Last Valentine
Penulis: Fatikha | -chassmaffa
Sejak dulu aku sangat ingin mengabadikan kisah hidupku ke dalam kertas putih. Berbagi kenangan manis kepada pena hitam, menuliskan kebahagiaan dengan coretan hitam kelam.
Aku tahu, kisah hidupku terlalu rumit untuk dicurahkan ke dalam kertas putih yang hanya tersisa dua lembar ini. Maka dari itu, cukup kisah singkat cintaku dengannya yang akan ku bagi.
Enam bulan lamanya, sejak dia, kekasihku, memberikan sebuket bunga lili lengkap dengan tanahnya. Haha, bercanda.
Tak seromantis Dylan ataupun Ari memang. Tapi, cukup berkesan bagiku. Terekam jelas saat wajah Bayu dipenuhi raut cemas, ketika ia menyodorkan ponselnya dengan tulisan 'kamu cantik, mau jadi pacarku?'.
Ingin tahu respon pertamaku seperti apa? Menurutku, begitu lucu jika diingat kembali. Baiklah, akan kuberi tahu.
Membaca kata 'kamu cantik', sungguh hanya satu kata itu yang terlintas dibenakku. Buaya.
Mengingat kami berada dalam masa PDKT lebih dari dua tahun, akhirnya aku mengangguk pasti. Karena tak ada alasan lain untuk menolaknya, plus, dia memang cowok incaranku. Hehe.
Oke, kembali ke masa sekarang. Besok tepat di Hari Valentine, hari itu juga enam bulan kami lewati bersama. Di bulan-bulan sebelumnya memang sengaja tak ada perayaan khusus untuk merayakan anniversary hubungan kami.
Jadi, di anniversary ke-6 bulan, yaitu esok, aku yang akan menyiapkan kejutan untuk Bayu.
Seluruh alat dan bahan yang diperlukan sudah tersedia sejak dua minggu lalu. Iya, seantusias itu aku menyiapkan semuanya. Tentu saja, tanpa sepengetahuan Bayu.
Tolong, kau juga rahasiakan ini darinya, oke?
Sebenarnya, kejutan yang aku siapkan terbilang sederhana. Menggunakan lahan kosong di samping rumah sebagai latar tempatnya. Lalu, adik-adik sepupuku sebagai pengisi acara malam esok. Hahaha, acara katanya.
Kakak perempuanku sebagai maid-nya. Kali ini bukan aku yang menawarkan, tapi dia yang mencalonkan. Katanya, biar kecipratan berkahnya. Maklum, jomblo karatan.
Pokoknya, semua serba sederhana. Hanya peralatan serta bahan saja yang memerlukan uang. Itu pun sama sekali tak menguras dompet.
Baiklah, tulisan ini akan aku lanjut esok hari. Di mana enam bulan sudah kapalku berlayar.
— OooO —
Author POV.
Malam ini halaman rumah Ayu begitu ramai, dipenuhi sepupu serta teman-temannya. Tentu, tanpa adanya Bayu. Masing-masing sibuk meniup balon karet dengan jatah tiga buah per orangnya.
"Kunyuk, lo tau, kan, kalo gue paling alergi sama balon karet?" Seorang cowok dengan jaket distro berkacak pinggang di depan gadis berhiaskan bandana kelinci di kepalanya.
Sementara lawan bicaranya hanya terkekeh pelan tanpa menatap cowok di hadapannya. "Rara! Yakin cowok yang lo taksir modelan gini?"
Betapa comelnya mulut Ayu. Seenak jidatnya membongkar rahasia yang empat tahun lamanya Rara pendam. "Mulut lo minta dileletin besi panas ya, Yu!" serunya dari sudut halaman.
Pertengkaran masih berlanjut hingga jarum jam menunjuk angka 12. Jika di serial kartun Cinderella, ia akan berubah menjadi gadis lusuh, berbeda dengan Ayu, yang semakin malam semakin menjadi.
Suara dentuman musik menutup telinga gadis berkemeja kotak dengan rambut terurai bebas. Bahkan, dering ponsel dengan nama 'Bayu' pun diabaikan.
Halaman rumah berada di ujung komplek membuat mereka lebih leluasa mengeraskan volume musik, ditambah orang tua Ayu yang kerap pergi pagi pulang pagi.
"Buset, yang ngajarin ini anak minum siapa?" Hampir seluruh mata terfokus pada sumber suara. Menatap kaget Ayu dengan penampilan jauh dari kata rapi tengah menceracau sembari menepuk-nepuk bahu sepupunya.
— OooO —
14 Februari
Kejadian malam tadi sungguh membuatku pusing tak karuan, bahkan hingga saat ini. Sebenarnya yang aku ingat, hanya segelas minuman bening dari Ryan serta dua tegukkan aku telan. Sudah, setelahnya aku sama sekali tak ingat.
Atau mungkin, aku mabuk? Ah, Ryan sialan. Malam itu pertama kalinya aku mabuk. Sungguh.
Tapi tak apa, yang terpenting kejutan dariku untuk Bayu tetap terealisasikan dengan baik. Semoga.
Embusan lembut napas seseorang membuatku menoleh ke samping. Netraku seolah terpaku di tempat, menatap ciptaan-Nya yang begitu menyejukkan mata.
Bibir tipis merah muda, hidung mancung, rambut tertata acak, serta kulit putih bersihnya. Nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan?
Perlahan aku menepuk pipi berisi milik Bayu. Sepertinya sedikit mengusik tidur nyenyaknya. Tak apa, hari ini aku masih disibukkan dengan persiapan kejutan untuk Bayu.
Tunggu, Bayu? Apa dia tahu jika aku sedang menyiapkan kejutan untuknya? Karena latar tempat yang aku gunakan tepat berada di samping rumahku.
"Kamu tau aku lagi nyiapin kejutan buat kamu, ya?" bisikku terlampau pelan di sampingnya. Berharap ia tak mendengar, karena terlalu sibuk dengan alam mimpinya.
Aku yang hendak beranjak dari tempat tertegun, kala tangan hangat milik Bayu menahan gerakanku. "Kata Diva, buat pesta ulang tahun Kakakmu. Yang bener mana?"
Aku tersenyum puas, untunglah mereka bisa benar-benar merahasiakan ini semua. "Hehe, iya."
"Tadi malem kamu minum, masih pusing?" Aku mengigit bibir bawah keras-keras, menunduk sedalam-dalamnya. Merasa bersalah, karena sejak awal kami pacaran, tak ada lagi yang namanya minum-minum.
"Jangan digigit." Ia menyentuh bibir bawahku agar tak lagi mencetak luka di sana.
"Gak apa, cuma gak sengaja," hiburnya, seraya merengkuh tubuh lemasku.
Ryan sialan! Gara-gara dia aku jadi khilaf.
Satu kata yang mewakili perasaanku ketika berada di dalam pelukannya, nyaman.
"Kalo besok atau lusa aku pergi, aku harap kamu lebih hati-hati sama Ryan, ya?"
Aku mendongak, menatap tajam kedua netra coklat indahnya. Apa maksud kalimat itu? Tentu aku tak memperbolehkannya untuk pergi jauh dariku.
"Gak cuma sama Ryan, sih, yang lain juga. Oke?" Kini aku benar-benar melepas pelukannya. "Maksud kamu apa?"
Bukannya menjawab, Bayu malah menatap mataku dalam. Meninggalkan kecupan singkat di dahi. Tolong, aku gak kuat.
* * *
Dari yang sudah direncanakan, jam tujuh malam Bayu harus sudah datang. Aku tak sabar menanti waktu itu. Berulang kali aku mengecek jam yang bertengger manis di pergelangan tangan kiriku.
Masih tiga puluh menit lagi, sabar, batinku seraya memasang penjepit rambut berwarna merah muda.
Lalu bercermin sekali lagi sebelum benar-benar menuruni tangga menuju halaman rumah, dimana meja berhiaskan lilin disiapkan. Seperti resepsi pernikahan saja, sampai grogi seperti ini.
"Ya Allah, cantiknya ngalahin Master Limbad," celetukkan dari bawah tangga membuatku mendelik tajam ke arahnya. Teman akhlak oebseo.
Baiklah, lima menit lagi Bayu akan tiba, sementara lampu sudah padam, tersisa beberapa buah lilin menyinari meja kami.
Namun, lima menit terlewat begitu saja. "Mana cowok gue? Kok, belum dateng?" teriakku, menanyakan keberadaan Bayu. Apakah ia benar-benar sudah diberitahu perihal ini atau belum.
"Sabar lagi, Yu. Baru lewat beberapa detik, kok."
Baiklah, aku mencoba untuk sabar. Tapi sampai kapan? Sekarang jarum panjang menunjuk ke angka lima belas.
"Lilinnya abis gimana? Cowok gue beneran udah dikabarin?" Lagi-lagi aku berteriak, menanyakan keberadaan Bayu kepada mereka yang sengaja bersembunyi di tempat masing-masing.
"Ganti api unggun kalo abis," celetuk salah satu teman akrabku.
Embusan angin malam mulai terasa menusuk permukaan kulitku, ditambah kali ini hanya dress berlengan pendek yang aku kenakan. Mungkinkah Bayu lupa? Ah, tapi dia bukan tipe orang pelupa. Atau sibuk? Tapi, sibuk apa?
Perlahan tapi pasti, rasa gelisah mulai menyergap kala 45 menit berlalu begitu saja, hingga beberapa rekanku mengeluh lelah.
"Eh, tunggu. Barusan gue dapet kabar dari Tante Lana kalo Bayu ...," Aku menunggu kelanjutan kalimat Diva—teman sekelasku. "Kecelakaan."
Ia tampak menelan salivanya di balik remang cahaya lilin. "Dan meninggal di tempat."
Detik itu juga aku terduduk di atas rumput yang basah oleh embun. Cepat-cepat aku berlari masuk, mengecek ponsel yang sengaja aku tinggal di ruang tamu. Aku tercengang kala melihat lebih dari 50 panggilan serta 30 chat Tante Lana–Mama Bayu–memenuhi notifikasi ponselku.
"Ayu, ini cokelat dari Bayu, katanya sengaja dia bawain ini buat kamu." Aku mendongak menemukan Ryan dengan wajah muramnya, lalu kuulurkan tangan untuk menerima cokelat dengan post it kecil di atasnya.
Enam bulan lamanya statusku jadi pacar kamu. Ya ... walaupun gak tercantum di KTP/KK. Tapi aku seneng. Cokelat ini khusus aku beli buat kamu. Terserah mau kamu simpen dijadiin koleksi di salah satu museum makanan kamu, atau dimakan. Hehe. Pokoknya, aku sayang kamu.
I Love You:*)
Bahagiaku bersamanya hanya sampai sini. Jika takdir tak mengizinkan, lalu aku harus apa? Menangis hingga berdarah pun tak ada guna. Yang bisa aku lakukan hanya, mengikhlaskan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro