Valentine
Penulis: Azzah | seirin11_04
14/2.
Aku melingkarinya di kalender. Tintanya berwarna cokelat, dengan coretan—yang kuanggap sebagai hiasan—di sekitar lingkarannya.
Pada bulan Februari, tanggal 14, adalah hari di mana Kelvin gila-gilaan berbaik hati mentraktirku cokelat dan sebagainya. Namun, tahun ini ada syarat khususnya. Aku akan dinyatakan mendapat tiket jajan gratis bila sungguhan menonton pertandingan final futsalnya tanpa melengos malas ketika kalah.
Nahas, hari kasih sayang yang bergelimang cokelat ini sepertinya jatuh pada tanggal yang salah.
Aku terbangun sambil meringkuk di dalam selimut dan merengek tanpa suara. Sensasi yang mengerikan tengah melilit perutku. Susah payah kuraih ponsel di bawah ranjang, ujung-ujungnya aku mengumpat lemah karena cahaya layarnya terlalu terang bagai ponsel mama.
Di layar kunci, jam digitalnya memamerkan angka lima dengan deretan nol yang sempurna. Wallpaper-nya sengaja kupasang berupa latar putih kosong bertuliskan ‘AYO BANGUN! WAKTUNYA JADI SUPPORTER!’ supaya aku langsung terbangun dan melompat mengambil handuk.
Sialnya, aku tidak terbangun semudah itu.
Tepat setelah membuka mata, rasa sakit menghantam perut dan memaksaku untuk terpejam sambil mengernyit. Sekali melakukan gerakan sembrono, aku refleks meringkuk.
Kulirik kalender. Helaan napas keluar dari mulut, agak merutuk dan rasanya aku ingin berkata kasar terus. Tanggal 14, hari ini, hari pertandingan semifinal futsal anak sekolah bersamaan dengan jadwal tamu bulananku datang. Entah kenapa rasanya aku mau menangis sambil marah-marah.
“Kenapa harus hari ini, sih?” rengekku, tanpa pamrih membanting ponsel ke atas bantal. Sekali lagi merutuk karena di saat-saat harus gesit begini, perutku malah menuntut untuk tetap berbaring mencari posisi nyaman dan tidak bergerak sampai nyerinya reda.
Aku cemberut. Memeluk guling dan kembali bergelung hebat bagai hewan tak bertulang belakang.
Sampai tiba-tiba mama masuk tanpa mengetuk pintu. Ada botol minum berukuran satu liter dan kantong kompres air panas di tangannya. Begitu mama duduk di tepi ranjang, dinding botolnya sengaja menyenggol tanganku. Serta-merta aku mengaduh kepanasan dan semakin cemberut akibat kelabilan emosi.
“Pantas rasanya ada energi negatif,” celetuk mama. “Dari sini ternyata sumbernya.”
Decak lidah kulakukan. Sapaan mama tidak membuatku merasa lebih baik.
“Jangan jutek-jutek. Cuma gejala menstruasi aja, kok, sok-sokan jadi cewek galak.” Mama berkhotbah. “Cowok pun pasti lama-lama jengkel sama cewek yang labil emosi begini.”
Aku mencebik. “Kelvin enggak, tuh.”
“Halah, cinta monyet.”
Kusaksikan mama yang menyiapkan kantong kompres. Setelah selesai, kantong kompres itu didaratkan di atas keningku. Aku nyaris mengumpat dan mencaplok tangannya dengan gigi, tetapi masih ingat bahwa nasib tempat tinggalku ada di tangannya. Sambil menggerutu kupindahkan kompres itu ke atas bagian perut yang sakit.
“Hari ini enggak usah ke mana-mana. Bilang ke Kelvin kalau kamu enggak bisa tonton pertandingannya.”
Duh, jangankan ‘ke mana-mana’, duduk saja susah.
Setelah memastikan aku mendapat posisi nyaman, mama keluar sambil pamer, bilang sedang memasak ayam balado—dan aku dilarang memakannya—alhasil, aku merengut lagi. Masa bodohlah. Kucari posisi nyaman walau posenya sudah tak karuan. Di saat itulah ponselku bergetar dengan notifikasi pesan masuk di layarnya. Dari Kelvin.
Udah bangun, ‘kan? Cepat mandi, sana. Lima belas menit lagi kujemput.
Tahu diri kesulitan mengetik, kuputuskan untuk menekan tombol panggilan pada kontaknya, tak lupa mengaktifkan loud speaker. Baru nada sambung kedua, teleponku langsung diangkat.
“Malas betul buat mengetik, ya?”
Aku merapatkan bibir, perlahan mendengkus melawan nyeri. “Sorry.”
“Hah?”
“Sorry.”
“Hah? Apa, sih? Kamu ngomong apa, Ra? Enggak kedengaran. Kamu enggak habis nangis, ‘kan? Atau ini masih setengah tidur? Eh, apa jangan-jangan ... ini Tante? Saya di-prank?”
Buset. Aku mengerjap, berpikir cepat agar tidak perlu mengulang kata-kata yang sama.
“Lihat tanggal,” kataku akhirnya, sengaja agak lantang. “Buruan.”
“Tanggal? Hari ini?” Suara Kelvin menghilang. Berapa lama ... kalau kuhitung-hitung, sekitar tiga detik. Barulah suaranya muncul lagi membawa kalimat, “Oh.”
Aku memberikan cengiran lemah. “Ya.”
“Oke.”
“Sorry, Pin.”
“Enggak apa-apa,” dia meringis. “Nyeri banget? Mau titip sesuatu? Nanti kubeli sebelum pulang .... Eh, kamu enggak minum minuman pereda nyeri gitu, ‘kan?”
“Enggak boleh sama mama.”
Terdengar gumaman berdengung di sana. “Pembalutmu masih banyak, 'kan?”
“Pin, tolong jangan bikin ... a-aku enggak bisa ketawa.” Aku merengek.
Terlalu lemas untuk tertawa, dan terlalu nyeri saat tertawa. Kutarik napas panjang seraya mengeratkan pelukan kompres di perut. “Hm, ada satu permintaan, sih.”
“Apa? Bawa baju kotor? Atau piala?”
“Dua-duanya boleh,” sahutku tenang, tiba-tiba merasa berat di mata. Pertanda posisi yang kudapat sudah tepat, hangatnya kompres yang berlawanan dengan dinginnya subuh juga membuatku tambah nyaman.
“Asalkan jangan bawa cedera ....”
“Duh, aduh, ada yang perhatian.”
“Enggak. Aku butuh asisten. Kalau asisten juga sakit, siapa yang merawat majikan?”
“Cih. Iya, iya.”
Aku menyeringai. Tanpa melihat wajahnya pun aku tahu Kelvin sedang mencebik.
“Istirahat sana. Jangan makan pedas, nanti aku bilang ke Dine buat enggak ajak kamu jajan seblak dulu. Banyak minum air putih, yang hangat kalau bisa.”
Aku menguap. “Kamu lebih cerewet dari Mama.”
“Cerewet itu tanda sayang.”
“Sorry?” Aku mengerjap. “Hal cringe apa yang barusan kudengar?”
Gelak tawa terdengar dari ujung telepon. Renyah, geli, tidak lantang-lantang amat. Aku mengulum bibir. Menikmati suara tawanya yang biasanya menular—kali ini pengecualian karena tertawa kecil pun susah.
“Oke, aku berangkat sekarang. Nanti kubeli obat yang enak.” Suara ristleting menginterupsi. Disusul dengan suara khas gerakan lasak laki-laki mengangkut tasnya.
“Betulan enggak mau titip sesuatu?” tanya Kelvin. “Aku ada uang lebih, mengingat seharusnya hari ini traktiran juga.”
Oh, tentu saja ada satu yang selalu kuinginkan dari dulu. “Kinder Joy.”
“Bah.”
“Oke?”
“Enggak.”
“Ih.”
* * *
Aku pengangguran sekarat.
Walau sakitnya mereda, jumlah langkah paling maksimal yang dapat kuambil tidak lebih dari tujuh langkah. Dengan catatan, destinasiku beragam—kamar mandi karena panggilan alam, dapur untuk mencari bahan bakar, sofa untuk bermalas-malasan karena bosan di kamar, lalu ujung-ujungnya aku tertatih-tatih kembali ke kamar karena khawatir ada yang merembes kalau berleha-leha di sofa.
Aku tengkurap di atas ranjang. Ponsel di sebelahku sama menganggurnya. Sempat kukirim pesan singkat ke Dine—kawan semejaku yang dengan mudah pacaran lalu putus lalu pacaran lagi—tetapi rupanya anak itu sedang wisata kuliner ke pedagang kaki lima di SD anak orang, tak kenal siapa.
Jajanan anak SD enak-enak, Ra. Besok kalau kamu udah mendingan coba kuajak, deh. Ketiknya.
Tak tahu harus melakukan apa, jadilah aku berulang kali melirik ponsel dan angka jamnya dengan sia-sia.
Setengah dua belas siang.
Kelvin bilang tim futsal sekolah dapat jadwal tanding pagi. Kalau lolos, mereka tanding lagi sampai sore—sudah tentu masuk final. Sebaliknya, kalau mereka pulang siang, ada kemungkinan mereka kalah merebut tiket ke final.
Dalam hati, aku ingin mereka menang. Di sisi lain, aku ingin Kelvin cepat pulang.
Bah. Aku ini kenapa?
“Tidur lagi, deh.” Aku bergumam.
Malas-malasan menarik guling dan akhirnya meringkuk lagi. “Cepat pulang, dong. Majikanmu sekarat, nih,” gumamku. “Tapi jangan, deh. Sabet juara pertama dulu sana.”
“Tapi udah kalah. Bagaimana, dong?”
Aku terbelalak. Segera mendongak dan menemukan Kelvin bertengger di bingkai jendela. Masih dengan jaket tim dan kaus oblongnya yang tampak bersih—ah, ya, pemain futsal pastilah membawa baju ganti. Kuperhatikan, wajah dan rambutnya basah. Entah keringat atau habis keramas massal satu tim.
Dan dari semua penampilan berantakan, ada kantong plastik putih di tangannya. Berlogokan sebuah instansi merah-kuning-biru yang letaknya pasti bukan dari sini. Mana ada toko itu di perumahan.
“Pin.” Aku arahkan tanganku pada pintu. “Zaman dahulu kala, Sir Isaac Newton menemukan sebuah zat padat yang dinamakan ‘pintu’. Apabila mendorong tuasnya ke bawah, engsel akan bekerja dan pintu akan terbuka. Ketika kamu melakukan tata caranya, statusmu adalah tamu resmi. Bukan jurig futsal basah kuyup yang bertengger di jendela.”
Kelvin nyengir. “Udah mendingan, ya? Subuh tadi kamu cuma bisa ngomong sekata, dua kata, lho.”
Aku berdecak lidah, menurunkan tangan. “Ada handuk cadangan di laci bawah meja belajar,” kataku seraya menjulurkan kaki ke permukaan lantai kemudian duduk malas-malasan. “Ambil sana. Mama pasti bakal ajak kamu makan siang. Seenggaknya kepalamu enggak kuy—”
“Ra!”
“Iya?” Aku menyahut lantang. Kulirik Kelvin yang menatap ke arah pintu. Bersiap mendengar kelanjutan panggilan mama.
“Ada Kelvin di sana, ya? Nanti ajak makan siang dulu!” Mama berseru lantang. “Kelvin juga jangan langsung kabur! Kalau kabur nanti Tante fitnah kamu colong mangga.”
Kelvin mengulum bibir, menahan senyum. “Siap, Tante!” balasnya.
Hening lagi. Aku menatap Kelvin dengan pandangan tuh, kan? sedangkan Kelvin angkat bahu dengan senyum jemawa. Tampak bahagia betul diajak makan siang. Gratisan pula. Tinggal setor wajah.
“Ambil handuknya,” titahku. “Sini kugosok rambutmu.”
Jurig gadungan itu nyengir lebar. “Ih, kayak meong, dong?”
“Enggak, kayak guk-guk.”
Kelvin cemberut, tetapi aku tidak peduli. Telunjukku teracung ke laci bawah. Kelvin yang masih bertengger terpaksa mendarat di lantai kamar.
Dengan santai bagai tuan rumah duduk di atas kursi belajar, membuka laci dan mengambil satu handuk dari sana. Setelahnya dia menyodorkan handuk itu padaku lalu asyik sendiri berputar-putar di atas kursi.
Masih sambil asyik berputar sendiri, dia bertanya, “Orang mana yang menyimpan handuk di laci meja belajar?”
“Orang ini.” Aku mendengkus, menarik kaki kursi yang beroda dengan ujung kaki. Sedetik kemudian mengeluh jengkel karena putaran Kelvin nyaris menelan kakiku. “Diam dulu, bah.”
Kelvin diam badannya, tetapi tidak dengan kakinya yang masih kompak goyang kanan-kiri. Tatkala kugosok kepalanya kuat-kuat sampai dia mengaduh dan protes kepanasan, barulah dia duduk tenang bagai anak baik yang rambutnya tengah digosok sang ibu dengan handuk.
“Omong-omong, kenapa pulang siang?” Kubuka topik pembicaraan dengan senang hati. “Tim sekolah enggak lolos ke final?”
Tanpa suara, Kelvin mengangkat kedua alisnya serempak sebagai jawaban.
Bibirku terkatup rapat. Gawat. Gaya menjawab seperti itu bukanlah pertanda bagus. Baiklah, mari ganti topik. Mungkin lebih sopan kalau diam dan menyaksikan mereka merenung sendiri. Kalau memang tidak lolos, yah, tidak masalah buatku, sih. Toh, memangnya kalau mereka menang atau kalah aku harus apa?
“Kayak bocah,” aku bergumam. Agak lembut menggosok bawah telinga. Takut tidak sengaja mematahkan rahangnya. Terang-terangan kutolehkan kepala pada plastik putih dekat kakinya. “Itu apa?”
Kelvin mengangkat wajah, tersentak kecil. Mematung sejenak sebelum kemudian berdeham. Mungkin baru sadar jarak kami lebih dekat dari sebelumnya.
“Sesajen buat pasien,” jawabnya.
Aku menurunkan handuk. Merapatkan bibir melihat rambut yang semula basah kuyup kini malah mirip objek pasca disambar listrik. “Ada Kinder Joy, enggak?”
“Enggak.”
“Payah.” Aku cemberut. “Padahal Hari Valentine.”
“Yang promo di hari Valentine itu bukan Kinder Joy, Beb.” Kelvin melengos. “Ada lagi, ukurannya lebih besar dan jelas lebih mahal. Emang mau?”
“Aku terima gratis, sih. Jadi, kenapa enggak?”
“Salah ngomong aku.”
Dengan bangga aku mengulas senyum. Sambil menyaksikan Kelvin mengabsen jajanan, aku bergumam-gumam menguatkan hati. “Sorry, ya. Tadi enggak bisa datang,” lirihku.
Kelvin mengangkat alis. Tersenyum simpul. “Kenapa sorry? Kamu, kan, lagi sakit. Lagi pula, cewek menstruasi dilarang datang karena khawatir dapat menimbulkan kericuhan.” Kemudian dia mengalihkan pandangan seraya membuka tutup botol minuman isotoniknya. “Lagi pula kalau kamu ke sana, tapi mengerut-ngerut kesakitan, aku enggak bakal bisa fokus.”
Aku melirik. Waswas merasakan hawa ganjil.
Masih sambil melamun, Kelvin mengimbuh lirih, “Bahkan kamu di sini pun aku enggak fokus tadi.”
Aku terdiam. Masih melirik Kelvin yang entah apa nama ekspresi di wajahnya itu. Sejenak aku merasa terharu. Sejenak juga rasanya hangat. Dan di atas segalanya ….
Itu cringe. Asli. Geli, bah.
Kutepuk kening Kelvin sampai si empunya mengaduh dan tersaruk mundur bersama kursi. Anak itu serius memberikan tatapan heran saat aku bergidik terang-terangan. Mungkin dia tidak sadar dengan gumaman terakhirnya, tetapi dia sadar bahwa aku agak sedikit terganggu.
“Geli,” komentarku untuk pertama kalinya. “Geli, geli, geli—”
“Hus, hus! Iya, iya, udah.” Kelvin tergelak. Mencondongkan tubuh dan menarik diri sendiri yang masih duduk manis di atas kursi. Dalam tempo tetap dia maju-mundur bersama kursi. Sesekali berputar pelan. “Jangan sampai tante dengar. Nanti kesempatanku buat colong mangga jadi menipis. Oh, ini camilannya dieksekusi nanti aja. Kalau dilahap sekarang bisa-bisa keburu kenyang.”
Aku manggut-manggut.
“Omong-omong, tadi istri coach ikut ke sana. Beliau tahu kamu sering bareng aku, jadilah tadi dia bertanya-tanya. Kubilang kamu ada tamu bulanan. Terus beliau kasih saran minum air rebusan kunyit atau apalah itu. Aku enggak paham.”
“Hm.” Aku manggut-manggut lagi. “Kelvin cerewet, ya, hari ini.”
“Ra,” Kelvin bertopang dagu di atas paha, “cerewet itu tandanya sayang.”
Aku nyengir geli. Ikut bertopang dagu, tanpa sadar menipiskan jarak. “Jadi, apa? Terima kasih udah sayang aku, begitu?” godaku.
Kelvin mendengkus. Senyumnya melebar. “Iya, sama-sama.”
Merasa konyol, aku terkekeh geli. Kemudian aku tertegun sendiri.
Apa, ya … Rasanya ada yang panas, menggelitik, dan terbang di dalam perutku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro