ES. 16 Ungkap
Dulu ketika Ardan masih berusia lima tahun, anak itu selalu merengek berlari ke sana dan ke mari meminta permen dan susu kotak rasa vanila dari Alsha.
Bahkan ketika anak itu baru bangun tidur, hal yang pertama kali ia cari adalah sebungkus permen lolipop kesukaannya. Namun, tak bisa dipungkiri kalau di balik suara gaduh dan berisik itu ada satu yang paling Ardan tunggu.
Semua orang paham, semua orang tahu sosok yang bocah kecil itu tunggu. Setiap sore dikala awan berganti mendung, sampai rintik hujan mulai berjatuhan.
Ardan tak pernah berharap lebih, ia hanya ingin memeluk Aries, ia ingin merasakan hangatnya peluk seorang ayah. Tapi, Aries selalu mematahkan harapannya dengan ucapan tajam.
Ardan kecil sama sekali tidak pernah meminta untuk dibelikan mainan yang mewah, tidak pernah meminta akan dirayakan ulang tahunnya. Dia hanya ingin berdiri bersebelahan dengan Papa-nya, lalu diusap rambutnya.
Pernah ketika mega mendung datang dengan pekat juga angin kencang. Bocah itu berlari dari dalam menuju pintu utama ,dengan lincahnya sambil memegangi pernen lolipop. Dia berteriak memanggil nama Aries.
"Papa Alies pulang Mami. Papa Alies pulang." celotehnya begitu semangat.
Bocah kecil itu tidak pernah tahu bahaya, padahal di luar hujannya sudah mulai deras. Dia tidak pernah tahu rasanya luka yang dalam seperti apa. Yang dia tahu hanya diabaikan oleh Aries. Abai menurutnya adalah Papa pasti lelah, tapi tidak tahu dibalik itu semua tersimpan benci yang tak kunjung surut.
Sampai suatu ketika, bocah itu berdiri di bawah derasnya hujan berharap Aries pulang lebih awal. Tapi... sekali lagi harapannya hanya semu, tangan kecilnya tak bisa menggapai Aries. Pria itu juatru menepis jarak antara dirinya dan bocah kecil itu.
"Gis, masuk, Sayang! Kamu bisa sakit nanti." suara Alsha sudah berteriak memanggil namanya berulang kali. Bocah itu tidak akan mendengarnya, dia akan terus berdiri sampai bibirnya membiru membiarkan tubuhnya bergetar sampai Aries mau melihatnya.
Alsha tidak lupa, Alsha juga tidak bodoh. Wanita itu khawatir jika putra bungsunya terus bermain hujan, akibatnya anak itu akan jatuh sakit.
Ardan pernah terserang demam selama sepekan akibat bermain hujan, tapi Ardan selalu mengelak kalau dia tidak bermain hujan. Dia hanya mengatakan bermain air yang banyak.
Kini Ardan kecil sudah beranjak dewasa, pikirannya masih sama dan masih seperti dulu. Selalu menyukai hujan sambil memakan lolipop.
"Gis!"
Ardan terkejut ketika Nakula menepuk bahunya, membuat permennya terjatuh ke lantai. Wajahnya tampak kesal mematap Nakula yang terdiam karena tidak sengaja.
"Lo?! Permen gue jatuh!" omelnya. Ardan bangkit dari tempatnya, tapi dengan cepat Nakula menahannya dan menyuruhnya untuk duduk kembali.
Sejak jam istirahat pertama, Ardan hanya melamun bahkan kali ini pun sama. Dia melamun padahal sebelum itu, Bu Huri sudah menegurnya beberapa kali, begitu juga dengan guru bahasa yang Ardan tak pernah mau menyebutnya.
"Duduk dulu, tunggu Pitter. Lo belum makan apa-apa dari jam istirahat pertama. Lo kenapa sih, Gis?" ucap Nakula, Ardan tidak membantahnya, dia kembali duduk walau masih sangat kesal karena permennya terjatuh.
"Gue ganti yang baru nanti, udah cuma permen doang, jangan dibuat galau." lanjut Nakula. Ardan menoleh cepat menatap marah pada Nakula.
"Gampang banget lo ngomong ganti? Lo pikir dengan kata 'cuma' lo bisa balikin keadaan kayak dulu? 'Cuma' kata lo?" katanya. Nakula menggeleng, berusaha menahan tangannya, namun ditepis dengan cepat oleh Ardan.
"Ingat ya Na, kalau seandainya yang lo maksud 'cuma' itu adalah hal yang menyenangkan hati. Buat gue sakit setiap hari, setiap detik, setiap kali gue ketemu Papa gue. Cuma di depan mata, iya cuma di depan mata gue, tapi gue ngga pernah bisa gapai, apalagi nyentuh. Papa gue itu dekat, emang! Tapi gue sama sekali ngga pernah bisa." katanya, lalu ia pun melangkah meninggalkan tempatnya dan membiarkan Nakula terpaku di sana.
"Gis! Tunggu!" teriak Nakula, ia menoleh menatap kepergian Ardan dari balik punggungnya.
"Kenapa La?" tanya Pitter tiba-tiba. Nakula menunduk, mengepalakn tangannya kuat-kuat. Nakula lupa kalau emosi Ardan sedang tidak stabil.
"Dia marah sama gue, karena permennya jatuh." gumam Nakula. Pitter menatap ke bawah meja, menemukan satu batang permen lalu mengambil dan menatapnya lekat.
"La, lo kena masalah kayaknya. Lo tahu nggak, ini permen favorit yang selalu Ardan makan, lo tahu... permen ini satu-satunya camilan ketika dia kangen sama Abangnya. Sekarang lo buat permennya jatuh?" jelas Pitter. Nakula mengangkat pandangnya tak percaya dengan apa yang Pitter katakan.
"Jangan bohong, Ardan ngga pernah kasih tahu soal itu," ucapnya. Pitter mengangguk, lalu menatap Nakula sambil tersenyum.
"Sedekat apapun lo sama Ardan, dia nggak akan bilang hal sekecil ini ke banyak orang. Gue tahu karena gue kenal dia dari kecil, tiap kali Bang Panji pulang dari mini market, dia selalu dibeliin permen ini. Dia pecinta permen, tapi permen ini paling favorit."
Nakula tidak pernah tahu sedekat apa Ardan dan Pitter sampai semua hal kecil sekali pun Pitter mengetahuinya tanpa perlu ditanya.
"Gue harap Ardan marahnya sebentar doang. Yuk, susulin, udah jangan dipikirin. Sekarang lo tahu sedikit tentang dia. Dia emang gitu," ucap Pitter. Nakula mengangguk, lalu bangkit dan pergi dari kantin yang sudah mulai sepi.
🍭🍭
Ardan tidak pernah membayangkan langit akan berubah warnanya selain kelabu. Tapi kali ini dia salah, dia menatap ke atas sambil memandang cerahnya langit saat ini. Langkahnya terhenti tepat di tengah lapangan basktet.
"Jangan kayak orang bego berdiri di sana dan nggak berguna!"
Ardan menoleh, dia melihat siapa yang ada di sudut lapangan dengan seringai yang sulit ditebak. Mata keduanya bertemu ketika sosok itu mengangkat pandangnya.
"Asal lo tahu, semua keadaan yang kacau ini adalah ulah Papa lo sendiri. Abang lo di rumah sakit sekarang, karena ulah Papa lo juga. Dia sengaja mendorong anaknya sendiri, dan satu lagi, korbannya bukan cuma dia. Tapi temen gue, Tara. Ingat, gue akan buat perhitungan setelah ini."
Usai mengatakan kalimat panjang, cowok itu lergi tak peduli teriak Ardan yang memanggil namanya.
"Prima!"
Ardan sadar, percuma saja ia teriak, suaranya tak akan terdengar. Kakinya sudah lemas, lututnya sudah brgetar, akhirnya dia pun terjatuh sambil menunduk. Mengingat kembali ucapan terakhir yang Prima katakan.
"Papa lo yang udah dorong anaknya sendiri."
Sejenak Ardan terdiam, air matanya sudah mengalir bebas dipipinya. Kebenaran yang tak pernah dia duga selama beberapa hari ini. Kalau kenyataannya adalah, Papanya memang membenci dirinya sampai kapanpun.
Salam NJ 🍭😊
Publish 20 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro