Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Vile

Penulis: Jelita | nao-zey

"Kebenaran yang tak pernah terungkap. Berbagai pihak telah angkat tangan. Putus asa mulai menjadi momok menakutkan bagi sang putri. Tak terpikirkan olehnya semua akan menjadi—"

"Ayla! Kamu, tuh, lagi ngapain, sih. Kayak orang gila, tahu!" tegur Levy dengan nada seolah memberi sinyal peperangan.

"Apa, sih!"

"Apa, sih lagi! Udahlah, dasar enggak waras!"

Levy meninggalkan Ayla seorang diri di ruang keluarga tanpa tahu ketakutan sendiri kekasihnya. Betapa mengerikannya ruang ini tanpa sosok yang selalu menjadi cahaya bagi Ayla.

Ayla yang pandai dalam memainkan drama, membuat segala ketakutan dalam hidupnya tak terlihat oleh siapa pun. Seolah hidupnya dipenuhi oleh warna-warni kehidupan tanpa kegelapan.

Padahal, siapa pun tahu, siapa pun mengerti, kebahagiaan adalah hal yang fana. Hal yang semu sehingga tak mampu dimengerti selain oleh diri sendiri.

Ayla yang ditinggalkan begitu saja oleh Levy membuat pikirannya kacau. Ditambah memori kelam tentang ruangan ini. Ruang yang menjadi saksi bisu pembunuhan ibunya. Kala semua anggota keluarga tersenyum bahagia di hari cinta kasih itu, Ayla justru tertekan hingga tak kuasa membedakan mana realita dan imajinasi belaka.

Kakinya mendadak lemas hingga tak mampu menopang berat badannya. Rok hitam selutut dengan hoodie bergambar cokelat membuat ia semakin tak berdaya.

Saat suara Levy terus memanggil namanya, entah kenapa membuat ia teringat akan sosok lain dalam tragedi malam itu.

"Ay! Ay!" Levy terus mengguncang bahu Ayla saat tak mendapat respon sama sekali dari sang empu.

"Ay?" Ayla menyahut, tetapi ia seolah amnesia. Bukan, lebih tepatnya ia menanyakan kebenaran tentang panggilan itu kepadanya.

Eh, apa aku keceplosan, ya? Sial, kalau aku keceplosan lagi, tragedi itu akan semakin jelas! Aku harus jawab apa coba? Batinnya.

"A-ah, maksudku ayam. 'Kan, kamu suka ayam, jadi aku coba ledekin kamu pake nama ayam!" ujar Levy seraya terbahak-bahak.

"Apaan, sih, enggak jelas!" sinis Ayla.
Mereka beranjak dari ruang keluarga menuju lantai dua rumah Ayla. Rumah besar yang hanya ditinggali seorang diri. Namun, kini tak ada lagi penghuninya.

Demi kesehatan Ayla, Levy mengajaknya untuk tinggal bersebelahan di apartemen. Masalah biaya? Santai, Levy orang kaya, kok.

Tiba di kamar lama Ayla, Levy langsung menerobos untuk menjatuhkan diri di kasur empuk ini. Ruangan dengan cat warna abu-abu, macam hidup Ayla yang tak jelas.

Ayla langsung memungut surat yang ditinggalkan ibunya sebelum benar-benar pergi dari dunia ini. Surat yang hanya berisi kata 'Vile' yang membuat Ayla harus memaksa otaknya berpikir lebih keras.

"Hoi, Lev! Apa ibu dulu salah, ya, mau nulis 'File' jadi 'Vile'?" tanya Ayla.

"Hm, entahlah. Dulu ibumu suka apa, sih?"

"Bahasa Jepang, deh. Dulu ibu ngotot banget pengin aku belajar Bahasa Jepang," ujar Ayla dengan menahan sesak di dadanya. Mengingat sosok sang ibu yang masih sering menasehati kini diam membisu meski Ayla tak lagi jadi yang diharapkan.

Karena tak ada harapan lagi tentang teka-teki tragedi tiga tahun silam, mereka memutuskan untuk pulang ke apartemen. Tentunya Ayla berat hati meninggalkan rumah peninggalan ibunya. Satu-satunya harta berharga yang tak bisa diambil secara cuma-cuma.

Di perjalanan, Levy sempat terpikir oleh hari ini yang sama dengan tragedi itu. Entah mengapa, ia merasa bersalah sebab sempat meninggalkan Ayla seorang diri di ruang keluarga rumah Ayla.

Karena Ayla asik sendiri dalam memperagakan tokoh novel yang dibacanya, ia lupa akan satu fakta ketakutan Ayla. Sebagai gantinya, Levy ingin membahagiakan Ayla sebelum ia menjadi sosok yang paling dibenci oleh kekasihnya sendiri.

"El?"

"Ya?"

"Dih, singkat amat! Gak usah sok cuek kenapa!" sinis Levy.

"Ngaca, dong!" sahut Ayla tak kalah sinis.

"Udah, kok. Masih ganteng, rambut item gini, senyum manis ditambah lesung pipi di kiri," ujar Levy membanggakan dirinya sendiri.

"Iya, deh! Ngapa?" Tak mau lanjut untuk ribut, Ayla memilih untuk mengalah. Karena jika diteruskan, yang ada Levy mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Beli es krim, yuk?" tawar Levy.

"Nggak ah, pengen yoghurt," jawab Ayla.

Namun, jawaban Ayla justru dikatai banyak maunya oley Levy. Sedetik kemudian, terjadilah pertengkaran kecil di antara mereka. Memang, ya, pasangan kekasih yang aneh.

Setelah saling instrospeksi diri, akhirnya mobil menepi untuk membeli apa yang diinginkan Ayla di supermarket. Yoghurt memang kesukaan Ayla, hingga wajahnya pun sering terlihat masam.

Setelah berkeliling melihat berbagai makanan ringan dan akhirnya hanya mengambil hal yang diinginkan tadi, Levy berinisiatif membeli cokelat. Ayla memang kurang suka dengan cokelat, apalagi memori kelam di hari penuh cokelat membuat semakin tak suka.

"Kenapa beli cokelat segala? Mahal pula, ih. Balikin aja!" Ayla terus menampakkan muka masam kepasa Levy.

"Senyum dikit kenapa, El. Lagi valentine pula, masam terus, ih, keliatannya," ujar Levy dengan raut kecewa.

Respons tak terduga dari Ayla membuat Levy kembali tersenyum. Ayla tiba-tiba mencium pipi kanan Levy. Ayla yang tak pernah mau diajak bergandeng tangan melakukan hal itu tentu saja membuat Levy kegirangan.

Malam valentine itulah satu-satunya kenangan Ayla dengan Levy. Sebelum keesokan harinya Ayla melihat kondisi leher Levy tertancap pisau di apartemen. Dengan sepucuk surat permohonan maaf Levy atas nama adiknya, Vairi.

Kata 'Vile' yang dimaksud di surat yang ditulis ibu Ayla adalah merujuk nama Vairi, pelaku yang membuat Ayla kehilangan sosok hidupnya. Karena tak sanggup untuk terus menanggung beban itu, Levy memilih jalan yang menurutnya benar.

Menyerahkan diri pada Kakak Ayla hingga terjadi insiden pembunuhan ini.

"Sayounara, El. Daisuki da yo ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro