28
Part 28 Pengorbanan
Suara tangis bayi yang terdengar dari balik pintu sukses membuat semua orang bernapas dengan lega. Meski harus lahir satu minggu lebih awal dari waktu yang dijadwalkan, putra Rayyan dan Celin lahir dengan sehat.
Kei melirik ke arah Kei yang sejak tadi hanya duduk membeku di sampingnya. Kedua tangan pria itu saling meremas, kepala tertunduk dan tak ada satu patah kata pun yang keluar sejak pria itu meninju wajah Ken. Bagian depan baju pria itu masih tampak basah karena menggendong Celin dari lantai dua ke bawah.
Tangan Leta bergerak hendak menyentuh pundak pria itu, tetapi keinginannya membeku menyadari kecemasan yang begitu pekat di wajah sang suami meski sang dokter keluar dan memberitahu semuanya bahwa Celin sedang dipindahkan ke ruang pemulihan sebelum ke ruang rawat.
Kecemasan dan kepanikan Kei yang begitu besar terhadap Celin, mau tak mau mengundang rasa bersalahnya terhadap pria itu. Jika ia menyadari kedatangan Celin lebih cepat, wanita itu tidak akan mendengarkan semuanya dan …
“Kami akan pulang.” Suara Kei untuk pertama kalinya mengejutkan semua orang. Termasuk Leta yang duduk di sampingnya. Pria itu beranjak dari duduknya sambil menarik lengan Leta, tanpa mengatakan apa pun lagi, keduanya berjalan menuju lift. Sepanjang perjalanan, tak ada pembicaraan apa pun. Kei singgah sebentar ke kediaman Ganuo hanya untuk mengambil baby Ace dan langsung ke apartemen.
Sampai di apartemen, Leta membawa baby Ace ke kamar dan membaringkannya di boks bayi. Kemudian menyusul ke kamar tetapi Kei mengunci pintu kamar mandi. Jadi Leta membersihkan tubuhnya di kamar mandi luar, dan saat kembali, pintu kamar mandi masih tertutup rapat.
Leta menunggu dengan membuatkan sarapan pagi, mereka belum makan apa pun dan bahkan seharusnya mereka ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan. Hingga meja makan sudah siap, Kei masih belum keluar dari kamar. Leta pun menyusul dan menemukan sang suami yang berada di ruang ganti. Berdiri di depan lemari sambil mengancingkan kemeja putih.
“K-kau akan ke kantor?”
Kei mengangguk singkat, tanpa menoleh pada Leta. Setelah selesai, pria itu mengambil dasi dan menyimpulnya dengan cepat.
“Aku sudah menyiapkan meja makan.”
Kei berhenti di samping Leta, mendaratkan ciuman singkat di kening dan berkata, “Aku harus bergegas.”
Leta menelan kekecewaannya sambil melihat punggung Kei yang menghilang di balik pintu kamar. Menarik rasa bersalahnya yang semakin membengkak di dadanya.
Apa Kei sangat marah pada keteledorannya?
***
“Haus?” Rayyan mengambil botol air mineral di nakas dan mendekatkannya ke bibir Celin. Tetapi wanita itu menepisnya dan mengambil botol mineral lain yang masih tersegel dan membukanya sendiri. Membasahi tenggorokannya dengan air tersebut.
“Aku ingin melihatnya.” Suara serah Celin terdengar lemah sekaligus dingin.
“Sebentar lagi perawat akan membawanya.”
Celin kembali terdiam. Menatap ke jendela ruang perawatannya. Kedua orang tuanya sudah pulang beberapa saat yang lalu setelah mengatakan akan singgah di ruang bayi sebentar untuk melihat putranya.
Sang mama bercerita putranya sangat mirip dengan Rayyan. Ya, hanya wajah Rayyan yang tak berhenti ia puja dan bayangkan di sepanjang kehamilannya. Bahkan sebelum menemukan dirinya hamil. Setidaknya harapannya terkabul, memiliki anak yang mirip dengan pria yang dicintainya.
Tetapi, ia tak harus memiliki Rayyan dengan cara seperti ini. Memisahkan pria itu dengan wanita yang dicintainya. Yang rupanya berkeliling di sekitar mereka.
Saat melihat Rayyan yang begitu menyayangi Leta, ia pikir itu hanyalah kasih sayang kakak pada adiknya seperti yang dilakukan sang kakak padanya. Tetapi … ia baru menyadari tatapan Rayyan pada Leta memang berbeda. Cara sang suami menatap Leta lebih dalam dan kuat dari kasih sayang seorang kakak pada adiknya.
“Kenapa kau tidak mengatakannya?”
Rayyan membeku, pandangannya beralih pada sang istri dengan perlahan. “Mengatakan apa?”
“Kalau wanita itu adalah Leta.”
Keterkejutan melintas di kedua mata Rayyan, dan baru menyadari tatapan kecewa dan sedih yang begitu pekat di sepasang manik biru tersebut. Sejak menemani Celin di ruang operasi, ruang pemulihan dan hingga di ruangan ini. Wanita itu memang tak banyak bicara. Ia pikir itu adalah cara Celin menghadapi ketakutan karena persalinan yang tiba-tiba harus dilakukan lebih cepat. Cara Celin bersikap agar tidak merepotkannya, padahal ia sama sekali tak keberatan harus direpotkan oleh sang istri. Kerepotannya tak akan melebihi kerepotan Celin yang mengandung anak mereka.
“Apa yang kau katakan?”
‘Selebihnya biarkan kakak yang mengurusnya untukmu.’ Celin teringat kata-kata sang kakak, yang benar-benar dilakukan untuknya. Semua orang sudah tahu. Hanya dirinya yang takt ahu telah menjadi masalah untuk banyak orang.
“Apa kak Kei mengancammu?”
Rayyan semakin membeku. Tadi ia sedang ada di ruang makan ketika tiba-tiba Kei menggendong Celin dari lantai atas. Wajah Ken yang tampak berantakan dengan darah di sekitar hidung dan wajah Leta yang pucat. Mungkinkah Celin mendengar sesuatu dari mereka bertiga? Atau mendengar cukup banyak.
“Dan wanita yang dicintai kak Kei sebenarnya adalah Rosaline.”
Rayyan tak membantah. Kata-kata sangkalannya pun tak akan dipercaya Celin. Yang didengar Celin lebih dari cukup untuk menekan emosi sang istri.
“Kalian berdua merelakan wanita yang kalian cintai karena aku?”
“Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, Celin.”
Air mata Celin mulai meleleh. Tetapi ia berusaha sangat keras kekecewaannya tak sampai menekan dirinya. “Setidaknya katakan semua itu hanya kebohongan.”
“Aku tahu kau tak akan mempercayainya.”
Celin tertawa kecil. Menatap wajah Rayyan yang masih saja terlihat tampan meski pria itu satu-satunya penyebab luka hatinya yang begitu mendalam. “Aku mencintaimu. Amat sangat.”
Celah di antara bibir Rayyan merapat. Menatap wajah pucat Celin yang mulai dibasahi air mata. “Tidak bisakah kita membahasnya setelah keadaanmu pulih?”
Mata Celin terpejam, sehingga air mata yang menggenang di matanya mengalir lebih deras. Ya, inilah alasan Rayyan tak pernah membalas pernyataan cintainya. Karena pria itu memang tak pernah mencintainya. “Bisakah kau meninggalkanku?”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin waktu untuk diriku sendiri.”
“Tentu saja tidak bisa. Kau baru saja melahirkan …”
“Aku bisa …”
“Tidak bisa,” penggal Rayyan dengan tegas. “Jangan membuatku menjadi pria yang tak bertanggung jawab pada istriku sendiri.”
“Kau melakukan semua ini hanya karena tanggung jawab?”
Rayyan terpaku untuk beberapa saat dengan saling pandang. “Sebelum kita menikah, aku sudah mengatakan akan memperlakukanmu dengan baik. Dan kau yang mengatakan akan membuatku jatuh cinta padamu.”
“Sebelum aku tahu kau mencintai Leta. Sebelum aku tahu wanita itu Leta. Sekarang aku tak memiliki kepercayaan diri itu lagi.”
Rayyan mendesah dengan kasar. Keheningan kembali membentang di antara mereka. Bersamaan dengan pintu ruangan yang diketuk dan perawat mendorong boks bayi ke dalam. Perhatian keduanya segera teralih, Rayyan berterima kasih pada si perawat yang mengarahkan beberapa hal tentang putra mereka sebelum keluar. Sementara pandangan Celin tak lepas dari boks bayi yang tak jauh dari sisi ranjang pasiennya.
Celin menahan tangannya yang hendak terulur ke boks bayi mereka. Uluran lengannya tak akan bisa mencapai putra mereka tanpa bantuan dari Rayyan, dan jelas situasi mereka tak mendukungnya untuk meminta bantuan pria itu.
Perhatian Rayyan segera teralih pada putra mereka. Senyum yang membentuk di kedua ujung pria itu masih saja menciptakan kehangatan di dalan dada Celin. Sama sekali tak merubah perasaan cintanya terhadap pria itu.
Dan ditambah wajah sang putra yang sepenuhnya adalah replika Rayyan, perasaan yang membuncah di dadanya semakin tak tertahankan. Memenuhi dadanya dengan kebahagiaan. Sampai kemudian getaran dari nakas mengalihkan perhatian keduanya.
Pandangan Celin mengikuti tangan Rayyan yang langsung menjawab panggilan tersebut, kembali menciptakan kecemburuan di dadanya. Tak perlu melihat siapa yang menghubungi pria itu, tetapi Rayyan malah memanggil nama Leta dengan sangat jelas.
“Ya, Leta?”
Celin membuang wajahnya ke samping. Nada dan suara Rayyan selalu lembut pada Leta, seperti biasa. Kenapa ia tak pernah menyadari semua itu.
“Celin? Ya, dia baik-baik saja. Putra kami baru saja dipindahkan.”
Ujung mata Celin melirik Rayyan. Yang tak melepaskan pandangan dari boks bayi. Pria itu bahkan tersenyum manis mendengarkan entah apa pun yang dikatakan oleh Leta. Beberapa kali menjawab hingga akhirnya panggilan tersebut berakhir. Ia bersikap seolah tak mendengarkan apa pun. Setelah rahasia itu terbongkar, tidak bisakah pria itu lebih bisa menjaga sikap di hadapannya? Bagaimana pun ia adalah istri pria itu.
“Kau ingin menggendongnya?” tawar Rayyan kemudian, memecah kecemburuan yang membuat hati wanita itu tegang. “Tapi kau masih belum boleh banyak bergerak.”
Celin hanya mampu menggigit bibir bagian dalamnya. Obat biusnya sudah mulai hilang, rasa sakit di perutnya membuatnya tak berani bergerak banyak. Ujung matanya melirik wajah sang putra yang tampak nyaman dengan posisi miring ke arahnya. Sama sekali tak terpengaruh dengan ujung jemari Rayyan yang mengelus lembut pipi gembul tersebut.
Rayyan membawa bayi mungil tersebut ke dalam gendongannya dan membaringkannya di samping wajah Celin agar wanita itu bisa melihat buah hati mereka lebih dekat lagi. “Sepertinya begini tak masalah.”
Celin menahan senyum melengkung di bibirnya dengan sikap hangat Rayyan yang tak berhenti melelehkan hatinya. Terutama ketika pria itu membungkuk ke arah mereka dan membuat jantungnya berdetak lebih kencang seperti biasanya.
“Mama bilang dia mirip denganku,” ucap Rayyan dengan lirih. Mengamati lebih lekat wajah sang putra, kemudian ke wajah Celin. “Sepertinya memang benar.”
Napas Celin sempat tertahan karena Rayyan, tetapi ia segera mengalihkan perhatiannya pada sang putra. Tangannya bergerak menyentuh ujung hidung yang kecil dan lancip tersebut dengan sangat hati-hati. Sejenak putranya bergerak pelan tetapi kembali mendapatkan posisi nyaman dengan lebih cepat. “Sangat tampan,” lirihnya tanpa sadar.
“Benarkah?”
Celin mengerjap tersadar. Dengan wajah Rayyan yang rupanya begitu dekat di depannya. Jika tak ada wajah mungil bayi mereka, pria itu pasti bisa mendengar jantungnya yang berdegup dengan kencang.
“Terima kasih.”
Kalimat Rayyan kembeli membekukan Celin. Memberikan seluruh perhatiannya pada pria itu kembali. Tatapan dan suaranya yang lembut. Ada ketulusan di sana, meski tidak dengan perasaan cinta seperti yang diharapkannya.
“Kau sudah berkorban terlalu banyak dalam hubungan ini. Bahkan nyawamu.” Kali ini tatapan Rayyan mengarah lurus pada mata Celin. Tangannya terangkat, menyentuh sisi wajah Celin. Tatapannya mengungkapkan ribuan terima kasih yang tak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. “Dan aku minta maaf.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro