Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Malam Kita Berbincang

Penulis: Ayu | xxaf__

“Jadi, uh, hari ini hari valentine, bukan?”

Tiap tahun, biasanya pria itu dengan kekasihnya selalu menghabiskan makan malam di restoran tengah kota. Bukan restoran mewah, hanya kedai makanan ringan dengan fish ‘n chips sebagai menu paling laris. Tidak juga diiringi lilin beraroma melati, hanya bon pembayaran makanan. Sesimpel itu.

Tetapi, kali ini berbeda. Tentu saja, karena berita tentang kasus yang masih meningkat, juga ekonomi yang tersumbat, Jake lebih baik menghabiskan uangnya untuk belanja bulanan dan berlangganan Netflix. Jadi, ia dan kekasihnya menghabiskan malam valentine di rumah, di meja makan dengan dua bangku, berhadap-hadapan.

Spaghetti lima dollar Wallmart dan segelas jus jeruk. Jake awalnya ingin membuat dua gelas. Namun, Marry mencegahnya. Katanya tidak perlu. “Ya, tentu saja, Jake. Apa ada yang ingin kau sampaikan?”

Jake mengelus pipi tirusnya, jarinya lembab. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu mengambil napas. “Marry, kau adalah matahari—”

“Ah, tunggu-tunggu. Jangan bilang kau akan membacakan puisimu saat SMA dulu?” Marry terkekeh, memunculkan lesung pipi tipisnya. “Ayolah, kau bisa membuat puisi apa saja tapi jangan yang itu.”

“Kau menyulitkanku.” Jake ikut tertawa, ia menggaruk tengkuk lehernya. Puisi ini menurutnya adalah mahakaryanya ketika menembak Marry di kafetaria dulu. Dan, hasilnya bagus, Marry menerima Jake dan mereka pacaran hingga bisa tinggal serumah. Hidup bahagia. Jake bekerja sebagai arsitek dan Marry seorang perawat di rumah sakit.

Marry bilang puisi itu dulunya sangat menggelikan sampai membuatnya ingin muntah. Namun, ia kasihan melihat jerih payah Jake Si Kutu Buku, jadi ia menerima cintanya. Ya, begitulah gadis pujaan Jake, selalu berterus terang dengan perkataannya yang terkadang bisa mencubit hati.

Tetapi sikap Marry sedikit berubah jika berhadapan dengan Jake, jadi ia pikir cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, dan langsung menembaknya saat makan siang sebelum ujian kelulusan.

“Ayolah, Sayang. William Shakespeare mungkin akan bangkit dari kuburnya untuk memukul kepalamu karena mengulang puisi yang sama selama 10 tahun.”

“Marry. Aku arsitek, bukan sastrawan.”

“Jake, kebosanan adalah keadaan emosional atau psikologis yang dialami saat seseorang dibiarkan tanpa sesuatu yang khusus dilakukan, tidak tertarik pada lingkungannya, atau merasa bahwa hari atau periode membosankan.”

“Curang, kau selalu mengeluarkan kartu as.”

“Hahaha, begini saja. Apa hal yang ingin kau sampaikan kepadaku, hm?” Marry menyilangkan tangannya di dada, bersender. Pria di hadapannya menatap sekitar sejenak, mengumpulkan kata-kata, mengusap wajahnya lagi, dan kembali menatap lawan bicaranya.

“Hmm, Marry Oswalt. Kau adalah wanita yang cantik, wajahmu secerah matahari—akh, aku kembali menyadur puisi. Berikan aku waktu lebih lama.” Jake menggaruk rambutnya frustrasi. Marry masih diam di tempatnya.

“Aku akan selalu menunggu.”

“Ingat saat aku menembakmu dulu? Puisi yang kubuat itu menghabiskan waktu seminggu hingga menurutku sempurna, tahu kenapa? Karena kau cukup terkenal di SMA dan Brian, anak kelas sebelah itu juga tampan dan populer, pernah hampir kubuang kertas puisi itu mengingat kalian sangat serasi.

Namun, kala itu kau memberiku harapan. Kau tahu, karena kita sekelas, aku selalu memerhatikanmu. Kita jarang mengobrol karena … yah, Jake Si Kutu Buku mustahil menyapa Marry Si Bunga Sekolah yang terkenal itu. Lalu beruntungnya aku saat bertukar duduk berhasil mendapati tempat di sampingmu. Pulangnya aku hampir diseret oleh anak laki-laki ke kamar mandi.”

Jake terdiam, kejadian itu masih tercetak jelas di kepalanya. Maksudnya, siapa yang tidak ingin duduk di sebelah Marry? Apalagi selama jam pembelajaran sekolah.

“Oh, ingat-ingat. Marry akhirnya melihat kejadiannya dan mengancam para berandalan itu. Kalau mereka membuatmu babak belur, akan dilapor ke kepala sekolah. Haahhh, keren sekali, bukan?” Marry tersenyum bangga. Kepala sekolah saat itu cukup responsif terhadap kasus pem-bully-an dan Jake berhasil pulang tanpa mimisan.

“Ya, ya, tentu saja kau keren. Marry selalu mendapat peringkat pertama di kelas, ia juga pemimpin tim pemandu sorak, tinggal di perumahan elit kota. Karirnya sungguh gemilang.”

“Tapi daripada berpacaran dengan kapten tim basket, Marry yang terkenal ini malah menerima pernyataan cinta dari seorang kutu buku. Apa tidak ekstra-luar biasa keren?”

“Aku masih tidak percaya kau menerimaku.”

“Mungkin kepalaku terantuk batu saat itu, Jake. Jangan berharap terlalu tinggi.”

“Hei, kau selalu bersikap beda terhadapku.”

“Seperti …?”

“Seperti yang kubilang, aku selalu memerhatikanmu. Kau akan menatap ke arah lain saat kita membicarakan tugas, atau saat piket kelas kau selalu memberikan giliran menyapu kepadaku, atau kau lebih suka ‘tak sengaja’ bertemu denganku di perpustakaan tiap seminggu sekali. Itu memberiku harapan untuk menembakmu.”

Jake berkata jengkel dan Marry tertawa lepas. Spaghetti di meja makan masih belum tersentuh sama sekali, entahlah, Jake benar-benar terhanyut dalam pembicaraan malam valentine ini.

“Whoa, whoa. Oke, kau menang. Pembicaraan masa SMA ini membuatku kembali berumur 17 tahun. Sekarang, apa yang mau kau sampaikan kepadaku untuk saat ini? Untuk Marry yang sudah menjadi istrimu?”

Jake terdiam, dia menjepit bibir dengan giginya, matanya mengerjap sebelum mengatakan, “Kembalilah.”

“Aku tepat di hadapanmu, bodoh.” Marry mengerutkan alis, kembali terkekeh. Namun, kali ini Jake tidak ikut tertawa, ia malah mengusapkan wajahnya kembali. Air mata yang sedari tadi menetes pelan mulai mengguyur pipi tirusnya. “Usap air matamu, ayolah. Aku masih ada, Jake.”

“Jika berhenti menangis membuatmu kembali di sisiku, sudah kulakukan sejak tahun lalu.”

Lalu, mereka berdua terdiam, saling berhadapan. Meja makan tiba-tiba terasa sunyi, dan dingin.

Perasaan dingin ini seperti saat itu, di saat Marry memutuskan untuk menjadi tenaga kesehatan, meninggalkan rumah selama 3 hari, bahkan sampai seminggu, di saat Jake menahan makan malamnya hingga Marry kembali ke rumah pukul dini hari, atau di saat bangun tidur dengan secarik kertas di atas meja, catatan bahwa Marry harus berangkat pagi-pagi ke rumah sakit.

“Marry, aku ingin kau di sini. Benar-benar di sini, duduk di hadapanku, makan malam denganku, tidur di sampingku. Itulah yang ingin kusampaikan … sekarang.”

Saat ini Jake tidak mengusap lagi wajahnya. Ia tidak terisak, hanya mengerutkan alis. Membiarkan air matanya turun. Menatap lekat-lekat wanita di hadapannya. “Mereka merenggutmu secara paksa, tentu saja aku tidak rela.”

“Jake … aku sudah mati. Itu kenyataan yang tidak bisa kau ubah. Tapi ‘sampai maut memisahkan kita’ hanyalah sebuah ikrar resmi pernikahan, aku masih ada di sini,” Marry menunjuk dada Jake. “Di hatimu.”

“Kepergianku bukan menjadi penghambatmu untuk terus hidup. Aku tidak menyesalinya. Aku malah bersyukur setidaknya masih diberi waktu untuk tinggal bersama pria yang kucintai—”

“Marry, mereka merenggutmu. Rumah sakit, orang-orang yang terdampak, pandemi ini, mereka … membunuhmu.” Jake menunduk, tangannya terkepal kuat.

“Lalu dengan menyalahkan semua ini apa bisa membuatku kembali hidup?”

“... tidak.”

Marry menghela, ia membungkukkan badan, menyatukan keningnya dengan milik Jake. Tangannya mengusap wajah suaminya, menatap dalam iris matanya. “Menikahimu adalah salah satu kebahagiaan terbesarku, jangan buat seolah ini penyesalan terbesarmu.”

“Aku, tidak menyesal—”

Then, live a life. Itu adalah risiko dunia. Di mana ada pertemuan, maka ada pula kehilangan. Jake, pergilah beli belanja bulanan, gambarlah rumah-rumah impian orang, hangatkanlah daging asap kemarin. Aku akan mengeluh kepada Tuhan jika melihat suamiku tidak bisa mengurus hidupnya sendiri seperti ini terus.”

Lalu Jake terdiam. Wajah cantik Marry masih tercetak jelas di benaknya, bagaimana senyumnya, bagaimana sifatnya, bagaimana pola pikirnya. Ia ingat setiap inci bagian dari wanita itu.

“Baiklah, aku mengerti perkataanmu. Akan selalu kuingat.”

“Janji?”

“Janji kelingking.”

Bel rumah setelahnya berdering, menandakan ada seorang tamu di luar. Jake berdiri mengusap air matanya dan melihat dari lubang pengintip. Seorang rekan kerja.

“Hei, Bung. Sibuk saat malam valentine? Aku bawa dua Mcdonald’s di sini.” Jake melirik ke arah Marry. Wanita itu menaikkan alis dan memiringkan kepala, mengisyaratkan Jake untuk membukakan pintunya.

“Ya, ya, tentu saja. Ada satu bangku kosong di meja makan.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro