Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Valentino dan Valentheo

Penulis: Carla | Nijinoyoru

“Mas berangkat. Baik-baik di rumah. Jangan lari-lari, jangan loncat-loncat. Inget, yang di sini ada dua manusia. Kalau butuh apa-apa, jangan lupa hubungi mama atau bunda. Jangan makan yang aneh-aneh, jangan lupa minum susu dan vitamin.”

Fani mengangguk, mengerti tugasnya.

“Pulangnya kapan?” Fani mendongak, menatap sang suami yang tampak gagah dengan balutan seragam loreng army.

“Sebelum mereka lahir, Mas udah pulang, kok. Sabar, ya.”

Lelaki bernama Harsa itu menarik tengkuk istrinya, mendaratkan kecupan lama di kening wanita yang sangat dicintai. Fani membalas dengan pelukan erat.

Mobil hitam mengilap milik Harsa menghilang perlahan dari pandangan Fani. Perempuan berusia 25 tahun itu meneteskan air mata. Tidak ada waktu untuk mereka bersua lebih lama sebab urusan negara adalah hal yang harus diprioritaskan oleh Harsa.

Menjadi istri dari seorang TNI memang tidak mudah. Menjalani hubungan jarak jauh, dipenuhi kecemasan setiap harinya, pergi dua bulan untuk pulang seminggu saja. Fani paham betul tugas Harsa, karena itu dia tidak berlarut-larut dalam keluhan. Perempuan yang tengah mengandung bayi kembar itu menaruh kepercayaan tinggi pada sang suami, begitu pula sebaliknya.

Sudah 4 bulan usia kandungan dua bayi kembar. Artinya, hanya perlu menunggu lima bulan lagi untuk menanti manusia baru lahir dari rahimnya. Sebelum lima bulan itu, Harsa sudah berjanji akan pulang, mengosongkan jadwalnya demi menemani masa-masa trimester akhir Fani. Menjadi orang paling bahagia melihat kelahiran dua putranya.

Fani menduduki sofa berwarna abu-abu gelap di ruang keluarga, atensinya mengarah pada foto pernikahan mereka yang terpampang menakjubkan di dinding.

“Kamu juga baik-baik di sana. Cepat pulang, aku menunggumu.”

* * *


Bosan di rumah selama dua bulan, Fani berinisiatif untuk membeli perlengkapan. Warna biru dan hijau menjadi pilihannya mengetahui dua bayinya berjenis kelamin laki-laki. Mama—panggilan Fani untuk mertuanya—juga tampak bersemangat memilih sepatu, kaos kaki, dan topi rajut untuk dua cucu pertamanya.

“Suamimu, loh. Kok, bisa-bisanya nugas pas kamu lagi hamil gini,” celetuk mama sambil menimbang-nimbang hendak mengambil baju dengan motif kepala bebek atau jerapah. Fani tersenyum getir.

“Nggak salah Mas Harsa juga, Ma. Memang itu tugasnya,” balas Fani sambil meletakkan dua jenis mainan di dalam keranjang.

“Padahal bisa, loh, dia kerja di perusahaan papanya. Kalau begini, ‘kan, kasihan kamu.”

“Fani nggak apa-apa, kok, Ma. Lagi pula, jadi TNI emang udah cita-cita Mas Harsa dari kecil. Fani nggak mau jadi penghambat Mas Harsa.”

Mama mengalah.

* * *

Sudah hampir lima bulan berlalu, tapi Harsa tak kunjung pulang. Fani menghabiskan masa-masa akhir kehamilannya dengan bunda dan mama bergantian. Segala persiapan persalinan bahkan sudah disiapkan dua wanita yang tak sabar menanti kehadiran cucu mereka. Bahkan setiap malam, dua calon nenek itu merasa wajib menemani Fani tidur, takut terjadi apa-apa.

Makin mendekati hari kelahiran, perasaan Fani mulai cemas. Berkali-kali menelepon Harsa, tapi panggilannya tak terjawab. Segala spekulasi buruk berputar di kepalanya, tapi berusaha ditepis. Harsa sudah janji akan pulang, itu artinya dia pasti akan segera pulang.

“Ayah kalian ke mana, ya?” monolog Fani sambil mengusap perutnya. Satu tendangan dirasakan, membuat Fani tertawa pelan. Membayangkan kaki-kaki mungil yang kelak akan dapat dilihatnya setiap hari, atau tangan kecil yang menggapai-gapai terkadang menjadi penyemangatnya.

“Kira-kira, ayah kalian bakalan pulang tepat waktu, nggak, ya?”
Fani memberengut ketika menyadari tidak ada respons apa pun.

“Jawab Bunda, dong. Kok, malah diem? Kalian, nih, bikin Bunda khawatir.”

Dua tendangan beruntun kembali dirasakan Fani. Dia tersenyum puas. Berdialog dengan janin adalah hal menyenangkan yang akhir-akhir ini dilakukan Fani. Bunda dan mamanya tidak mengizinkan untuk melakukan pekerjaan apa pun, termasuk menyapu dan mengepel rumah. Konon lagi memasang lampu yang putus—padahal memasang bola lampu adalah hobinya.

Fani meraih susu cokelat di atas, meneguknya perlahan. Sesaat kemudian, ia melirik ke luar jendela. Warna langit sudah berubah menjadi jingga. Netranya kemudian beralih menatap kalender di atas nakas. Sebuah lenguhan lolos dari bibir mungilnya.

“Harusnya ayah kalian udah pulang. Iya, ‘kan?”

Fani merasa perutnya ditendang dari dalam. Sekali, dua kali, tiga kali, ia masih tertawa. Dua anaknya terlalu antusias di dalam sana. Kali keempat, agaknya tendangan tersebut membuatnya merasa nyeri.

“Jangan kuat-kuat, Dek. Bunda, ‘kan, cuma nanya sekali—aw!”

Fani meringis ketika merasakan sesuatu yang sangat menyakitan dari bagian bawah perutnya. Diliriknya sekali lagi kalender yang tujuh tanggal selanjutnya sudah ditandai dengan spidol. Apa dua anaknya akan lahir hari ini? Terlalu awal seminggu. Ah, atau yang dirasakan saat ini hanyalah sebuah kontraksi?

Fani menggigit bibir bawah, tangannya menggapai-gapai ponsel dan mengetikkan nama bundanya. Ia takut terjadi apa-apa, terlebih saat darah menembus bajunya yang berwarna kuning cerah. Berusaha tidak panik, ia menghubungi siapa pun yang bisa dihubungi. Ia tidak akan mengambil risiko apa pun.

Tidak menunggu waktu lama, bunda telah sampai, menemukan Fani yang terbaring ngos-ngosan di atas kasur. Meminta bantuan suaminya, bunda membawa Fani ke rumah sakit.

Pendarahan, begitu kata dokter. Sebab itulah, bayi-bayi itu harus segera diselamatkan. Kabar baiknya, Fani masih bisa melakukan persalinan normal.

“Bunda ...,” panggil Fani, menahan rasa sakit di sekujur tubuh.

“Iya?”

“Apa memang rasanya sesakit ini?” Setetes air mata lolos mengaliri pipi mulusnya, disusul bulir bening lain.

“Rasanya ... tulang-tulangnya kayak lepas semua. Sakit,” keluhnya lagi. Bunda mempererat genggamannya, mengusap keringat yang membanjiri kening Fani, lalu mencium tangan putrinya.

“Kamu pasti kuat, kok,” ucap bunda.

“Bunda ...,”

“Ya?”

“Mas Harsa akan pulang, nggak, ya?”
Bunda hanya mampu diam.

“Mas Harsa bilang ... Mas Harsa bilang bakalan pulang sebelum anak kami lahir.”

“Iya, dia pasti pulang.”

“Tapi kenapa nggak ada kabar? Kenapa dia belum dateng?”

Bunda mengusap air mata Fani, membiarkan air matanya sendiri jatuh.

“Harsa Cuma terlambat, Nak. Jangan terlalu dipikirkan, ya.”

Fani mengejan beberapa lama, tapi tak kunjung selesai. Entah apa yang salah, Fani hanya mendengar bahwa dokter berkata untuk melakukan vakum untuk membuka jalan lahir bayinya. Malam sudah membawa jarum jam ke arah antara angka sebelas dan dua belas, tapi prosesnya belum juga selesai.

Fani mulai kesusahan bernapas, hingga butuh bantuan oksigen. Mentalnya mulai terkikis perlahan akibat rasa sakit yang seakan tak berkesudahan.

Tepat pukul 00.15 dini hari, ruangan terdengar ramai oleh tangisan dua bayi laki-laki yang saling sahut. Saat itu pula, seorang lelaki datang dan masuk tergopoh-gopoh, masih dengan seragam lorengnya. Peluh membanjiri wajah yang tengah ngos-ngosan tersebut.

“Mas Deri? Mas Harsa ... di mana?”

Saat lelaki yang dipanggil Deri itu hendak menjawab, kelopak mata Fani sudah lebih dulu tertutup.

* * *


Fani mengerjap beberapa kali saat cahaya masuk ke pupil. Belum habis di situ, Fani mengucek mata ketika melihat seorang lelaki berdiri memunggunginya dengan menggendong dua bayi yang terlelap. Itu Harsa.

“Ah, sudah bangun?”

Fani masih diam.

“Halo, istrinya Mas. Kok, melamun?”
Fani mengerjap lagi, sepersekian detik kemudian matanya berembun. Harsa benar-benar di sana. Melihat istrinya yang tiba-tiba menangis sesenggukan, Harsa meletakkan dua bayinya di dalam box di sebelah brankar Fani, lantas menarik kursi untuk duduk di samping kasur.

“Mas baik-baik aja, ‘kan?!”

“Iya.”

“Aku pikir ... aku pikir ... Mas—” Belum selesai berbicara, telunjuk Harsa menyentuh bibir Fani hingga mengatup. Isaknya masih terdengar jelas.

“Mas ditahan sementara, ada masalah yang nggak terduga di perbatasan. Itulah kenapa Mas ngirimin Deri ke sini untuk ngasih informasi kalau jam tiga malam Mas udah sampai.”

Fani masih menangis tersedu. Tidak dimungkiri, sejak dua bulan yang lalu, pikiran-pikiran buruk selalu datang menghampirinya. Terakhir kali, saat Deri datang, bahkan Fani sudah menyerah dan siap menerima kabar buruk yang mungkin disampaikan.

Maka dari itu, melihat Harsa ada di sini, dengan sepatunya yang masih berlepotan dengan lumpur, membuatnya menangis bahagia.

“Maafin Mas, enggak pulang tepat waktu.” Fani menggeleng. Harsa sudah berada di sini saja, dia sudah sangat bahagia.

“Makasih udah sabar nungguin Mas, dan makasih karena udah kuat buat mereka. Selamat Hari Valentine.”

Harsa merogoh sakunya, mengeluarkan cincin berlian dari sana lantas memakaikannya pada jari manis sebelah kiri.

“Kamu udah kasih nama mereka?”
Fani menggeleng. “Nungguin Mas. Bagusnya dikasih nama siapa?”

“Valentino dan Valentheo. Gimana?”

“Boleh.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro