One Last Cry
Oleh Dinda P.
A Teenfict and Psychological
"Kalian mencari cerita yang menarik dari kisahku? Kukasih peringatan. Cerita ini akan membuatmu bosan. Masih ingin mengetahuinya? Kalian telah diperingatkan."
Abu-abu. Semua terasa begitu abu-abu. Monoton. Selalu saja seperti itu.
Pagi ini--sama seperti hari biasanya--aku hanya bangun, lalu memakan sarapan sambil mendengar ocehan Ibu. Entah apa yang dia katakan, semua terdengar seperti suara putih. Namun, bisa kulihat kalau dia masih marah. Mungkin masih menyalahkanku akan kejadian tiga tahun yang lalu. Ya, bagaimana tidak? Keinginanku untuk pergi ke tempat rekreasi telah menghilangkan satu nyawa. Begitu ocehannya selesai, aku langsung melesat ke dalam kamar. Kuhempaskan diriku ke atas kasur. Tetes demi tetes air langsung mengalir ke bawah, melewati celah antara bingkai kacamataku.
"Mati saja kau, dasar bocah gak berguna!"
"Pergilah dari sini!"
Aku mendekapkan bantal dekat-dekat ke wajah. Seruan yang sempat keluar dari ibuku kembali mengiang. Setetes air terasa masih mengalir di pipiku. "Mungkin itulah yang harus kulakukan."
Langsung saja aku bangkit berdiri kemudian membuka laci di samping kasur. Seutas tali tambang yang telah lama berdiam kuambil keluar. Ya, rencana ini sebenarnya sudah berputar dalam kepalaku. Aku berdiri di atas kasur. Dengan sedikit melompat, kuikatkan ujung tali ke salah satu balok kayu penyangga atap. Gila, 'kan, ada sesuatu seperti itu di kamarku?
"Seharusnya dua kali simpul sudah cukup dan," aku menarik talinya dengan kuat, "selesai!"
Kulepaskan peganganku dari balok lalu mendarat kasar di atas kasur. Kemudian aku bangkit berdiri kembali ke atas benda empuk tersebut. Sejenak kutatap lubang pada ikatan yang manganga di depanku. Susah payah aku menelan ludah. Sebuah pikiran lewat melintasi batinku. Yakinkah aku mau melakukan ini? Perlahan aku mengambil langkah mundur ke dinding kamar. Namun, tiba-tiba saja secarik dengungan melengking menusuk kedua telingaku. Kugenggam kepalaku dengan begitu erat seakan mau kupecahkan. Suara-suara yang tak pernah kukenal lagi-lagi memenuhi kepalaku.
"Pergi saja dari sini!"
"Gak usah buang lebih banyak waktu di sini!"
"Menyerahlah."
Air mata langsung luruh mengalir ke kulit. Gigiku menggeretak sekuat-kuatnya. Aku mau berteriak, tapi kata tak kunjung keluar. Cukup! Aku sudah tidak tahan mendengar semua ini! Tanpa ragu aku pun memasang lubang tali ke leher kemudian melompat. Tubuh bergelantungan di udara, tanpa pijakan apapun. Tenggorokan meminta 'tuk meronta, namun kuabaikan. Kemudian, paru-paru meminta hal yang sama. Pandanganku kian memburam. Detik-detik napas terakhir, akhirnya aku sadar ... bahwa beberapa dari suara-suara yang kudengar adalah suara pikiranku sendiri.
"Sudah kubilang akhirnya 'kan jadi seperti ini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro