Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ES. 10 Perlahan

Sebenarnya apa yang Panji pikirkan tentang adiknya hanya pikiran sesaat. Yang kapan pun bisa terlewat begitu saja. Namun, Panji lupa kalau dia masih memiliki emosi yang terkadang sulit diredam walau hanya sebentar.

Bagi Panji Ardan bagai mahkota dengan mutiara cantik disekelilingnya. Panji hanya takut kalau adiknya akan melakukan apa yang selama ini ia khawatirkan.

Jika ditanya apa yang Panji takutkan selain kehilangan? Ia akan menjawabnya dengan lantang, kalau dirinya tidak sanggup melihat Ardan menyakiti dirinya sendiri di depan matanya.

Terakhir kali anak itu telah membuat Panji frustasi karena kecerobohannya dengan mendekati Aries. Panji tahu Aries tidak suka Ardan ada disekitarnya, tapi anak itu keras kepala, dia akan melakukan apapun yang dia suka. Baginya, Papa adalah planet. Sedang dirinya hanya rumput yang kapan saja bisa mengering.

Ucapan Aries saat itu benar-benar menampar hati kecil Panji yang memang ada di sana. Menyaksikan bagaimana Pria itu memaki dengan keras juga kejamnya. Panji ada di sana, ketika pria itu menarik tangan Ardan begitu kasar sampai membuat si pemilik memekik kesakitan. Panji ada di sana, ketika pri itu menjatuhkan Ardan begitu keras di atas lantai yang dingin sampai membentur ujung meja. Tapi Panji hanya bisa mematung walau amarahnya sudah memuncak.

"Abang?"

Panji hanya bisa merasakan betapa menyiksanya melihat tangan besar itu menyentuh kulit Ardan. Namun, anak itu tetap bungkam walau air matanya sudah mengalir.

Perlahan Ardan telah membunuh Ardan dengan kebodohan yang sama sekali Panji tidak suka. Seperti saat ini, ketika mereka kembali ke rumah tepat pukul sebelas malam.

Sepanjang jalan menuju rumah, Panji hanya diam membiarkan Ardan mengoceh dengan dunianya sendiri. Usai mengantar Nakula dan Pitter Panji juga sempat mampir ke sebuah coffie shop yang tak jauh dari rumahnya.

"Bang Panji! Lo kenapa sih diem aja dari tadi, kenapa?"

Panji menoleh, mendapati adiknya yang sudah berbaring di atas tempat tidurnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara dan dibiarkan menari-nari di sana.

"Besok rencana lo apa lagi?" tanya Panji akhirnya. Mendengar ucapan Panji tiba-tiba Ardan menjatuhkan kedua tangannua begitu saja, lalu ia letakan kedua tangan itu di atas perutnya. Pandangnya menatap lurus ke langit-langit kamar Panjo yang monoton dengan warna putih.

"Pertanyaan gue aja belum lo jawab, kenapa gue harus jawab?"

"Gis.... gue serius."

"Gue juga serius, kenapa Papa benci gue kayak gini, padahal gue anaknya... 'kan?"

Panji gemas jika adiknya sudah bicara yang macam-macam, ia memilih untuk bangun dan duduk bersila menghadap Ardan yang masih setia di sana.

"Lo mau bukti apalagi? Tadi lo udah nanya ke Mami, 'kan?" kata Panji. Ardan pun ikut bangun lalu duduk dengan posisi yang sama dengan Panji. Anak itu diam, namun jemarinya terus ia tautkan karena ragu dengan pertanyaannya sendiri.

"Gue tanya sekali lagi. Mami udah jelasin ke lo, kalau lo itu anak Mami sama Papa. Apalagi yang mau lo cari?"

Ardan mengangguk, anak itu tak mampu untuk menatap mata Panji. Kali ini ia memilih menunduk, membiarkan pikirannya bekerja lebih keras untuk mengingat beberapa jam lalu ketika ia berada di apartemen milik Aries.

"Saya pikir kamu akan kapok setelah kemarin saya peringatkan, kamu lupa?"

Suara barintom itu mengudara, namun tidak sampai pada pendengaran Ardan yang bermasalah. Pria itu seperti bergumam bagi Ardan. Tapi Ardan bis menangkap apa yang Aries coba katakan namun tidak bisa Ardan dengar. Raut wajah Aries terlampau menampakkan ketidak sukaannya dari pada rasa sayang yang seharusnya Ardan juga bisa dapat.

"Gis! Astaga ngelamun lagi, 'kan."

Ardan tersentak ketika Panji menepuk bahunya, matanya membelalak heran, ketika melihat wajah Panji yang sangat dekat dengan wajahnya.

"Kasih tahu gue, Papa bilang apa ke lo tadi siang?" tanya Panji. Ardan diam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang sempat tak beraturan. Begitu juga dengan Panji yang kembali menjauhkan wajahnya dari hadapan Ardan. Kini, cowok itu sudah berdiri didekat tempat tidurnya dengan kedua tangannya yang ia masukkan kedalam saku celana pendeknya.

"Papa bilang gue itu penyakit, Bang," ucap Ardan tiba-tiba. "Gue cuma sebagai hama diantara kalian, bukan embun."

Panji diam di tempatnya menatap tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Panji tidak tahu apa saja yang Arkes katakan pada Ardan sampai membuat anak itu benar-benar tertekan batinnya.

Sejak dulu Ardan adalah hama yang mengganggu Aries. Bahkan pria itu selalu mengatakannya dengan jelas di hadapan Ardan. Pria itu selalu memeperjelaa status Ardan di hatinya hanya sebagai penyakit, bukan ssbagai sesrorang yang diharapkan.

Panji pernah memergoki Ardan sekali, ketika Aries sedang duduk di halaman belakang sambil membaca koran di saba. Tak lama, Ardan muncul dengan bangganya menarik-narik tangan Aries untuk bermain dengannya. Padahal Ardan tahu Aries telah menepisnya berkali-kali. Tapi Ardan tidak menyerah sampai di sana. Anak itu justru melakukan hal bodoh lainnya dengan bernyanyi sumbang sampai membuat pendengaran Panji pecah.

Namun, perjuangannya sia-sia. Aries justru mengabaikannya dengan memakai earphone yang sudah menempel dikedua telinganya.

"Pa, main yuk. Kali ini aja, beneran deh aku ngga akan buat Papa keberisikan lagi, nanti." katanya. Aries tak peduli, pria itu tidak menyahut apalagi melihat kalau Ardan itu ada.

"Pap-" ucapnya tertahan, ketika Aries mengangkat pandangnya menatap tajam pada Ardan. "Lebih baik kamu menjauh, sebelum saya mengambil tindakan. Hama, lebih baik mati."

Setelah mengatakan itu, Aries membanting koran yang belum usai dibacanya begitu saja di atas meja, lalu bangkit dari tempatnya sebelum ia benar-benar pergi, Aries sengaja menatap Ardan dan mendorongnya sampai anak itu terhuyung kebelakang, nyaris terjatuh. Untung saja ia cepat mendapat pijaknya kembali.

Bahkan kejadian itu saja masih belum bisa Panji lupakan, kira-kira sekitar satu tahun lalu.

"Gis, dengar! Jangan pernah jadi orang lain buat dapat simpati Papa, lo udah terlalu lelah buat melakukannya. Tapi apa yang lo dapat? Ngga ada Gis, ngga pernah sedikit pun Papa mau lo deketin."

"Lo ngga tahu Bang! Lo ngga pernah ngerasain jadi gue. Lo bukan gue, jadi lo bisa bilang kayak gitu. Lo bukan gue, lo bisa dengan jelas setiap penghinaan orang lain ketika lo diejek, sedangkan gue? Gue bisa apa ? Duduk kayak orang tolol, cengar-cengir karena ngga tahu apa yang mereka bicarakan. Lo bukan gue, Bang." katanya lirih, anak itu sudah menunduk dengan air mata yang mulai berjatuhan, tubuhnya bergetar, itulah yang Panji lihat di sana.

"Lo ngga permah bisa jadi gue, begitu juga gue yang sampai kapanpun akan seperti ini."

"Gis... gue ngga bermaksud begitu, tapi-" ucapnya tertahan, Panji membungkam mulutnya sendiri. Sebelum akhirnya ia kembali duduk di dekat Ardan lalu mengusap punggung adiknya.

"Gue mau kayak lo, tapi kenapa takdir selalu ngga sejalan sama apa yang gue harapkan. Kenapa ? Kalau gue anak bukan anak Papa, terus gue anak siapa? Siapa Papa gue sebenarnya, Bang?"

Pergerakan Panji tertahan ketika Ardan melontarkan kalimat terakhirnya begitu lirih bahkan hampir tidak terdengar.

"Lo aja ngga bisa jawab, sebenarnya gue siapa?"

🍭🍭
Rasanya satu hari saja begitu panjang untuk Panji. Setelah beberapa jam lalu berdebat dengan Ardan, akhirnya anak itu pun terlelap karena lelah menangis. Memandang wajahnya yang begitu menyebalkan untuk Panji, tetap saja jika Ardan sudah terluka rasanya menyakitkan. Mendengar penuturannya disela tangis yang anak itu tunjukkan hanya bagian kecil dari apa yang selama ini telah ia alami. Berkali-kali Ardan melakukan bal bodoh untuk mendapat perhatian Aries, namun berakhir dengan ucapan kasar sekaligus perlakuan buruk yang ia dapat.

"Seandainya lo tahu Gis, Mami saat ini memilih bungkam setelah tahu lo ngga benar-benar bahagia. Lo itu kayak soal Filsafat yang kadang buat gue harus mikir setiap kali lo ngomong." gumam Panji. Cowok itu justru terjaga jika Ardan memilih tidur bersamanya.

Panji akan menjadi sosok yang lembut jika Ardan sedang damai dalam lelapnya, lalu membiarkan jemarinya menjapar disela rambut lebat milik Ardan.

Kali ini Panji hanya bisa melakukan sedikit, namun dirinya telah bersumpah jika suatu saat nanti Ardan terluka karena Aries, ayah-nya sendiri. Maka Panji sendiri yang akan menyeretnya ke penjara.

Seperti ketika ia masih kelas 3 SMA. Saat itu Aries pulang ke rumah, sama ketika pria itu datang hanya dengan membawa tubuh serta tas laptop yang berisi berkas kantornya. Panji pikir Aries akan pulang tanpa menimbulkan suara atau gaduh. Namun, siapa sangka, kepulangan Aries membuat Ardan yang baru saja turun dengan tergesah sambil menuruni anak tangga membuat pandang pria itu beralih pada sosok yang baru saja akan menginjakkan kakinya dilantai dasar.

Semula rumah begitu gaduh, suara Ardan yang mendominasi karena teriak kalau dirinya akan terlambat ke sekolah. Tapi, suara itu tiba-tiba lenyap saat Aries buka suara untuk menegurnya begitu tajam.

"Kamu hanya hama, jangan coba untuk dekat dengan saya. Kamu itu pengganggu, pergi sana!"

Ardan diam, tapi bukan karena ucapannya. Ardan diam karena sikap kasarnya yang membuat anak itu hampir tersungkur ke belakang. Beruntung Ardan masih bisa menahan dirinya. Jika tidak, ia akan benar-benar jatuh lalu membentur sudut anak tangga yang tajam.

"Maafin Ardan Pa, maaf." gumam Ardan membuat Panji tersentak. Pergerakannya terhenti, lalu ia menatap Ardan yang masih terlelap di sana. Sejenak Panji terdiam, ia masih ngilu melihat sudut bibir Ardan yang terluka, bahkan lebamnya begitu pekat seolah anak itu habis mendapat pukulan keras di sana.

Perlahan Panji mengusap wajah adiknya, membiarkan dingin ruangan dengan embus angin yang masuk dari luar jendela yang sengaja dibukanya.

"Gis, ada gue. Lo jangan takut, kalau aja lo bisa dengar tanpa perlu alat bantu, mungkin luka ini ngga akan ada."

Selama ini Panji hanya mengira kalau Ardan hanya srkadar bergurau, meledek dirinya kalau anak itu tidak mendengarkan apapun. Ardan sering sekali bermasalah dengan kesehatannya. Baik dalam hal berdiri atau pun berlari. Anak itu akan mudah tergoyah. Bahkan kerusakan pendengarannya sangat berpengaruh pada sistem keseimbangan tubuhnya.
Ardan itu hanya normal secara fisik, bukan batin atau sistem didalam tubuhnya.

Jika Panji menanyakan Ardan dengan pertanyaan yang sama, Ardan akan menjawabnya dengan semangat, kemudian dia akan murung setelahnya.

Mungkin benar yang dikatakan oleh Sabit ketika di kampus siang tadi. Panji hanya memberikan cinta pada Ardan tanpa ia sadari, cintanya telah berubah menjadi sesuatu yang tidak akan berwujud atau dimiliki selamanya.

Bahkan Ardan pernah mengatakan hal yang sama, kurang lebih sekitar tiga minggu lalu sebelum anak itu masuj rumah sakit.

"Bang kemapa harus ada cinta diantara sepasang kekasih, kalau pada akhirnya mereka akan terlepas juga. Padahal cinta itu ngga kelihatan, dirasain juga kalau orang itu peka, kalau ngga, 'kan oasti cuma bertepuk sebelah tangan. Terus cinta itu juga ngga harus saling memiliki, tapi kenapa manusia itu suka banget maksain cinta, padahal ngga saling sayang."

Panjang anak itu bicara dengan tawa yang begitu renyah di dengar. Panjj memang tidak begitu panham apa yang Ardan katakan, namun ketika Sabit mengulang hal yang sama dengan lebih singkat, barulah Panji mengerti tentang trori cinta yang dimaksud Ardan kala itu.

Lucu sekali, jika dilihat Ardan jauh lebih menyebalkan menjadi orang yang sok tahu tentang teori dari pada menjadi orang yang tukang mengoceh setiap detik.

🍭🍭
"Dua belas ribu Mi ? Ini mah beli permen karet doang di Indoapril."

Padahal masih pagi, langit juga masih belum begitu cerah, tapi suara Ardan yang lebih dulu menjadi pengisi sunyi di rumah yang berukuran besar.

Pagi-pagi sekali Ardan terbangun, anak itu awalnya hanya ingin buang air kecil, namun ia mengingat kalau hari ini ada ulangan harian dan juga harus mengumpulkan tugas, Ardan buru-buru untuk mandi. Menbiarkan Panji yang tidak tahu sejak jam berapa cowok itu terlelap. Seingatnya terakhir ia terbangun Kakaknya hanya diam sambil memandang langit-langit kamarnya. Bahkan pertanyaannya saja diabaikan oleh Panji.

"Permen...terus, Gis sakit gigi nanti, gak sekarang, tapi kalau kamu udah tua baru ngerasain sakit gigi itu ngga enak, Sayang. Udah segitu aja, lagian mau jajan apa sih? Di rumah udah sarapan sekolah dianterin, pulang dijemput, jangan boros ah, Mami ngga suka."

Ardan mendesah, anak itu memajukan bibirnya ngambek, lalu berjalan mendekati meja makan dan duduk setelah menarik satu kursi di sana.

"Tahu lo, jangan suka boros, Tuhan ngga suka anak yang suka hambur-hamburkan uang. Mending ditabung, lagian uang segitu tuh harusnya di syukuri, bukannya malah disesali. Ngga baik." sambar Panji. Cowok itu pun sama, telah rapi dengab kemeja kotak-kotak dengan celana jeans biru kebanggaannya. Cowok itu pun duduk di sebelah Ardan ketika sampai dan menarik satu kursi di sisi adiknya.

"Anak itu hanya akan membawa susah kamu Panji, percuma kamu nasehatin dia, dia ngga akan pernah mau dengar. Dia cuma bisa menyusahkan kamu dan Mami kamu, dia hanya penyakit, ingat Panji penyakit!"

Suara barinton yang tiba-tiba menyahut itu membuat Panji, Ardan dan Alsha menoleh, sosok Aries dengan bangganya berdiri di sudut ruangan yang tak jauh dari meja makan. Bukan, pria itu tidak ingin ikut makan. Melainkan melemparkan ssebuah amplop berwarna putih dengan sebuah tulisan dari pengadilan di sana.

"Surat gugat dari oengadilan."







Salam manis NJ

Publish 13 Oktorber 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro