ES. 15 Menyerah Saja.
Ada hal yang lebih menyakitkan dari sebuah serpihan beling dan tertusuk jarum. Ada hal yang lebih pedih ketika mengiris sebuah bawang. Ada kisah yang lebih menyentuh dari sebuah dongeng Putri Salju.
Ini hanya perlu waktu bukan sekadar datang lalu pergi. Bukan juga sebatas meminta lalu lupa berterima kasih. Maka di sini telah di simpulkan bahawa, hadirnya ada namun tak berharga.
Malamnya terasa panjang, matanya sulit terpejam, bahkan nama Panji selalu melintas di kepalanya. Ingin bahagia namun selalu patah.
"Tidur Gis."
"Kalau tidur bisa membantu untuk melupakan malam ini, terus gimana besok?"
Sejak tadi Ardan hanya mebgulang kalimat yang sama, menanti esok dan berakhir menyedihkan. Pikirannya sudah sangat lelah, tapi setiap kali memejam kalimat menyedihkan itu seperti kutukan yang akan terwujud.
"Episode kali ini hilang ditelan surya, terus besok apa ?" kata Ardan tiba-tiba. Pitter tertawa, lalu menepuk bahu Ardan dan duduk bersamanya dibawah sinar bulan yang tidak begitu terang.
"Besok sekolah dan mata pelajaran Bu Huri, tugas lo mau ngerjain beliau lagi?" kekeh Pitter. Ardan tersenyum, Pitter memang bukan orang yang bodoh untuk memahami maksud Ardan. Dia tahu hanya saja dia bosan melihat wajah murung Ardan.
"Gila lo, gue udah tobat." katanya, lalu tertawa, meski begitu tidak dengan pikiran dan hatinya yang meronta ingin bertemu Panji.
"Duduk begini di bawah rembulan seru juga."
"Sejak kapan lo nangis dalam diam ?" tanya Pitter tiba-tiba. Ardan menoleh cepat, lalu terkekeh, ia menyugar rambutnya sebelum bangkit dan melangkah sedikit ke pagar pembatas balkon rumah Pitter.
"Sejak gue tahu Papa ngga suka sama gue." balasnya begitu ringan. Ia hanya tak ingin dikasihani oleh orang lain, karena menunggu waktu yang tepat tak akan berarti lagi saat ini. Ardan hanya lelah dalam waktu yang lama, tapi harapannya selalu memaksa untuk tetap berusaha, walau berakhir dengan cara yang sama.
"Tante Alsha tadi ngabarin gue, Bang Panji mau dibawa keluar kota untuk menjalani perawatan khusus." ucap Pitter. Ardan menatap langit di atas sana, lalu bergumam. Seolah meminta kalau batinnya tersiksa.
Ardan pernah ditinggal sekali oleh Panji, ketika kakaknya sedang studi tur keluar daerah. Sepanjang malam Ardan menatap langjt, berharap Panji akan segera pulang. Dan .... hari ini kabar yang sama kembali membawanya pada luka lama.
"Sejauh apapun Panji pasti ingat gue, gue adiknya, gue saudaranya, gue ..."
Ucapnya tertahan, seperti dulu ketika Panji mengucap janji yang Ardan pikir hanya sebatas janji persaudaraan, tapi kini janji itu seperti sebuah pertanda kalau Ardan memang orang yang akan selalu Panji tunggu. Atau mungkin sebaliknya, Ardan-lah yang akan selalu menunggu Panji kembali.
🍭🍭
Pagi ini Ardan terlambat bangun, tidak seperti biasanya. Padahal sejak subuh Pitter sudah membangunkannya berkali-kali. Tapi jawabannya selalu tunggu lima menit lagi. Karena gemas Pitter memilih jalan yang paling Ardan tidak suka.
Setelah membangunkan Ardan dengan menyeretkakinya sampai Ardan terjatuh dari ranjang. Kini, mereka sudah berada di meja makan, bahkan ketika Pitter benar-benar menyiramkan begitu tega Ardan terus menggerutu.
"Lo kejam!" katanya kesal. Kedua tangannya sudah ia lipat di depan dada sambil mengerucutkan bibir tipisnya.
"Gue bukan kejam, kalau ngga begitu lo gak akan bangun, kita udah terlambat, lo mau dihukum sama Bu Huri karena terlambat?" balas Pitter. Ardan memberengut sebal mendengad penuturan Pitter yang terkadang ada benarnya.
"Sarapan buruan, Mama gue udah pergi ke rumah Tante gue, Papa juga udah berangkat. Jangan dilihatin gitu, apa lo mau sarapan yang lain?" celoteh Pitter. Ardan menyerah, ia tidak suka melihat Pitter se romantis saat ini. Dia lebih suka Pitter yang apa adanya dengan celetuk menyebalkan.
"Ingat gue ngga lagi sweet, apalagi buat lo, males banget." tambahnya. Ardan hanya kesal, walau akhirnya dia akan sarapan dengan mood yang tidak bagus.
"Gue mau ke rumah sakit pulang sekolah, lo mau anterin gue?" ucap Ardan tiba-tiba membuat Pitter tersedak sarapannya, cowok itu buru-buru meneguk satu gelas penuh air putih yang ada di sisinya.
"Gue ngga lagi mimpi, kan?" tanya Pitter memastikan, Ardan mengangguk mantap lalu tersenyum lebar.
"Btw, udah siang nih, yuk buruan gue tunggu di luar jangan lama-lama." katanya cepat, bahkan Pitter saja masih diam di tempat duduknya. Cowok itu tidak pernah melihat binar tak biasa yang di mata Ardan.
"Jupitter buruan!" teriak Ardan, pikiran Pitter buyar seketika, ia pun bangkit setelah berpesan pada asisten rumah tangga untuk segera membereskan meja makan, lalu menyusul Ardan yang sudah seperti cacing kepanasan.
"Masih oagi lo udah kayak seterikaan, kenapa ?" tanya Pitter akhirnya. Ardan terus mengetuk dagunya dengan cemas, wajahnya tak bisa terkontrol kali ini, Pitter tertawa keras.
"Gue tahu tugas Bu Huri pasti belum lo kerjain, kan? Wah! Parah sih, siap-siap dihukum lo." tebak Pitter asal. AArdan langsung menatapnya lalu memukulnya kesal.
"Gue lupa bilang ke Mami kalau hari ini gue sekolah." jawabnya. Pitter tertawa lagi, sungguh hal yang menyenangkan untuk Pitter adalah melihat Ardan seperti orang bodoh karena lupa meminta ijin atau hal lainnya.
"Buruan naik deh, nanti gue kasih tahu di jalan." titah Pitter. Sejak tadi Ardan hanya sibuk dengan pikirannya, bahkan ketika Pitter sudah mulai menyalakan mesin motornya, Ardan masih saja mondar-mandir.
Tak banyak bicara, Ardan menurut. Dia naik ke atas motor Pitter, duduk dengan nyaman di sana, barulah Pitter melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah.
Sepanjang jalan Ardan hanya mengoceh, padahal dia tahu kalau Pitter tidak pandai mengendarai motor dengan santai. Cowok itu akan melaju begitu kencang agar tidak terlambat.
"Gue kasih tahu, lo kayak orang kesetanan, pelanin dikit Jupi!" gerutu Ardan, Pitter tak peduli. Cowok itu justru semakin melajukan motornya semakin kencang membelah jalanan.
🍭🍭
"Gue ngga mau lagi naik motor sama lo. Jantung gue pindah ke usus lama-lama kalo sama lo, kayak orang kesurupan!" protes Ardan ketika merrka sampai di parkiran sekolah.
Pitter tertawa, cowok itu menatap Ardan dengan sebelah tangannya ia masukka ke saku celana abunya. Gayanya yang menyebalkan terkadang membuat Ardan jengkel sendiri.
"Gue kasih tahu, gue kesurupan karena lo, gue juga kesetanan karena lo, jadi lo harusnya berterima kasih ke gue, karena gue ngga ngehasut lo ikutan kesetanan juga. Udah lo mikirin amat, lagian tanpa lo minta ijin ke nyokap lo, gue udah minta ijin duluan buat ambil barang-barang lo kemarin waktu gue balik. Udah, lo gak usah gelisah kayak cacing kepanasan, pusing gue lihatnya. Yuk, Bu Huri bisa ngamuk kalau kita telat beneran." jelas Pitter panjang. Ardan terdiam di tempatnya, ia hanya mengerjap setelah Pitter menyelesaikan kalimat panjang yang begitu mengharukan untuk Ardan.
Selama Ardan mengenal Pitter, baru pertama kali Pitter menjadi sosok yang lebih menenangkan dalam berbicara, biasanya, sahabatnya itu akan mengganggunya atau membuatnya kesal.
Sama seperti semalam, Pitter membawakan camilan dan juga susu kotak vanila untuknya. Nakula memang dekat, tapi Pitter jauh lebih dekat dengan Ardan. Bahkan Pitter tahu sosok yang paling dekat dengan Ardan selain Panji. Semua itu tak akan Pitter ungkap, hal yang paling menyeramkan untuk Pitter ingat adalah ketika ia melihat Ardan berdiri tanpa peduli bahaya di tengah jalan yang ramai kendaraan.
"GIS BURUAN!"
Ardan mengerjap, lalu berlari kecil pada Pitter. Mereka pun melangkah beriringan melewati koridor juga beberapa pasang mata yang menarap mereka tak suka.
"Masih berani juga lo datang ke sekolah, setelah apa yang Papa lo lakuin ke temen gue, mikir dong... lo cuma sampah dan gak berguna."
Tepat saat Ardan berhenti di depan kelas Nakula, salah satu siswa mengatakan hal yang Ardan lewatkan selama beberapa hari tidak sekolah. Ardan menatap Pitter yang sudah mengepalkan kedua tangannya.
"Mulut lo di jaga, itu ngga sengaja, lo salah lihat." balas Pitter tak terima. Ardan mengerutkan keningnya.
"Apa maksud lo?" tanyanya. Ardan bisa melihat decak kesal dari siswa yang berdiri di depannya.
"Jangan kayak orang bego, gue yakin lo pqeti tahu, Kakak lo di rumah sakit karena siapa dan karena apa. Ingat satu lagi, kalau ada apa-apa sama temen gue, lo yang gue cari."
Siwa itu pergi setelah menyelesaikan kalimatnya membiarkan Ardan terpaku di tempatnya. Bahkan beberapa kali ia menepis tangan Pitter lalu menatapnya tajam. Tatapnya menuntut penjelasan dari Pitter sebelum Nakula akhirnya memecah hening yang diantara mereka.
"Jangan sentuh gue sebelum lo kasih tahu apa yang terjadi selama gue ngga sekolah." ucapnya, lalu Ardan pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Sementara Nakula menatap heran pada Pitter, tapi cowok itu masih bungkam tanpa mengatakan apapun pada Nakula.
"Menyerah saja, jika kamu tak ingin melihat orang yang yang kamu sayang pergi."
Salam NJ 😊🍭
Publish 19 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro