Spring
[ Spring :
A Happy Ending ]
.
.
.
Mori Shige mengembuskan napas terakhirnya pada suatu hari cerah di musim semi, meski pagi itu, ia tetap tampak segar seperti biasa.
Sama seperti rutinitasnya dalam lebih dari dua dekade, wanita mungil itu terbangun pukul lima pagi demi menyiapkan sarapan demi sang suami. Ada secuil keinginan kecil untuk memberi kejutan, sehingga dua mangkuk manjuu-chazuke terhidang di meja makan sebagai menu utama masakan pagi itu.
Ougai yang baru saja terbangun pada pukul enam dengan tampang seperti pemabuk brengsek tak bertanggung jawab berkat rambut berantakan dan iler menetes dari ujung mulutnya segera terdiam. Pria paruh baya itu mengerjapkan mata, terkejut, sebelum kepalanya menoleh ke arah kalender.
"Tidak ada apapun hari ini, Rintarou," Shige berkata, menjawab seolah bisa membaca pikiran sang pria, "Aku hanya sedang ingin memasakkan manjuu-chazuke untukmu."
"Oh, untunglah," Ougai bergumam, menghela napas lega, "Aku sudah takut akan dipentung tongkatmu seperti saat melupakan anniversary Port Mafia."
"Sembarangan!" Shige memekik tak terima, wajahnya memerah karena malu, "Itu cuma sekali dan sudah lama sekali!"
Ougai tertawa pelan, senang melihat reaksi gemas sang istri. Ekspresi malu wanita itu tidak pernah berubah dan sang pria tidak pernah bosan melihatnya. Rasanya lucu, tidak merasakan sedikit pun kebosanan meski telah mengenal seseorang lebih dari dua dekade.
Mungkin ini yang para anak generasi zaman sekarang sebut dengan 'bucin'. Entahlah; pasangan ini telah menua sejak lama, tidak mengikuti perkembangan zaman berkat tumpukan pekerjaan.
"Oh, tapi," Ougai menceletuk, kembali menatap kalender, "Hari ini aku cuti, setelah sekian lama."
Shige mengangkat sebelah alis, acuh tak acuh seraya berkata, "Ya terus?"
"Tidak peka," Ougai membalas, mencibir ngambek, "Ayo kita lihat bunga sakura bersama-sama. Kebetulan sedang berbunga, kan?"
Shige bersiul pelan, membalas, "Aku akan pergi hanya kalau ada amazake."
"Pamrih!"
Namun, meski memprotes, Ougai tetap membelikan sebuah amazake ketika akhirnya mereka sampai di taman. Di bawah pohon sakura, sang pria meninggalkan istrinya bersama tikar yang digerai dan keranjang kudapan.
Wanita mungil itu meletakkan tongkatnya di tanah, lalu menyandarkan punggung pada salah satu pohon. Matanya menatap lurus ke depan, menikmati dengan seksama pemandangan jatuhnya kelopak-kelopak merah jambu, tersapu angin kemudian terbang entah kemana.
Sudah berapa puluh tahun ia menatap pemandangan yang sama bersama sang suami tanpa pernah merasa bosan?
Entahlah, ia sendiri tidak ingat. Ia mengantuk, matanya mulai berat, kemudian sepasang iris delima itu tertutup----lalu tidak pernah terbuka lagi.
.
.
.
Umur Ougai 13 tahun ketika ia dan Shige pertama kali pergi melihat bunga sakura yang bermekaran. Kala itu, sang wanita masih mampu berjalan tanpa alat bantu dan ia membawakan tikar bagi mereka berdua untuk duduk, sementara sang pemuda membawa keranjang berisi makanan.
Tikar digelar, makanan dikeluarkan dan disantap. Dengan sisi kekanak-kanakkan yang jarang diperlihatkan, Ougai makan dengan lahap sekaligus berantakan, membuat Shige mengelap ujung bibir sang pemuda sambil tertawa gemas.
Ougai mendongak, menatap pohon tua yang memekarkan kembangnya dengan indah, lalu menceletuk, "Apa tahun depan kita bisa datang kemari dan melihat sakura lagi?"
"Kalau kau ingin," jawab Shige lembut, ikut mendongakkan kepala seraya menyandarkan punggung pada batang pohon, "dan kalau aku masih bersama denganmu tahun depan."
"Kalau begitu, tinggallah," Ougai berkata, menoleh menatap wanita itu, "Jangan pergi ke mana-mana lagi."
Shige balas menoleh, menatap pemuda itu. Ia tersenyum tipis seraya berkata, "Aku akan mencoba untuk tinggal."
"Kalau begitu, aku akan mencoba membuatmu tetap tinggal," Ougai berkata mantap, menggenggam tangan Shige dengan erat. Sang wanita mungil mengerjapkan mata, lalu tertawa, tetapi tidak kunjung menggenggam balik.
Shige tidak memercayai Ougai saat itu. Ia tidak mengira sang pemuda berhasil membuatnya tetap tinggal di satu tempat. Namun, ia terlalu meremehkan sang pemuda, kemudian berakhir tetap tinggal dan terus menikmati bunga sakura bersama-sama hingga lebih dari dua dekade.
Shige ... bahagia.
.
.
.
Ketika Ougai kembali sambil membawa amazake, Shige telah duduk tak bernyawa, wafat bagai seorang anak kecil yang tertidur berkat hangatnya mentari yang menelusup dari balik pohon sakura yang mekar. Dengan ketenangan seorang dokter, pria itu menelepon ambulans sebelum mulai memberikan pertolongan pertama. Namun, hasilnya nihil.
Ketika akhirnya tiba di rumah sakit, Mori Shige dinyatakan meninggal pada pukul 10 pagi di bawah pohon sakura, dengan wajah damai dan senyum tipis bahagia terpatri seiring nyawanya melayang pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro