuknya.

"Gue mau ketemu Mami, gue mau ketemu Abang, gue mau ketemu Papa juga." gumamnya. Kata-kata yang sudah kesekian bisa Pitter dengar. Bahkan ketika dia mendapat telepon dari Nakula, Pitter hanya meminta Nakula untuk segera datang. Kini Nakula sudah ada begitu juga Pitter, tapi Ardan tetap tak mau bersuara. Yang di sebutnya hanya nama kedua orang tuanya dan juga Panji.

"Gis, kalau lo diem terus, kalau lo begini terus, lo mana bisa ketemu mereka. Lo belum makan dari pulang sekolah, sekarang udah malam, bahkan lo juga belum ganti aeragam," ucap Nakula, kali ini cowok itu angkat bicara, sungguh melihat Ardan  kali ini seperti melihat orang lain. Seperti bukan Ardan walau anak itu murung.

"Buat apa? Sekarang mereka nggak ada di sini, buat apa makan? Buat apa tidur nyenyak, buat apa kalian masih ada di sini juga?" katanya pelan. Pitter sudah sangat kesal sebenarnya. Namun selalu ditahan oleh Nakula, tapi kali ini dia benar-benar sudah tak sanggup menahan kekesalannya.

"Dengar gue Gis! Gue sama Nakula di sini ada buat jagain lo, ada buat nemenin lo, dan lo nanya buat apa? Lo sadar nggak sih, lo itu asing tahu nggak... bahkan lo itu kayak orang lain, bukan Algis Ganendra yang gue kenal. Lo boleh marah sama alam, lo boleh marah sama manusia, lo boleh marah sama gue dan Nakula. Tapi tolong, jangan nyiksa diri lo dengan cara kayak gini, lo belum makan apapun dari tadi siang, bahkan kemarin, lo bohong ke gue kalau lo udah makan, tapi buktinya, lo belum makan apapun. Lo boleh sedih, tapi jangan sampai diri lo jadi korban kekonyolan yang lo buat. Lo bisa sakit nanti,  apa lo mau, ngga bisa ketemu Abang lo lagi?"

Tutur panjang Pitter selalu berhasil melemahkan pikiran dan emosi yang ada pada Ardan. Walau keduanya sama-sama keras kepala, tapi Pitter tahu cara membuat Ardan berhenti untuk tidak melakukan hal bodoh sampai menyakiti dirinya. Kali ini mungkin Pitter telah berhasil. Tapi Pitter fudak bisa menjamin kalau esok hari Ardan akan baik-baik saja lalu menurut apa yang dikatakannya.


Salam NJ 😊🍭

Publish 23 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro