Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 17 Trauma

Senyum bukan berarti adalah bahagia, karena senyum juga bisa sebagai luka.

🍭🍭

Kejadiannya begitu cepat. Bahkan ketika Ardan hendak melangkah keluar saja kakinya bergetar, ia kehilangan pijaknya. Ia kehilangan semua yang terpikir sebelumnya. Saat ini dirinya hanya ingin melihat Panji. Bukan karena dia kesal karena permennya terjatuh. Tapi, ada khawatir dan cemas yang menjadi bayang ketakutan cukup dalam di pikirannya.

Ardan kembali kehilangan pendengarannya, seolah alat bantunya tak lagi berfungsi. Kini anak itu telah berada di halte bus. Sejak pergi dari kantin dirinya tak bersuara. Jam pelajaran terakhitnya ia lewatkan, tak peduli akhirnya ia akan dipanggil ke ruang BK. Saat ini Ardan hanya ingin sendiri, benar-benar sendiri. Pikirannya kacau apa yang didengarnya hilang dalam sekejap, semua masa kelamnya berputar tanpa ijin. Anak itu meremat kuat rambutnya, menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.

Dia hanya kesal dengan dirinya yang tak bisa melakukan apapun. Bagi sebagaian orang Ardan memang tidak berguna, tidak bisa diandalkan, apalagi dimintai bantuin yang lebih. Berbeda dengan Aries, pria itu selalu menganggap anaknya sendiri sebagai penyakit yang selalu meresahkan.

"Aku kangen Abang, Mi." gumamnya.

Ardan tidak peduli apa yang orang lain katakan, dirinya seperti orang tak waras kali ini. Dia sungguh kesal, dia hanya menunduk tak mau mengangkat pandangnya, pdahal sejak tadi dia diajak bicara oleh beberapa orang yang melintas melewatinya.

Saat ini Ardan hanya sendirian, kan? Lalu aoa gunanya dia bicara pada orang lain sementara dirinya tak mau bersuara?

"Gis?" Itu Pitter, cowok itu sudah cukup alama berdiri jauh memandang Ardan sejak ia tahu Ardan melntas melewati gerbang sekolah.

🍭🍭

"Pit, dia ngga di perpus, kita cari kemana lagi?"

Waktu yang membawa mereka menjadi resah, membiarkan Ardan sendirian. Sejak meninggalkan kantin di jam istirahat kedua, mereka memang masuk ke kelas masing-masing. Namun, pikiran Pitter tidak di sana. Dia melirik kursi kosong di sebelahnya di sana hanya ada tas hitam milik Ardan, namun si pemilik tidak ada di sana.

"Lo kemana sih, Gis?" pikirnya. Dia tidak pernah berpikir kalau kejadian saat di kantin malah membuat dirinya seresah sekarang. Bahkan saat Pak Luki mnjelaskan materi, Pitter tidak mendengarkannya, sampai jam pelajaran berakhir disertai bel pulang berbunyi nyaring. Cepat-cepat Pitter membereskan buku pelajarannya lalu menyambar tas milik Ardan untuk segera melesat keluar kelas.

Pitter sengaja tidak memberitahu Nakula, dia khawatir kalau kehadiran Nakula membawa hal yang tidak diinginkan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari Pitter, dia hanya ingin meluruskan kekeliruan yang terjadi antara Nakula dan Ardan. Maka di sinilah dia, berdiri jauh dari Ardan. Cowok itu menangkap setiap kali Ardan memaki dirinya sendiri. Menepuk kepalanya, juga menarik rambutnya seolah kesalahnnya sangat besar dan sulit di maafkan.

"Gis, harusnya lo nggak kayak gini, harusnya lo bisa cerita ke gue." gumam Pitter. Cowok itu sudah akan melangkah, namun tertahan, ia melihat Ardan kembali memukul dadanya cukup keras, bahkan anak itu menangis sambil menunduk karena tak tahu harus bagaimana. Dia hanya kesal, namun kesalnya selalu menyakiti dirinya sendiri, sedikit orang yang tahu kali ini, untuk yang kesekian Pitter melihatnya. Pitter tak pernah mau menyaksikan apa yang dulu pernah ia lihat, ia sentuh, bahkan ia pernah hampir kehilangan sahabatnya.

"Gis, gue tahu lo ngga seburuk apa yang orang pikirin, langitnya mebdung, lo selalu bilang hujannya akan turun, bahkan sekarang udah rintik, lo masih diam di sana. Lo selalu bilang ke gue kalau hujan itu nikmat, hujan itu ngga pernag ngeluh walau jatuh berkali-kali. Tapi kenapa Gis? Kenapa lo malah nyakitin diri lo di bawah hujan yang lo anggap sebagai teman berbagi?"

Gumam Pitter kali ini tak berguna, dia tak pernah suka melihat Ardan tersiksa sendirian. Ardan benci sepi, Ardan benci amarah, dan Ardan benci dirinya yang tak berguna, begitulah rutuknya.

Kali ini Pitter tak mau melihat hal yang sama seperti dulu, membiarkan Ardan terjatuh sendirian di depan matanya dengan darah yang mengalir bebas dari keningnya yang sobek. Buru-buru Pitter melangkah cepat, untuk menghentikan Ardan yang siap melangkah ke jalan raya.

"Gis! Sadar!" bentak Pitter. Kedua tangannya sudah meremat kuat bahu Ardan. Pitter takut sungguh, dia tidak pernah bisa membayangkan hidup Ardan jika sahabatnya melangkah begitu saja tanpa melihat ke sisi kanannya dengan mobil yang melaju begitu cepat.

Terakhir kali Pitter melihat hal yang sama, tepat di depan matanya Ardan tergeletak, setelah sebuah sepeda motor melaju tanpa ampun sampai menabraknya. Kejadiannya sudah lama memang, tapi ingatan Pitter terlalu kuat untuk melupakan hal yang paling ia takuti. Selama ini Pitter salah satu orang yang dipercaya Panji untuk menemani adiknya kemana pun. Padahal Panji bisa meminta Nakula juga, tapi Panji sadar, Nakula dan Ardan tak adabbedanya, keduanya sama-sama memiliki emosi yang sulit diredam. Maka Panji memilih Pitter selain dekat dengan Ardan, sejak mereka masih duduk dibangku sekolah dasar, Pitter selalu sekelas dengan Ardan. Sudah bisa dipastikan, Pitter jauh lebih mengenal Ardan dari pada Nakula.

"Gis, tolong buka mata lo, ini gue Jupitter, lo nggak sendirian," ucap Pitter. Cowok itu langsung memeluk Ardan erat, membiarkan anak itu menumpahkan segala keresahannya di sana. Pitter tak tahu harus melakukan apalagi, karena yang dia tahu setelah ini Ardan akan lebih banyak diam.

"Kenapa Papa sejahat itu, Papa celakain Abang seolah dia nggak pernah melakukannya. Gue benci diri gue yang ngga berguna, gue itu tuli, gue itu ngga seperti kalian. Gue itu..."

"Cukup Gis, cukup. Nggak semua orang menganggap lo kayak apa yang lo omong barusan. Apa yang lo rasa, apa yang lo derita semua orang nggak mungkin bisa sesabar lo dan sekuat lo. Dengar Gis, Tuhan menciptakan manusia nggak harus selalu sempurna. Lo emang punya kekurangan, tapi lo selalu bilang ke gue, kalau yang kurang itu adalah kelebihan yang nggak semua orang punya. Lo selalu bilang ke gue, walau lo nggak bisa dengar, tapi lo selalu mencoba buat jadi pengamat bahasa yang baik. Lo bisa melakukan apa yang orang lain nggak bisa lakukan. Lo bisa melihat bagaimana gue dan orang-orang coba katakan. Walau lo ngga bisa dengar, tapi lo masih bisa melihat. Gis, mungkin sekarang Papa lo lupa, kalau anaknya yang satu lagi itu sayang banget sama dia, lo cuma butuh waktu sebentar lagi. Tapi gue mohon, jangan lakuin hal bodoh kayak barusan, gue ngga bisa lihat lo nyiksa diri sendiri."

Tutur panjang Pitter membuat Ardan diam dalam dekap hangat yang Pitter berikan, tangannya yang semula mengepal kini mukai melonggar. Anak itu tidak pernah bisa mengucap kata selain terima kasih. Terima kasih telah dipertemukan dengan Pitter yang mau menerima segala kekurangannya, segala keluhnya dan segala hal yang terkadang Ardan tak mampu menyelesaikannya sendiri.

"Gis, lo boleh marah sama semesta, tapi semesta nggak akan pernah maafin lo, kalau lo marah dengan cara yang salah. Takdir Tuhan nggak pernah ada yang tahu, mungkin sekarang lo, sama Abang lo lagi diuji untuk berpisah dalam waktu lama. Setelahnya takdir akan kembali mempersatukan kalian, percaya atau enggak itu pasti," ucap Pitter lagi. Cowok itu menarik tubuh Ardan agar ia bisa melihat betapa menyebalkan  air mata yang sejak tadi mengalir bebas itu.

"Udah, lo nggak perlu sedih, oh, ya, gue akan beliin permen yang tadi sempet dijatuhin sama Nakula, udah... omongan Prima juga nggak perlu lo pikirin, kita selesaikan bareng-bareng nanti, bahkan dari kemarin gue nggak lihat Ardan yang heboh, setelah ini gue akan ajak lo ke pameran, kebetulan gue punya tiket gratis dapat dari undian ciki jaguar gimana, mau?"

Kali pertama untuk Pitter menemukan sabit yang hilang dari wajah Ardan, selama beberapa hari belakangan Ardan memang tidak seperti biasanya. Pitter hanya diam, bukan berarti dia tidak tahu. Sebenarnya ada hal yang ingin Pitter katakan pada Ardan tentang perbincangannya bersama Alsha tempo hari.

"Tolong temani Algis, ya Jupitter. Setelah ini ...mungkin kami tidak lagi bertemu, Tante minta tolong kasih tahu dia, kalau hatinya sudah membaik."

Mungkin benar apa yang dikatakan semua orang tentang persahabatan, kawan dan lawan, tidak jauh berbeda. Ada saatnya kita bertindak sebagai orang yang dipercaya, ada saatnya kita harus melawan orang yang kita percaya. Saat ini Pitter telah menemukan jawabnya, setelah kejadian yang hampir saja merenggut nyawa. Dia tidak bisa melihat Ardan terluka lebih lama.




Salam NJ

Publish 22 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro