Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 14. Jalan Buntu

Berpikir sebelum bertindak, maka kamu akan tahu rasanya berusaha.

🍭🍭

Langit saat ini sedang tidak bersahabat. Di atas sana Ardan bisa melihat dengan jelas kalau warnanya begitu pekat ditambah dengan embus angin yang tertiup sampai menusuk tulang membuat Ardan menggigil.

Anak itu terus melangkah, tak peduli seberapa keras suara klakson kendaraan yang berusaha menyingkirkannya. Bahkan, dia tidak peduli ketika beberapa kendaraan lain melewati sisi yang begitu dekat dengannya.

Ada sesak yang sejak tadi coba Ardan tahan, dia tertawa, mengoceh dan bergumam seoleh tidak pernah terjadi apa-apa. Dirinya hanya perlu merelakannya lalu menghilang sejauh yang dia bisa, 'kan?

Kini, semua yang dianggapnya benar tidak seperti apa yang dia harapkan. Padahal sejak pagi Panji telah melarangnya pergi keluar tanpa seijinnya. Namun, Ardan tidak mendengarkannya. Ardan memilih jalannya dengan akhir Panji menjadi korban. Dia terdiam, duduk dipinggir trotoar sambil menutup mata. Ingatannya kembali pada masa lalu yang kelam dan menyakitkan.

Sekali lagi untuk mempertegas kalau Ardan tidak buta, tidak juga bisu. Dia hanya tak mampu mendengar lalu goyah ketika semua yang dilihatnya adalah nyata.

Ardan masih sangat ingat dengan jelas ketika Aries memintanya keluar dari ruang pribadinya begitu keras dan kasar. Walau pria itu tidak melakukan apapun, tetap saja Ardan ketakutan. Dia hanya memantung tangannya sudah bergetar lalu menunduk agad tidak terlihat kalau dia menangis.

"Saya sudah bilang jangan masuk  ruangan ini! Kamu dengar sekali lagi, tempat ini sangat kotor ketika kamu menginjakkan kaki di sini. Saya beritahu kamu satu hal, kamu bukan anak saya, kamu itu tidak sama seperti Panji. Lebih baik pergi dari hadapan saya atau kamu akan menerima akibatnya."

Begitu dingin tatapnya, begitu tajam ucapannya, begitu menusuk bila didengar. Tapi sekali lagi, Ardan tidak pernah sedikit pun membencinya. Dia hanya kesal ketika ia dibandingkan dengan Panji atau anak lainnya. Dia hanya tak suka bila dirinya dipandang sebelah mata oleh orang lain.

Setiap malamnya ia habiskan hanya menatap bintang di langit, berbicara pada semesta kalau lukisan alam yang ada di langit begitu sempurna dan indah. Sejenak Ardan berpikir bila dirinya ada diantara ribuan bintang di langit, apakah mungkin Aries akan menatapnya, sama seperti Panji yang sudah dua kali dipergoki oleh Ardan.

Tapi kenyataannya adalah, Aries takkan melakukan hal bodoh itu. Aries tetaplah Aries, sampai kapan pun dirinya tak akan bisa tersentuh oleh hangatnya kehadiran Ardan.

"Papa ngga pernah mau gue di sana, tapi kenapa Papa selalu buat gue ingin ada di sana terus? Papa ngga mau gue ada disekeliling Papa. Tapi kenapa Papa terus mengusik pikiran gue? Kalau gue bukan anak Papa, kenapa Papa ngga buang gue aja, atau minta Mami lenyapkan gue sejak tahu aku ada didalam rahimnya, kenapa?"

Gerutu kesal itu selalu menjadi topik perbincangannya dengan semesta, bahkan jika ditanya oleh Panji, ia akan menjawabnya dengan lesu. "Siapa aku untuk kalian?"

🍭🍭

Malam begitu dingin saat ini, sejak pergi dari rumah sakit Nakula dan Sabit berusaha mencarinya, tidak terkecuali dengan Pitter. Sejak tahu Ardan pergi, cowok itu segera meminta ijin pada orang tuanya untuk membantu Nakula juga Sabit mencari di mana Ardan berada.

Kali ini tak ada hal yang lebih pedih dari terbuangnya identitas oleh keluarganya, bukan... tapi oleh papanya sendiri.

"Jangan pernah berharap nama kamu akan saya letakkan dalam hak waris, karena sampai detik berhenti, kamu tidak akan mendapat apa-apa."

"Don't be a fool."

Ardan menoleh, senyumnya mengembang ketika ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya.

"Kamu hanya perlu berusaha sedikit lagi, lupakan ucapan orang yang tak menyukaimu, karena tidak semua orang bisa menerima kekurangan seseorang dengan baik."

"Ah, iya. Aku ke sini bukan karena aku terkejut mendengar kabarmu pergi tiba-tiba. Aku datang untuk mengatakan aku akan tinggal di Jepara untuk waktu yang lama. Maaf jika aku mengabarimu  terlambat, aku sudah katakan pada Pitter untuk tetap bersamamu. Ingat, kabari aku sesekali, ya." Ardan mengangguk pelan, tak lama terdengar teriak Nakula dari kejauahan memanggil namanya.

"Makasih, lo udah jadi sandaran gue yang ngga pernah nyata di depan semua orang." katanya, lalu perlahan ia pun memejam kembali sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Ardan tak tahu harus mengatakan apa karena belakangan dirinya seperti terserang halusinasi berlebih.

"Ardan lo bikim gue gila asli, lo pergi gak pamit, dihubungin ngga aktif, terus lo di sini ngepain ? " suara Nakula kini sudah menjadi sesuatu yang Ardan suka, tak lama Pitter berlari bersama Sabit di belakangnya.  Pandangnya ia bawa kembali ke arah yang berlawanan, sosok yang semua ada kini sudah menghilang jauh sebelum Nakula ada di depannya.

"Gue takut pulang, gue ngga bisa ketemu Abang gue sekarang... dan gue juga ngga tahu ini di mana," ucapnya lirih, anak itu menunduk. Sekali lagi untuk hal yang sama. Dia akan merasa  dirinya tak berguna, padahal baru beberapa menit lalu senyum diwajahnya terbit.

"Kita pulang ke rumah gue, tapi lo ngga apa-apa, kan?" Itu Pitter, cowok itu melihat keadaan Ardan sebelum mereka membawanya. Ada sedikit luka disikutnya, ketika Pitter tak sengaja menekan bagian yang terluka itu Ardan meringis.

Ada keraguan ketika Sabit menatapnya. Ardan sama sekali tidak pernah memikirkan jalan takdir yang sudah direncanakan begitu indah justru berakhir menyeramkan.

Sama seperti tadi, ketika dirinya melangkah pikirannya tidak di sana, seperti arah namun tak ia temukan. Mungkin buntu, itulah yang dirasakan.

Apa yang Ardan pikirkan tentang Panji yang terlintas adalah ucapan Aries yang berulang kali mengganggunya. Aries tidak di sana, tapi ucapannya selalu menjadi satu hal yang paling Ardan sesali, walau tak membenci.

🍭🍭

"Cerita sama gue Gis, jangan dipendem sendiri kayak gini. Lo ngga sendirian, ada gue, Kak Sabit, ada Nakula juga," ucap Nakila. Mereka memang sudah ada di runah saat ini.

Sejak  menemukan Ardan sampai  sekarang anak itu belum mau bersuara, padahal sebelumnya Ardan sempat berceloteh bebas, mengganggu Pitter yang tidur, bercerita meski ceritanya tak berguna bagi Pitter.

Pitter terlampau paham untuk mengenal Ardan yang terkadang beraneka ragam dalam satu waktu yang bersamaan. Ardan baginya adalah kaki meja, sama-sama rapuh jika sudah tak terpakai. Saat ini Pitter melihat itu dengan jelas, kehidupan Ardan bagai permainan kora-kora yang menyeramkan bagi mereka yang tak suka diombang-ambing. Tapi Ardan melakukan semuanya dengan baik dan sempurna.

Salam NJ

Publish 18. 10. 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro