Secercah Harapan
Penulis: Vera | venavee_
Seorang gadis bernama Lamia menyusuri jalanan dengan perasaan gundah, tidak biasanya dirinya terbawa perasaan seperti ini. Hanya karena dirinya melihat sebuah keluarga yang sangat harmonis, lengkap dengan ayah, ibu serta dua anaknya. Lamia menelan susah salivanya karena dirinya tidak pernah merasakan kehangatan keluarga seperti mereka.
Untuk pertama kalinya, gadis belia itu tidak menerima keadaannya. Sekarang tatapannya lurus pada sebuah keluarga yang menghabiskan sore ini di sebuah taman, anak-anak itu terlihat bahagia bersama keluarganya. Lalu, apakah dirinya bisa seperti mereka?
Aku merindukanmu, Ayah.
Ia hidup bersama dengan ibunya yang seperti terpaksa mengurusnya hingga sekarang. Ia tidak pernah sedikit pun merasakan kasih sayang seorang ayah. Bahkan, ibunya sendiri pun seperti tidak menyayanginya.
Bukankah hidup terus berjalan meskipun dirinya ingin berhenti? Bukankah kehidupan ini seperti treadmill yang mana ketika kita berhenti kita akan jatuh?
Dunia begitu jahat.
Ia terus menggumamkan kata-kata itu dalam hatinya. Hari ini, tepatnya tanggal 14 Februari, yang mana katanya adalah hari kasih sayang tetapi hari ini membuatnya berpikir bahwa dirinya tidak diinginkan. Lamia menatap lebam yang ada di lengannya, hasil karya ibunya itu mampu membuat genangan air pada mata gadis manis itu.
Bisakah ia merasakan apa itu rasanya pelukan hangat? Mungkin ia tidak bisa mendapatkan pelukan hangat ayahnya, tetapi setidaknya ia bisa mendapatkan pelukan hangat dari ibunya. Meskipun itu tidak mungkin, tetapi Lamia sering mencoba untuk mendapatkan pelukan ibunya. Hanya saja selalu cubitan yang ia dapatkan, tetapi Lamia tidak pernah menyerah.
Gadis itu terus berjalan meskipun langit mulai tertutup awan hitam dan titik-titik air mulai jatuh, ia bingung kenapa hidupnya pahit sekali?! Adakah seseorang yang bisa bahagia? Jika bisa, kapan kebahagiaan itu menghampiri hidupnya? Lamia menengadahkan kepalanya dan bulir-bulir air jatuh dari atas membasahi wajahnya, bersamaan dengan air yang menetes dari matanya.
“Bu, Ayah mana?”
Ibu menatap tajam dirinya membuat perasaan riang gembira dari Lamia pudar. Senyuman yang mengembang pada bibir gadis itu memudar seiring dengan jalan ibu yang menghampirinya.
“Coba ulangi?”
Lamia menahan napas saat ibunya memegang dagunya dengan kasar, sementara Lamia menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. Ibunya menghempaskan wajahnya ke samping diiringi kalimat ancaman dan cubitan di lengannya.
“Jangan pernah bertanya lagi tentang itu.”
“Ssshh ... sakit, Bu.”
Ibunya menatapnya semakin tajam saat mendengar ringisan gadis manis itu, “hati ibu lebih sakit daripada itu, Lamia! Jangan pernah sebut-sebut tentang pria berengsek yang kamu sebut Ayah!”
Mata ibunya tidak berbohong sekalipun, karena saat dia mengatakan hal itu, air mata menetes dari mata ibunya dan langsung dihapus begitu saja. Dalam hati kecil Lamia merasa bersalah dengan keadaan itu, dan gadis itu meminta maaf tanpa suara.
Lamia membuka matanya dan menyadari bahwa hujan semakin deras, orang-orang di sekitarnya sudah menghilang dan berteduh. Ia melirik ke kanan dan kiri mendapati orang-orang yang menatapnya dengan tatapan penasaran, mungkin mereka bertanya kenapa dirinya tidak berlindung dari air hujan. Bukan Lamia namanya jika peduli dengan tatapan orang-orang terhadapnya.
Lamia menghela napasnya lagi kala mengingat sebuah keluarga bahagia yang mana sang anak akan menceritakan kejadian-kejadian di sekolah dan akan ditanggapi dengan hangat oleh kedua orang tuanya.
Bukankah hal itu sangat membahagiakan?
Ada banyak pertanyaan yang tidak bisa ia dapatkan jawabannya, karena tidak ingin membuat ibunya sakit ia juga tidak mau dipukul oleh ibunya. Adakah seseorang yang bisa memberitahu kenapa ayahnya tidak pernah menjenguknya? Kenapa ayah meninggalkan ibu dan dirinya?
* * *
Lamia tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup, ia melirik sebuah mobil yang terparkir di pekarangan rumahnya. Mobil siapa? Ia hanya bertanya dalam hati, dan tanpa berpikir panjang ia memasuki rumahnya. Mungkin itu mobil saudara tetangganya yang datang, dan Lamia tidak peduli dengan hal itu.
“Lamia tidak ada!”
“Sudah aku katakan berkali-kali, Lamia nggak ada!”
Jantung Lamia berdetak dua kali lebih cepat, suara ibunya terdengar samar-samar dari arah kamarnya. Lamia perlahan berjalan menuju kamarnya dan mendapati seorang pria paruh baya yang terkejut melihat kedatangannya, dengan cepat ibunya berlari ke arahnya.
“Kenapa kamu harus pulang secepat ini, Lamia?!” teriaknya marah membuat lengan sang Ibu di tarik oleh pria di belakangnya.
Ibunya tidak peduli, “sekarang kamu lari, Lamia!” teriaknya lagi.
“Tapi kenapa, Bu?”
Tanpa ia duga, pria paruh baya itu tersenyum padanya dan menghampirinya. Lamia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, kenapa rasanya senyaman ini? Tanpa ia sadari gadis itu meneteskan air mata. Ia melirik ibunya yang tengah membekap mulutnya sendiri menahan isak tangis.
“Lamia, ini Ayah.”
Deg.
Jantung Lamia seperti berhenti sepersekian detik, ia menatap ibunya yang tengah membenturkan kepalanya pada pintu.
Lamia benar-benar bingung dengan semua ini. “Bu, apa ini benar?”
“Sudah cukup kamu menyembunyikannya, Amira. Aku harus mengurus anakku dengan baik, dia butuh kasih sayang seorang ayah. Aku tidak ingin anakku membenciku hanya karena keegoisanmu, aku mohon biarkan aku membawa Lamia.”
Amira langsung memeluk tubuh gadis yang basah kuyup. “Lamia, jangan dengarkan pria itu, ya. Lamia bahagia, kan, sama ibu? Lamia nggak butuh Ayah kan? Lamia bahagia sama ibu, Lamia nggak butuh Ayah.”
Amira benar-benar seperti akan kehilangan putrinya, ia memeluk hingga mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Tubuh wanita itu bergetar memeluk putrinya, di sana terdapat pria yang menatapnya dengan tajam. Amira tahu, Hans tidak akan pernah membiarkan dirinya mengurus putrinya sendirian.
Lamia membalas pelukan hangat ibunya, jadi seperti ini rasanya dipeluk hangat oleh seseorang yang ia sayangi. Lamia memejamkan matanya menikmati waktu yang sedang berpihak padanya, hanya saja sentakan keras dari pria itu membuat pelukan itu terlepas begitu saja.
“Aku akan membawa Lamia,” katanya.
“Aku tidak akan mengizinkan!”
“Lamia anakku!”
“Dia selalu bersamaku, dia anakku. Bukan anak kamu, Hans!”
“Lamia butuh aku, dia butuh kasih sayang aku, Amira!”
Lamia yang mendengar perdebatan hal itu hanya bisa menunduk dan memejamkan matanya, apa ini? Ia tidak pernah tahu cerita sebenarnya, kenapa pria itu mengaku sebagai Ayahnya? Namun, jika itu benar apakah ia masih bisa berharap kebahagiaan?
“CUKUP!”
Teriakan gadis kecil itu membuat dua orang dewasa yang sedang berdebat terhenti, menatap wajah sembab putri mereka.
Lamia berjongkok menangis sesenggukan. “Aku butuh Ayah, aku butuh Ibu. Aku butuh keluarga lengkap!” isaknya.
Ayahnya dengan sigap mensejajarkan dirinya dengan putri kecilnya. “Ayah minta maaf, Ayah janji akan membayar semua waktu kita yang terlewat. Maaf Ayah baru memaksa Ibu untuk menemukanmu dengan Ayah,” kata Hans dengan suara lirih.
“Bu, apa benar dia adalah ayahku?” tanya Lamia dengan mata basah, ibunya mengusap air matanya. Wanita itu menghela napasnya pelan, mungkin ia harus menurunkan sedikit egonya demi membuat putrinya bahagia.
Amira sadar bahwa dirinya tidak benar-benar mengurus Lamia dengan sepenuh hati. Lebih tepatnya karena wajah Lamia yang selalu mengingatkan dirinya dengan orang yang dia cintai.
Seseorang memeluk Lamia dan ibunya dengan hangat, Lamia tersenyum dalam pelukannya. Akhirnya, penantiannya tidak sia-sia.
Kebahagiaan akhirnya menghampirinya meskipun ia tidak tahu apakah kebahagiaan itu akan bertahan lama atau justru sebaliknya.
Sekarang ia menyadari bahwa kasih sayang benar-benar ada, jangan pernah mengatakan tidak ada yang pernah menyayangi dirimu.
“Ayo, kembali ke kota.”
Bahkan setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Ayah Lamia tetap menyayanginya. Begitu juga ibunya, meskipun terkadang ibunya mengajarinya dengan cara yang salah.
Tetapi wanita itu menyayangi dan takut kehilangan putrinya. Lamia tersenyum tipis saat ibunya mau menerima ayahnya dan kembali ke tempat asalnya setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri.
Happy Valentine Day, aku menyayangi kalian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro