3. Crown Prince
Yeon Hwa baru saja kembali dari hutan sehabis mencari tanaman herbal bersama keranjang rotan yang tersandang di punggungnya ketika hiruk-pikuk teriakan dan jeritan begitu ramai berasal dari kawasan rumahnya.
Orang-orang membentuk kerumunan di sana sambil menangis dan menjerit-jerit, berusaha menerobos barikade prajurit kerajaan yang membawa tombak dan pedang di pinggang.
Seorang prajurit dengan jabatan yang tampak lebih tinggi berdiri dengan muka kasarnya. "Tempat ini akan dijadikan lahan berburu kerajaan!" teriaknya.
Yeon Hwa terkejut bukan kepalang.
Mendengar itu, amarah seketika naik ke ubun-ubun si gadis dengan keranjang rotan. Tidak menunggu, gadis itu segera menyela kerumunan dan berteriak, "Bagaimana bisa kalian mengambil tempat tinggal kami begini?! Tanah ini milik kami dan kalian tidak bisa berlaku seenaknya begini!"
Kepala prajurit itu menatap garang ke arah Yeon Hwa. "Semua kawasan di wilayah ini sudah menjadi milik Dewan Negara Kiri, Nona! Jadi tolong segera pergi dari wilayah ini sebelum kami bertindak kasar!"
Dan barang-barang mulai dilemparkan keluar rumah oleh para prajurit yang bertugas membersihkan kawasan itu.
"Ya Tuhan. Ke mana lagi kami akan pergi."
"Rumah ini milik nenek buyutku, bagaimana mungkin bisa jadi milik Dewan Negara Kiri ketika aku saja tidak pernah menjualnya. Ke mana anak dan istriku akan pergi jika Tuan mengambil rumah kami?"
Ratapan-ratapan memohon terus saja terdengar. Orang-orang mengiba, namun para prajurit itu seolah-olah mati rasa dan tetap melanjutkan pekerjaannya. Yeon Hwa dengan tangan mengepal dan mulut mengatup rapat terpaksa pergi meninggalkan rumah yang menaunginya selama sepuluh tahun itu. Menyandang buntalan kain yang berisi beberapa helai pakaiannya dan menjinjing kain-kain lainnya yang berisi bahan-bahan obat.
"Negara ini benar-benar sudah rusak. Bagaimana bisa mereka mengambil rumah rakyat seenak jidat begitu? Mereka pikir tanpa rakyat apa yang bisa mereka lakukan, hah?! Dasar pejabat keparat!" Yeon Hwa masih saja mengumpat sambil terus berjalan, membuka pintu kayu yang ditutupi oleh daun-daun menjalar dari pagar tembok yang mengelilingi Dalbamigyung.
Itu adalah pintu rahasia yang hanya diketahui oleh Yeon Hwa dan beberapa gisaeng yang membantunya menyelundup ke rumah hiburan ini. Para wanita tidak diizinkan masuk ke rumah gisaeng jika mereka bukan gisaeng atau pelayan di sana. Jadi, beberapa orang percaya bahwa yang membacakan cerita di balik tirai itu adalah seorang gisaeng juga.
"Yongdam! Apa yang kau lakukan di sini? Ini, kan, belum jam bekerjamu." Seorang wanita dengan rambut disanggul besar berlari menghampiri Yeon Hwa.
"Aku resmi jadi gelandangan hari ini. Rumahku diambil oleh pemerintah dan dijadikan lahan berburu." Yeon Hwa menghela napas dengan muka dibuat sesedih mungkin.
"Ya Tuhan!" Wanita itu memasang muka terkejut sambil menutupkan tangan ke mulut. Lalu setelahnya memegang lengan Yeon Hwa dan membawanya untuk duduk ke atas dipan kecil di bawah pohon rimbun. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya wanita itu lagi.
Yeon Hwa mengulum bibirnya, kemudian memegang kedua tangan wanita itu dengan sorot memelas. "Tidak bisa kah aku tinggal di sini sementara? Bukannya ada bangunan yang dibiarkan kosong di sini? Tidak apa-apa bangunannya angker. Aku tidak keberatan berteman dengan hantu, kok. Boleh, ya? Ya?" Yeon Hwa menggenggam tangan wanita itu erat-erat.
Wanita itu balas menatap Yeon Hwa iba. "Tapi kalau Gisaeng Kepala tahu, habislah kita. Kau tahu sendiri wanita biasa tidak izinkan masuk ke gibang. Memberi izin untukmu bekerja sebagai pembaca cerita ini saja sudah mempertaruhkan keselamatan Gisaeng Kepala. Aku ragu dia akan memberikanmu izin untuk tinggal di sini."
"Ayolah." Yeon Hwa terus memelas. "Apa Ae Wol Eonni tega melihatku jadi gelandangan dan hidup di jalan? Eonni tidak perlu memberi tahu Gisaeng Kepala bahwa aku tinggal di sini. Aku janji akan berhati-hati agar tidak ketahuan. Ya? Ya, Eonni?"
Ae Wol menghela napas. Ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diputuskan olehnya. Namun, melihat bagaimana putus asanya gadis di hadapannya itu, pada akhirnya Ae Wol menghela napas pelan lagi kemudian mengangguk lemah.
Melihat itu, wajah Yeon Hwa langsung berubah berseri-seri. "Terima kasih, Eonni! Aku janji tidak akan menyusahkanmu!" serunya semangat.
***
Yeon Hwa tinggal di sepetak bangunan yang terbengkalai di pojok lain Dalbamigyung. Bangunan itu disebut Wolgyung dan sudah lama terbengkalai karena dianggap angker. Dahulu, ada seorang gisaeng yang mati gantung diri di tempat ini karena depresi setelah bangsawan yang menghamilinya menolak bertanggung jawab. Banyak gisaeng yang mengaku mendengar suara tangis dan jeritan-jeritan pilu dari tempat ini sampai akhirnya Wolgyung ditinggalkan begitu saja dan jadi tempat menakutkan bagi seluruh penghuni Dalbamigyung. Tidak ada yang berani berkunjung ke tempat ini dan sekarang Yeon Hwa malah menjadi penghuninya.
Selama nyaris seminggu dia menempati tempat ini, belum sekali pun Yeon Hwa mendapat gangguang supranatural seperti cerita-cerita yang beredar di antara penghuni gibang ini. Meski sesekali bulu kuduknya meremang dan seolah-olah ada angin dingin yang lewat, Yeon Hwa tidak peduli. Hidupnya lebih penting dari rasa takut. Yeon Hwa tidak berani mengambil resiko jadi gelandangan jika meninggalkan tempat ini. Sudah tidak ada tempatnya untuk pergi sekarang.
Yeon Hwa juga masih bekerja sebagai pembaca cerita di Dalbamigyung. Seperti halnya malam ini, Yeon Hwa masuk ke bilik kecil yang di sampingnya dipasang tirai hitam. Duduk bersila di sana ditemani cahaya lilin yang diletakkan di atas meja kecil bersama sebuah buku.
Di seberang, Yeon Hwa dapat melihat dua orang laki-laki duduk berseberangan dengan meja berisi minuman dan makanan sebagai penengahnya. Untuk sesaat, kening Yeon Hwa berkerut mendapati hal itu. Tidak ada seorang gisaeng pun yang menemani mereka di dalam sana. Meski Yeon Hwa sering melihat hal semacam ini, paling tidak akan ada seorang gisaeng yang memainkan alat musik di sudut ruangan. Tetapi kali ini benar-benar tidak ada siapa pun kecuali dirinya dan dua laki-laki di balik tirai sana.
Dari informasi yang Yeon Hwa dapat dari Ae Wol, yang menyewa bilik ini adalah seorang bangsawan kaya. Dia bahkan membayar dengan menggunakan kimpo*. Karena dibatasi tirai, Yeon Hwa tidak dapat mengamati wajahnya dengan jelas dan hanya dapat melihat postur tubuhnya saja.
Namun, memilih tidak peduli, Yeon Hwa segera melanjutkan pekerjaannya di bilik ini. Orang-orang datang dengan banyak kepentingan ke tempat ini. Jadi, bukan urusannya untuk memikirkan hal itu. Bekerja di tempat ini mengharuskan Yeon Hwa bersikap seperti orang buta dan tuli. Apapun yang didengar dan dilihatnya di dalam, harus dibawanya sampai mati.
"Seperti yang diduga, Dewan Negara Kiri semakin memperkuat pengaruhnya. Dia bahkan mengambil beberapa baekjong untuk kemudian dilatih menjadi tentara."
Laki-laki dengan postur lebih tegap yang duduk di seberang mulai berbicara, menatap laki-laki lain dengan topi bundar dan mengangkat gelas minuman, menyesapnya perlahan.
"Sudah kau temukan siapa yang menyerangku waktu itu?" tanya si lelaki setelah meletakkan kembali gelasnya ke meja.
"Ya, Yang Mulia," ujarnya. "Mereka pembunuh bayaran terlatih yang tinggal berpindah-pindah di pegunungan. "Dan sepertinya Dewan Negara Kiri juga terlibat dalam hal ini, Seja Joha**."
Kening Yeon Hwa lagi-lagi berkerut.
Seja?
Jika benar orang yang berbicara di seberang sana adalah Putra Mahkota, maka tidak heran jika dia mampu membayar dengan kimpo. Tapi, kenapa Putra Mahkota mengunjungi rumah bordil seperti ini? Bukankah itu merusak moral keluarga kerajaan?
Namun, lagi-lagi Yeon Hwa harus bersikap tidak peduli.
"Sudah kuduga," ujar lelaki itu tampak sedikit menghela napas berat. "Aku punya tugas baru untukmu, Moo Young," tambahnya lagi. "Bisa kau carikan seseorang untukku?"
"Ya, Yang Mulia," jawab si laki-laki bernama Moo Young yang Yeon Hwa rasa adalah pengawal Putra Mahkota itu dengan patuh dan penuh hormat.
Yeon Hwa berdehem pelan, mulai membuka suara. Bagaimanapun, dia tetap harus bekerja. "Saya Yongdam, akan mulai membacakan cerita yang tidak akan pernah Tuan-Tuan dengar di mana pun. Cerita ini berkisah tentang seorang wanita yang menanti kepulangan kekasihnya dari—"
"Dia adalah seorang tabib wanita di pinggiran desa. Kemarin aku ke sana, tetapi tempat itu sudah berubah menjadi lahan berburu dan aku tidak tahu ke mana dia pergi."
Kalimat Yeon Hwa tergantung ketika Putra Mahkota berbicara. Otaknya tiba-tiba bergerak cepat memikirkan siapa tabib wanita pinggiran desa yang dimaksud oleh Putra Mahkota?
Namun, Yeon Hwa segera mendapatkan kendali dirinya lagi. Dia di sini untuk membacakan cerita. Apa pun yang dibicarakan pengunjung-pengunjung itu, dia tidak berhak untuk menguping. Jadi, Yeon Hwa kembali melanjutkan membaca cerita dari buku di depannya.
"Kalau boleh saya tahu, kenapa Anda mencarinya, Yang Mulia?" tanya Moo Young penasaran.
"Kau ingat aku diserang oleh sekelompok pembunuh bayaran waktu itu? Tabib itu telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang padanya."
Yeon Hwa mengulum bibir, namun dia tetap berusaha melanjutkan ceritanya meski konsentrasinya sudah terganggu sekarang.
Namun, anehnya dua orang itu sama sekali tidak berbicara apapun setelahnya, seolah sama-sama ditelan keheningan, membiarkan suara Yeon Hwa yang mendominasi ruangan itu.
Seharusnya, ini merupakan hal yang lumrah karena biasanya para pengunjung akan terjebak dalam keheningan, mendengarkan ceritanya dengan hikmad diiringi sura petikan geomungo***. Namun, tidak demikian ketika seseorang yang dipanggil Putra Mahkota itu berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati tirai.
Yeon Hwa segera menghentikan kalimatnya dan memalingkan wajah. Dia segera berdiri dengan cepat dan keluar dari pintu kecil tempatnya biasa lewat dan berlari kencang ketika Putra Mahkota menyibak tirai dengan cepat.
"Kejar dia!" seru Putra Mahkota yang ikut berlari melewati pintu kecil tempat Yeon Hwa lewat tadi. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot\(^o^)/
*Kimpo atau istilah panjangnya kim-goan-po (金元寶) adalah sejenis mata uang ingot perak atau emas yang digunakan di Cina hingga abad ke-20.
**Seja Joha: Yang Mulia Putra Mahkota.
***Geomungo atau hyeon-geum
adalah alat musik dawai dari Korea (Joseon).
Ini kimpo:
Ini geomungo:
Kalian yang sering nonton drama saeguk mungkin nggak asing sama dua benda di atas.
Love,
May
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro