Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aku, Valentine, dan Selembar Undangan

Penulis: Angger | yourrangger

Aku punya sahabat, namanya Eon. Dia adalah sahabat terbaikku sejak 10 tahun silam. Tepatnya, sejak aku menginjakkan kaki di SMA Perwira. Dia cowok yang baik. Nggak cuma baik, sih. Dia juga manis dan pengertian.

Sayangnya, karena kebaikannya, aku sering kesenengan dan berakhir baper sendirian. Duh, berabe, tapi mau gimana lagi? Semua sudah terjadi.

Contohnya saja saat aku sedang butuh tebengan. Sejak 10 tahun yang lalu, Eon akan dengan senang hati memberikannya dan selalu berkata, "Kamu yang pertama."

Yea, yang pertama hari ini maksudnya. Aku tahu sekali. Eon itu adalah cowok cap kadal. Kekadalannya sudah mendarah daging sejak dia lahir. Ah, salah. Kayaknya sejak dia ikut DA 9 tahun yang lalu.

Eon yang gantengnya nggak pernah tereskpos karena sering semedi di kelas, mendadak jadi sering tebar pesona kayak ketek kena reksona. Semua jenis cewek naksir dia. Dari yang cuek bebek sampai yang alay cablay, ada semua.

Sejak jadi populer, Eon berubah. Dia memang tetap manis dan pengertian. Yea, dia tahu sekali cara memperlakukan cewek dengan benar. Tapi tetap saja dia berubah. Dia lebih ... Lebih apa, ya, bahasa halusnya. Dia lebih genit. Ya, lebih genit. Dia jadi genit ke semua cewek, termasuk aku.

Namun, walau sudah tau dia genit dan baik ke semua orang, entah kenapa aku tetap baper. Aku selalu merasa, ada sesuatu di antara kami. Atau mungkin, selalu ada sesuatu di antara Eon dan cewek bergilirnya.

Gimana nggak bergilir? Hampir sehari, ada dua cewek yang dia ajak jalan. Dan itu selalu berbeda tiap harinya. Heran, jangan-jangan Eon pakai pelet. Eh, kalau pakai pelet, aku kepelet juga, dong?!

Nggak. Nggak mungkin. Kenapa nggak mungkin? Karena aku pernah ke dukun untuk membuktikannya. Yea, kuakui, aku memang sekuker itu. Tapi ini serius. Aku pernah ke dukun untuk membuktikannya. 8 tahun yang lalu saat Eon ditembak lima cewek dalam dua puluh empat jam.

Parahnya, semua cewek itu ditolak. Eon bilang padaku, bahwa dia tidak mau berpacaran. Dia hanya cari hiburan. Cari hiburan katanya?! Dasar gila!

Dan aku yang juga gila akhirnya menuruti perintah mbah dukun untuk nempelin sirih merah ke kulit Eon. Katanya, kalau dia memang pakai pelet, Eon akan kepanasan. Saat aku melakukan hal itu, Eon tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya menatapku aneh dengan kernyitan di dahi. Aku tahu, dia pikir aku pasti sudah gila.

"Kamu ngapain, Ra?"

Aku hanya bisa nyengir sambil buang sirih itu. "Nggak apa, Yon. Itu tadi penasaran aja, daunnya nyetrum enggak."

Eon menjitak jidatku. "Efek kebanyakan nonton film santet."

Hah? Film santet? Nonton horor aja nggak berani!

Pokoknya, sejak saat itu aku tidak pernah berpikir macam-macam lagi. Cukup satu macam yang berakhir dikatai halu. Yah, secara nggak langsung dia ngatain aku begitu. Jadi aku pikir, Eon memang tampan. Dia memang tampak berkarisma. Mungkin itu yang membuat para cewek menggelepar tiap diberi senyuman.

Kuberi tahu, aku sayang dia. Aku sayang dia lebih dari sekedar sahabat. Sejak dulu. Entah Eon bagaimana. Aku nggak pernah berani nanya atau menyinggung soal perasaannya. Karena aku tahu, selama ini Eon hanya bermain-main dengan cewek-cewek itu.

Aku sampai mencoba berpikir positif, bahwa tidak ada salah satu satu di antara mereka yang berhasil membuat 'main-main' Eon menjadi 'serius' setidaknya pikiran itu selalu berhasil membuat aku tenang.

Biasanya, saat hari valentine seperti ini, kami berdua akan nonton film romantis bersama di ruang keluarga. Kami akan makan banyak cokelat yang dia bawa dan berakhir tidur di sofa berdua.

Eon tidur bersandar pada tangan sofa, sedangkan aku berbantal kakinya. Sedekat itu, tapi aku tidak tau status kami sebenarnya apa. Apakah benar hanya sebatas 'sahabat' atau sudah berubah menjadi 'pasangan'. Entahlah, aku harap begitu.

Sepertinya, Eon sedang berkencan dengan salah satu ceweknya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima sore, tetapi dia belum nongol juga. Aku berdecak. Memanggil adikku.

"Pras!"

Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan kacamata bulat muncul di ambang pintu. "Kenapa, Kak?"

"Nanti kalau Eon ke sini, kamu bilang aja Kakak lagi di kam-"

"DOR!!"

Aku tersentak kaget. Jangan tanyakan ekspresi Pras yang melotot sambil mencengkeram daun pintu. Aku tertawa. Eon datang juga.

"Tumben ngaret banget."

Eon nyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya. Dia melirik pada Pras yang mendelik padanya dan berlalu dari sana. Aku tertawa geli. Eon sering sekali menjaili Pras, adikku itu sampai sering marah-marah sendiri. Karena kejailan Eon itu sudah berada di ambang kurang waras.

Pernah, dia menyembunyikan kunci motor Pras saat adikku ingin pergi bersama pacarnya. Pernah juga, Eon sengaja berlama-lama di kamar mandi saat Pras ingin buang air besar. Ckckck, itu bukan jail, tapi rese!

"Tadi ada urusan penting," katanya sambil berjalan mendekat.

Aku mengeser dudukku. "Urusan apa?"

Eon tersenyum lebar. Jarang sekali aku melihat senyum dengan tarikan kenceng begitu. Senyumnya bahkan awet banget kayak rindu sampai dia duduk di sampingku dan menatapku dalam. Dalam dan aneh.

"Kenapa, sih?"

Eon menggeleng. Dia masih tersenyum. 'Kan, 'kan, 'kan. Makin aneh aja. "Aku nanya serius, kenapa?"

Eon menggeleng lagi. Dia mendekat. Aku yang tau dia hendak memelukku pun ikut mendekat. Eon memelukku erat. Aku mengelus punggungnya. Eon meletakkan dagunya di pundakku. "Citra ...."

Aku selalu suka caranya memanggilku.

Aku bergumam.

"Selamat hari valentine," bisiknya.

Aku mengulum senyum. Dia selalu semanis ini. "Hemm. Selamat hari valentine ...."

Eon mengurai pelukannya. Dia tersenyum lembut sebelum mengambil sesuatu dari dalam plastik besar yang dia bawa. Aku yakin, isi plastik itu adalah beraneka ragam cokelat dan kue, tetapi aku tidak yakin jika yang dia ambil adalah makanan. Itu sebuah kertas.

"Undangan?" tanyaku.

Eon mengangguk semangat. "Ini urusan aku tadi."

Aku menatapnya takut. Undangan siapa? "Punya siapa?"

"Punya akulah!"

JDERRR.

Andai saja ada petir saat ini, maka suaranya benar-benar mendramatisir keadaan. Tapi tidak ada. Yang ada adalah debaran jantungku yang bertambah cepat dan tangan yang mengepal di pangkuan. Ini cuma mimpi 'kan?

Aku mengerjapkan mataku saat Eon menjentikkan jari di depan wajahku. "Malah ngelamun! Aku mau nikah, Ra! Seneng, kek, ucapin selamat, kek, peluk, kek, dicium, kek! Apa, kek! Malah diem aja," cibirnya.

Aku tertawa sumbang. Ah, ini nyata. Aku mengusap sudut mataku yang berair. Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi.

Bukan apa-apa, aku kira Eon menyukaiku. Aku kira dia memiliki perasaan yang sama sepertiku, ternyata tidak. Aku terlalu berharap.

Aku menaruh undangan yang dia pegang ke atas meja tanpa membacanya. Aku tidak yakin bisa kuat melihat nama siapa yang tertera di sana. Eon dan ... ah, aku tidak akan kuat.

Aku tersenyum lembut. Ya, mau bagaimanapun ini keputusannya, ini perasaannya, dan ini hidupnya. Terserah Eon ingin menyukai siapa dan menikahi siapa. Itu bukan urusanku.

"Selamat, ya, Yon."

Sial, aku tersendat. Suaraku menghilang di akhir kalimat.

Namun, seperti tidak melihat perubahan ekspresiku, Eon mengangguk senang dan memelukku lagi. Ini yang aku nanti sejak tadi pagi? Hadiah hari valentine? Aku tertawa lirih. Ini sangat-sangat mengharukan. Sampai-sampai, air mataku meluber ke mana-mana.

"Makasih, Ra."

Aku tersenyum miris. "Makasih juga 10 tahunnya, Yon."

Usapan Eon di punggungku terhenti. Eon sadar aku menangis. "Buat apa?" Aku mendengar nada jenaka dari pertanyaanya.

Aku mengusap kasar air mataku. "Buat semua hal. Termasuk perhatian kamu yang bikin aku ngerasa jadi orang paling berarti di hidup kamu."

Eon diam saja. Aku jadi penasaran responnya gimana. Namun, saat Eon melepas pelukannya dan menahan tawa, aku menyesal sudah menangis seperti ini.

"Hahaha, kena prank. KEJUTAN!!"

Aku melemparkan bantal sofa di dekatku ke wajahnya. "Apanya yang prank? Kejutan?!"

Eon tertawa. "Iya, prank. Kejutan ...." Dia mengambil undangan yang tadi aku taruh di atas meja dan dia berikan padaku.

Aku mendengkus. Aku sudah tahu jika itu memang 'kejutan', jadi kenapa harus diungkit-ungkit lagi?! Dan soal prank-nya?

"Terus?" tanyaku sensi tanpa menerimanya.

Eon tertawa kecil. Tatapannya melembut. Lelaki itu mengusap air mata di pipiku. "Maaf ... "

Aku membuang muka. Hmmm, maaf udah nge-php-in aku gitu? Udah aku maafin dari tadi.

"Maaf ngajak nikahnya nggak pake lamaran."

Aku menoleh cepat. "Hah?"

Eon nyengir lebar. Dia mengangkat undangan itu di depan wajahnya. "Nggak pake ngelamar dulu, aku udah buat undangan."

Aku mendelik. Tunggu dulu. Apa maksud Eon?

"Maksud kamu?"

Eon membuka undangan itu. Dia memperlihatkan tulisan yang tertera di sana. Aku membacanya.

Kristian Eonardo
Dan
Citra Agustina

Jadi, undangan itu untuk kami?!

"Ini undangan kita?!"

Eon mengangguk. "Ya, kita. Aku cuma bercanda doang tadi."

"BERCANDA?!!"

Ini nggak lucu sama sekali!

Eon tertawa. Dia mengangguk kecil.

"Iya, yang tadi bercanda. Tapi aku serius, Ra. Aku udah nyiapin ini sama mama dari beberapa bulan lalu," Eon menarikku mendekat, "walau kamu nggak pernah bilang kalau kamu sayang sama aku lebih dari sahabat, aku tau perasaan kamu itu sama kayak perasaan aku ke kamu."

" ...."

"Jadi, aku nyiapin ini sekaligus untuk kado valentine buat kamu. Bukannya kamu pernah bilang pengin ditembak cowok pas hari valentine?" Eon mengangkat undangan itu, "aku lebih dari nembak karena aku sayang sama kamu, Ra."

Jadi ... Eon akan menikahiku?

"Aku nggak mau nanya kamu setuju atau enggak soal ini. Tapi aku maksa. Kamu harus nikah sama aku."

Aku mendorongnya kesal. "Dasar pemaksa!"

Eon tertawa. Memang sinting!

Dia mengerling. "Tapi kamu suka."

Y-ya, bagian itu benar. Aku membuang muka, malu. Eon tertawa lagi.

"Ya udah, mau."

"Aku nggak nanya, aku maksa, Ra."

Rasanya, aku ingin memasukkan Eon ke dalam akuarium besar di dekat televisi. Tapi sayang, kita akan menikah. Mana tega.

Anggap saja hari valentine ini, menjadi hari jadi kami. Sama seperti keinginanku dulu untuk memiliki pasangan di hari valentine. Aku senang, harapanku terwujud.

"I love you, Citra."

Aku menatapnya sesaat. "I love you too, Eon."

Detik selanjutnya, yang aku tahu dia mendekat. Menghapus jarak di antara kami dengan begitu lembut dan meninggalkan kesan yang mendalam.

Rasanya seperti terbang ke awang-awang. Ini adalah hal terindah yang pernah Eon berikan padaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro