Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Buku Catatan Peramal Masa Depan

Penulis: Fika | fikaea

Hiruk pikuk puluhan remaja berseragam pramuka meramaikan lapangan hijau yang membentang luas di halaman sebuah agrowisata. Beberapa kendaraan besar berukuran panjang telah berjejer rapi berhadapan langsung dengan paviliun utama.

Beberapa siswa berkumpul dengan teman-teman dekatnya, membentuk lingkaran kecil hingga menyisakan orang-orang apatis yang berdiri dengan kesendirian mereka. Menghindari kerumunan, bahkan ada yang memilih berteduh di belakang bus yang tengah parkir di bawah pohon rindang.

Ada juga si biang kerok peramai acara, mereka sibuk bernyanyi diiringi sebuah gitar yang dibawa dari rumah.

Tiba-tiba saja seorang guru menyalakan sirene yang berbunyi seperti ambulans dengan keras. Suaranya yang senyaring auman singa, membuat semua siswa menoleh ke arahnya, bahkan supir bus di belakang turut menitikberatkan perhatian mereka padanya.

Sedetik kemudian, beberapa siswa langsung menyorakkan keterkejutan mereka hingga bapak guru berkumis tebal itu langsung tertawa menang. Kelihatannya beliau sengaja melakukannya.

“Anak-anak, baris sesuai kelasnya masing-masing!” titahnya pada kami semua.

Aku pun mulai melangkahkan kaki dan masuk ke dalam barisan. Sejak tadi, aku dan teman-teman berkumpul tak jauh dari rombongan kelas. Di saat mereka sibuk membicarakan laki-laki kelas sebelah, aku justru sibuk mengamati suasana dan menceritakannya pada kalian.

Sebelum lanjut, ada baiknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku Theta Ardiana Baswara. Bagi murid yang tertarik dengan dunia matematika dan fisika, pasti namaku tidak asing di telinga mereka.

Sejujurnya aku pun masih bertanya-tanya, mengapa kedua orang tuaku memberi nama Theta, sedangkan masih banyak nama lain yang jauh lebih indah. Namun aku berusaha mensyukurinya, karena nama unik sepertiku akan lebih mudah diingat.
  
Sayangnya, nama yang mudah diingat tidak menjadikanku gadis yang selalu mengingat banyak hal. Seperti saat ini. Ketika Pak Ardi—guru dengan kumis tebal yang kini tengah berkeliling mencari mangsa yang tidak menjalankan perintahnya—memerintahkan kami untuk mencatat penjelasan dari pemandu wisata, aku justru kebingungan mencari buku catatan.

Seingatku, aku telah memasukkannya ke dalam tas tadi malam, tetapi sekarang tasku hanya berisi makanan ringan dan berbagai jenis minuman.

“Na, bagi kertas, dong,” ucapku sambil mencolek pundak Lona yang berada di baris depan.

“Bentar, aku masih nyatat!” balasnya yang masih sibuk menuliskan sesuatu di buku.

Aku menghela napas gusar. Jika menunggu Lona selesai menulis, yang ada Pak Ardi menariknya keluar barisan duluan. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, mencari teman yang mungkin saja bisa memberikan bala bantuan.

Aku terpaku saat seseorang di sebelah kiriku memberikan sebuah buku catatan kecil berukuran sekantong saku dengan corak batik di sampulnya. Saat kulihat, rupanya dia seorang laki-laki dari kelas sebelah yang kukenal bernama Gery. Dia bukan anak yang populer, tapi aku tahu dia sering mampir ke kelasku untuk menemui temannya.

Aku menatapnya heran, sesekali berkedip dengan mulut yang masih bungkam. Sekali lagi dia goyangkan buku catatan kecil itu padaku, sedangkan aku masih terpaku dengannya.

“Buruan ambil, sebelum ketahuan Pak Ardi,” ucapnya memaksa.

Matanya langsung mengintai sekitar, memastikan bapak berkumis tebal itu tak melihatnya.

Dengan ragu, aku menerima buku itu dan mulai berpura-pura menulis. Di saat seperti ini, konsentrasiku langsung buyar memikirkan kebaikan laki-laki di sebelahku yang tak terduga.

“Kamu mau tahu, gak? Buku itu punya rahasia,” bisiknya pelan.

Aku terkejut menyadari tubuhnya yang sedikit condong ke arahku.

“Hah? A-apa?” tanyaku gagu. Antara terkejut dan gugup bercampur menjadi satu.

“Buku itu bisa meramalkan masa depan,” jawabnya.

“Oh, ya? Mana mungkin ada buku seperti itu!” balasku tak percaya.

“Coba saja. Tuliskan saja apa yang sedang kamu pikirkan. Nanti buku itu akan menjadikannya kenyataan. Dulu aku sering melakukannya untuk mendapatkan apa yang aku mau,” ucapnya menjelaskan.

“Bohong kamu," sangkalku masih tak memercayainya.

Tak ayal, tanganku tetap menulis seperti yang diperintahkannya.

Aku ingin berkenalan dengannya. Bisakah ini menjadi kenyataan?

Kurang lebih seperti itulah yang kutulis di halaman pertama buku itu. Kelihatannya buku ini masih baru, lalu mengapa laki-laki itu berkata dia sering menulis di sini. Seolah-olah dia membodohiku seperti anak kecil.

“Mana? Gak jadi kenyataan, tuh!” sahutku mengejek.

“Sabar, dong. Kamu kira ini google, bisa langsung muncul gitu aja?” balasnya sambil terkekeh pelan.

“Ngomong-ngomong kita belum kenalan, aku Gery. Kamu Theta bukan? Aku sering dengar dari temanku,” sambungnya lagi. Di akhir ucapannya pun, dia juga menampilkan senyum yang menawan.

Aku membeku setelah mendengarnya. Seolah disuntik ribuan jarum, ucapannya persis seperti yang aku harapkan. Aku menatapnya tak percaya, kemudian menatap tulisanku sendiri di buku itu secara bergantian. Tidak mungkin! Tidak mungkin ada sihir seperti ini.

Lalu aku kembali menulis untuk membuktikan ucapannya sekali lagi.

Aku ingin melihat catatan Lona.

Sambil menunggu, aku melihat kepala bagian belakang Lona dengan harap-harap cemas. Sesaat kemudian, kepala itu benar-benar berbalik hingga mata kami bertemu pandang.

“Sorry, Ta, aku tadi masih nyatat. Kamu udah dapat kertas?” tanya gadis itu sambil melirik ke tanganku. Kemudian ia tersenyum dan berkata, “Oh, sudah dapat, ya? Baguslah. Ini kalau kamu mau lihat catatanku. Sekali lagi maaf, ya.”

Kakiku lemas mendengarnya. Dua kali. Dan semua itu benar-benar terjadi. Aku menengok ke arah kiri dan menatap Gery dengan mata terbelalak.

“Bukunya dijagain, ya, jangan sampai hilang. Nanti kalau hilang, bakal jadi malapetaka,” ucapnya memperingatkan. Senyum menawan itu tak juga luntur dari wajahnya.

Aku jadi ikut tersenyum karenanya, lalu mengangguk patuh dan kembali menuliskan sesuatu di kertas.

Aku ingin mendapatkan cokelat valentine dari Gery besok.

Semoga saja itu benar-benar terjadi.

* * *

Setelah seharian menghabiskan waktu menelusuri hutan melewati jembatan kayu dan berkunjung ke berbagai habitat para binatang, kini siswa-siswi study tour kembali ke bus masing-masing. Termasuk aku beserta teman sekelasku yang mulai menaiki bus berwarna kuning.

Setibanya di kursi yang telah aku tandai menjadi wilayah kekuasaanku, aku menghempaskan diri di bantalan empuk itu. Tak lama kemudian, disusul Lona yang duduk di sebelahku. Saat aku melirik ke arahnya, rupanya ia tengah menatapku dengan alis bertaut.

“Kenapa, Na?” tanyaku bingung.

“Kamu kenapa kelihatannya hari ini senang banget, Ta? Jangan-jangan karena buku catatan dari Gery itu, ya?” tanyanya penuh selidik.

Aku hanya bisa tersenyum malu-malu kucing menanggapinya, lalu memalingkan wajah ke luar jendela.

“Wah, kayaknya valentine tahun ini ada yang gak jomblo lagi, nih!” ledeknya sambil menyenggol lenganku.

“Apa, sih, Na!” sahutku berlagak marah. Ngomong-ngomong soal buku itu, aku sudah tak menyentuhnya lagi sejak semuanya berkumpul di paviliun untuk istirahat sebelum pulang.

Aku segera membongkar tas dan mencari-cari barang itu. Lagi-lagi yang kutemukan adalah berbagai bungkus makanan dan minuman kaleng. Aku menyesal begitu mementingkan perut daripada otakku yang mudah lupa.

“Na, bantuin aku cari bukunya dong, Na,” pintaku pada Lona. Gadis itu sedikit terkejut saat kutepuk pahanya.

“Buku apa? Buku catatan dari Gery?” tanyanya memastikan.

“Iya, Na. Kata Gery kalau buku itu hilang bakal ada malapetaka,” jawabku cemas.

“Yang bener aja?! Mana ada buku kayak gitu!” sanggahnya tak percaya.

“Ada, Lona. Mending sekarang kamu bantu aku cari,” ujarku lagi. Kurasakan Bus mulai berjalan meninggalkan wilayah agrowisata. Saat mataku menengok ke luar jendela, aku melihat bus di sebelah kiri yang mulai tertinggal di belakang. Tatapanku jatuh pada satu orang yang duduk di barisan tengah, itu Gery. Dan dia menatapku dengan pandangan tak kumengerti.

Apa mungkin laki-laki itu menyadarinya?

“Gak ada, Theta,” ucap Lona terdengar putus asa. Aku menyandarkan punggung di kursi. Menanti dengan harap-harap cemas malapetaka yang akan datang sambil meratapi kaca jendela mengingat wajah Gery sebelum pergi. Wajahnya terlihat kecewa.

“Aku takut, Na,” lirihku pelan. Baru tadi pagi aku berpikir valentine ini aku akan mendapatkan doi, tetapi sifat pelupa membawaku pada kesialan yang tak berujung. Menyebalkan.

“Pasti enggak ada apa-apa, Ta,” ucap Lona menyemangatiku.

Ketika bus mulai memasuki wilayah hutan, entah mengapa aku merasa kecepatannya mulai menurun. Tidak mungkin ada teman sekelasku yang meminta untuk diturunkan di sini, ini juga jelas bukan sekolahku. Lama kelamaan, bus itu berhenti tepat di tengah jalan. Hingga menimbulkan bunyi klakson mobil yang bertubi-tubi dari belakang. Aku merasa tubuhku mulai bergetar, padahal mesin mobil baru saja dimatikan.

Sepertinya buku itu benar-benar ajaib. Mungkinkah ini malapetaka yang dimaksud? Kalau iya, maka ini sangat mendebarkan. Bus tiba-tiba berhenti di tengah hutan belantara dengan langit yang mulai menghitam. Ditambah lagi suara jangkrik dan hewan-hewan lainnya mengganggu ketenangan kami.

“Tuh kan, Na. Buku itu beneran ajaib. Apa jangan-jangan ada mantra sihirnya, ya?” tanyaku padanya. Gadis itu sama sekali tak menjawab. Mungkin saja dia mulai berpikir seperti yang aku pikirkan.

* * *

Semalam, bus yang aku tumpangi baru bisa tiba pukul sepuluh malam. Rupanya bus itu mengalami kebocoran ban. Jadi, kami harus menunggu selama empat jam untuk mendapatkan ban pengganti. Selain jarak bengkel yang jauh dari lokasi kami kemarin, macet yang tak bisa dihindari pun menambah kesulitan petugas bengkel untuk sampai tepat waktu.

Hari ini, aku duduk termenung di kursi berlapis ubin depan kelas. Sesekali melirik ke arah kelas sebelah mencari Gery untuk meminta maaf.

Akhirnya orang yang kutunggu tampak juga batang hidungnya. Aku langsung berdiri hendak melangkah ke arahnya, namun laki-laki itu lebih dulu mendekat ke arahku.

Aku menatapnya heran. Ditambah lagi dengan senyumnya yang tiba-tiba merekah hingga aku kembali terbius dengan pesonanya.

“Gery,” sapaku lebih dulu. Kini kami berdiri berhadapan di teras kelasku. Untung saja jendela di sekolah ini dibuat sangat tinggi, sehingga tidak ada orang di dalamnya dapat melihat ke luar.

“Halo, Ta,” sapanya balik, “semalam pulang jam berapa?” tanya Gery.

“Sepuluh.” Aku menjawabnya dengan lirih.

“Kamu kenapa?”tanyanya tiba-tiba. Kurasa dia menyadari kegelisahanku daritadi.

“Malapetaka itu benar-benar terjadi, Ger,” ucapku memulai cerita.

“Maksudnya?” tanya laki-laki itu bingung.

“Kemarin sepulang dari study tour, buku yang kamu kasih ke aku hilang, Ger. Aku tahu seharusnya aku gak seceroboh itu, tapi aku benar-benar gak tau kalau ternyata buku itu hilang, Makanya, semalam malapetaka itu benar-benar datangin aku. Lebih parahnya lagi, orang-orang harus menderita juga karena aku,” ucapku panjang lebar. Rasanya aku ingin menangis sekarang.

Sejak semalam, aku merasa bersalah pada mereka semua, terlebih lagi pada Gery karena tidak bisa menjaga bukunya.

“Eh, kamu percaya? HAHAHA.” Aku tak mengerti kenapa tawa Gery tiba-tiba pecah begitu saja.

“Maksud kamu?” tanyaku bingung.

“Theta, yang aku bilang kemarin itu tidak nyata!” Aku masih terpaku menatapnya. Permainan macam apa ini? Apa dia sedang mengerjaiku? Kalau iya, maka akan aku pastikan bahwa ini semua tidak lucu.

“Begini, kamu tahu sugesti?” Aku diam, tak ayal setelah itu menggeleng.

“Sugesti itu pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak terhadap pihak lain.”

Aku masih diam menyimak penjelasannya.

“Nah, akibatnya pihak yang dipengaruhi itu akan tergerak mengikuti pandangan itu secara sadar ataupun tidak. Seperti yang aku lakukan ke kamu kemarin, aku hanya meyakinkan dan membuatmu percaya dengan pandanganku, sehingga kamu tersugesti dengan apa yang aku katakan,” paparnya di akhiri senyuman.

“Jadi, sebenarnya buku itu gak beneran bisa meramal masa depan?” tanyaku masih terkejut karena penjelasannya.

“Ya. Takdir itu urusan Tuhan, Tetha. Mau itu buku, hewan, tanaman, atau mungkin manusia, tidak ada yang benar-benar bisa meramalkan masa depan,” jawab Gery.

“Kamu ngerjain aku?” tanyaku lagi, “Terus kenapa kemarin bisa pas banget sama yang kutulis?”

“Oh, itu. Kemarin aku baca tulisan kamu waktu kamu lagi nulis. Kalau soal teman kamu, aku rasa itu memang kebetulan. Mungkin kamu gak sadar kalau pemandu wisata di depan sudah selesai menerangkan, jadi wajar aja kalau dia memang sudah selesai nulis,” jelasnya.

Aku tercengang mendengarnya. Sepertinya keinginanku yang terakhir itu tidak akan terwujud.

“Ah, ya, soal kejadian bus kamu semalam, itu benar-benar kebetulan. Bukan salah kamu, kok. Soalnya buku itu sebenarnya gak hilang,” ucap Gery lagi.

“Terus, di mana bukunya?” tanyaku tak percaya.

“Ada di suatu tempat.” Setelah itu hening tercipta di antara kami berdua.

“Tetha,” panggil Gery. Aku mengangkat wajah menatap manik matanya yang hitam.

“Iya?” sahutku.

“Dalam keluargaku, tidak ada tradisi valentine dan bertukar coklat.” Pipiku langsung memerah setelah mendengarnya. Aku menggigit bibir bagian dalam untuk meredakan gugup yang tiba-tiba mendera.

“Sebagai gantinya, aku berikan buku ini padamu. Anggap saja sebagai awal pertemuan kita, bagaimana?” tanyanya seraya mengeluarkan buku bercorak batik yang kemarin aku hilangkan.

Aku menutup mulut takjub. Jadi, sejak kemarin buku itu ada bersama Gery.

“Kemarin aku menemukannya di depan paviliun. Aku tahu kamu tidak sadar saat ini terjatuh,” ucapnya menjawab pertanyaanku.

Aku menerimanya dengan ragu. Masih kehilangan kata-kata untuk membalasnya.

“Dijaga ya, jangan sampai hilang lagi. Nanti aku sedih,” ucapnya di akhiri senyuman menawan. Setelah itu, tangan kanannya terulur mengusap rambutku halus.

“Iya, pasti aku jaga.” Hanya itu yang bisa kuucapkan karena rasanya tubuhku sudah melayang-layang. Meskipun rasanya kesal karena telah dikerjai, tapi tak apa, anggap saja valentine kali ini sebagai pertemuan awalku yang manis dengan Gery.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro