Prologue
Read This First!
Perhatian:
Cerita ini adalah Teen Fiction, bukan Fan Fiction.
Jadi, harap jangan sangkutin dengan kehidupan nyata para Idol yang jadi cast di sini ya.
Dan, jangan protes soal pairing yang ada di sini ya.. soalnya udah disesuaiin wajah dan karakter cerita.
Terimakasih!
Selamat Membaca~
Tertanda,
Melanie. Istri sah Park Chanyeol.
• Prologue •
Evaded
Teriknya sinar matahari pagi menelusup masuk melalui jendela kamar yang tertutupi dengan gorden abu-abu, menyinari wajah bak porselen yang sebelumnya tengah terlelap dan berhasil menariknya dari alam mimpi di atas tempat tidurnya.
Jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan lewat dua puluh menit pagi hari saat lelaki dengan nama lengkap Daniel Adijaya itu mendesah bangun dari tidurnya. Matanya yang menyipit melirik sebentar ke arah jarum jam dan langsung menarik kembali selimutnya untuk menutupi dirinya dari sinar matahari dan berniat untuk kembali masuk ke alam mimpi yang sempat terganggu waktunya.
Baru saja beberapa detik Daniel menutup kelopak matanya, sebuah suara keras berasal dari ponselnya yang terletak di atas nakas di samping ranjang tidurnya kembali membuat mata Daniel terbuka, namun kali ini lebih lebar.
Daniel mengerang sebal, kemudian menendang selimutnya ke lantai.
"Elah!" pekik Daniel kesal, entah kepada siapa. Lalu, ia bangkit dari posisinya dan duduk bersandar di kepala ranjang dengan mata yang begitu berat terasa.
Dor! Dor!
Suara pintu diketuk yang entah kenapa terdengar seperti suara tembakkan di telinga Daniel terdengar dan kembali merebut kesadarannya. Daniel membuka kedua matanya lebar-lebar dan menggeram kesal.
"Udah bangun!" teriak Daniel keras, kepada seseorang yang berada di luar pintu kamarnya.
"Jam berapa ini? Buruan, nanti Papa ngomel kalo tau kamu nggak dateng ke press conference!"
Daniel langsung bangkit berdiri dan melempar bantalnya keras-keras. "Iya!" balasnya.
"Buruan!" teriak seseorang di seberang sana, yang tak lain dan tak bukan adalah Helena, Mama Daniel.
"Bawel!"
Biarpun begitu, Daniel tetap berjalan ke kamar mandi dan menutup pintu dengan keras.
Tak butuh waktu lama bagi Daniel untuk menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi, karena tak sampai memakan waktu sepuluh menit, lelaki yang wajahnya kini nampak lebih segar itu sudah keluar dari kamar mandi dan melangkah hanya dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya memasuki wardrobe. Nampak tak berniat sama sekali, tangannya bergerak memilah satu persatu kaos yang hendak ia kenakan hari ini, namun kemudian teringat akan perkataan Papanya malam tadi. Jadi, tangannya bergerak memutar dengan malas meraih pakaian hari dinas, dan jas almamater kampusnya.
"Ketemu lagi sama si kuning," gumam Daniel, meratapi almamater kampusnya yang lebih tepatnya berwarna jingga.
Walau begitu, Daniel tetap mengenakannya.
Selesai berpakaian dan masih dengan rambut basahnya, Daniel menyampirkan handuk di belakang pintu dan meraih tas, kunci mobil serta ponselnya yang terletak di atas meja lalu langsung keluar dari kamarnya dan turun ke bawah.
Sampai di ruang makan, Daniel mendapati Mamanya yang sibuk dengan ponselnya tengah mengitari dapur dan nampak gelisah.
Daniel menyosor susu putih hangat yang sudah disiapkan di atas meja makan dan meneguknya sampai habis. Dan tepat saat itu juga, Mamanya menoleh dan menatapnya.
"Daniel berangkat," ujar Daniel, hendak langsung berbalik dan berangkat kuliah namun Helena meraih tas Daniel dan menahannya.
Dengan malas Daniel menoleh. "Apaan lagi?"
Helena meletakkan ponselnya di atas meja dan memperhatikan penampilan Daniel dengan seksama dari atas sampai bawah, lalu berjingkat guna merapihkan untaian rambut anak satu-satunya itu dengan penuh perhatian namun tanpa minat ekspresi.
Sepertinya, wajah diam tak berniat milik Daniel diturunkan dari Helena.
"Ma, Daniel bukan—"
"—anak kecil lagi, iya tau." Helena cepat-cepat ucapan Daniel yang sudah ia ketahui dengan jelas kelanjutannya.
"Nah."
"Yaudah diem sebentar, Mama rapiin doang. Biar nanti kalo difoto ganteng. Papa pasti ngeliat. Tau sendiri kan kalo pak rektor itu temennya Papa," ucap Helena yang entah kenapa terdengar begitu antusias di telinga Daniel.
Daniel memutar bola matanya malas. "Ya gara-gara temennya yang rektor kampus juga kan makanya Daniel jadi Ketua Himpunan sekarang."
"Ya bagus dong," kata Helena, berakhir menepuk-nepuk kepala Daniel.
Baru saja Daniel hendak membalas ucapan Helena, ponsel di tangannya bergetar diikuti dengan nada dering panggilan masuk miliknya. Ia membalik ponsel dan melihat nama yang tertera pada layar miliknya dan mendesah pelan setelahnya.
Elshen Kahim Sastra
"Halo," sapa Daniel begitu mengangkat panggilan.
"Niel, lo—lo di mana?" tanya Elshen di seberang sana, terdengar gugup seperti biasa saat ia bicara dengan Daniel.
"Di rumah," balas Daniel sekenanya. "Kenapa?"
"Acara udah mau mulai, tinggal lo doang yang belum dateng."
Mendengar ucapan Elshen, Daniel menoleh ke arah jam dinding yang terletak di ruang keluarga dan sesekali melirik Helena yang nampak menunggu dengan penasaran. Jam sembilan lewat lima puluh lima menit. Hampir jam sepuluh. Dan sepanjang daya tampung ingatan Daniel, acara seharusnya dimulai pada jam sepuluh pagi, yang artinya Daniel hanya memiliki waktu lima menit dari sekarang.
Daniel hendak membalas ucapan Elshen dan melontarkan beberapa alasan yang sekiranya dapat memberinya kelonggaran waktu, tetapi sebuah suara sudah terlebih dahulu menyemburnya.
"Kalau lo gak datang sekarang, sebaiknya lo mengundurkan diri jadi ketua himpunan jurusan psikologi. Jangan buang waktu orang lain untuk urusan lo yang gak berguna. Merugikan!"
Bibir Daniel hampir terlepas dari tempatnya. Itu sudah jelas bukan suara Elshen.
"Bacot, rumah gue banjir."
Dan setelah berkata demikian, Daniel langsung memutuskan sambungan ponselnya lalu menoleh ke arah Helena yang nampak bingung di tempatnya.
"Rumah siapa banjir?" tanya Helena.
Rasanya ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Jadi, Daniel langsung mengamit tangan Helena untuk bersaliman dan melenggang pergi menuju garasi untuk mengeluarkan mobilnya.
• • • • •
Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit bagi Daniel
untuk tiba di kampusnya.
Seharusnya, ia hanya perlu waktu sepuluh sampai lima belas menit. Tapi, berhubung tadi ada kasus mobil menyerempet motor di tempat yang hendak ia lalui, jadi memakan waktu agak lama untuk tiba di kampus. Terlebih sekarang Daniel harus sabar dan telaten guna mencari tempat parkiran yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. Saking lamanya mencari, rasanya Daniel hendak memarkir dengan asal di depan gedung aula dan langsung masuk ke dalam sana karena ia yakin sudah terlambat lumayan lama.
Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Daniel menemukan lahan kosong untuk memarkir mobilnya, namun ternyata tempat itu terletak lumayan jauh dari gedung aula yang menyebabkan Daniel harus berjalan lagi dari tempatnya menuju lokasi. Tapi, berjalan terlalu lama sehingga Daniel memilih untuk berlari.
Setibanya di ruang ganti aula, Daniel kehabisan napas dan rambutnya yang sebelumnya hampir kering kini kembali basah.
Rupanya, penderitaan Daniel belum berakhir. Karena begitu ia mendongakkan kepalanya, yang ia dapatkan bukanlah sambutan hangat atau air putih untuk melepas dahaganya sehabis berlari, namun justru tatapan sinislah yang ia dapatkan.
"Tuh si Daniel udah dateng," ucap Bella yang sebelumnya duduk di paling pinggir, bangkit dari posisinya dan membenarkan skirt hijau tosca yang ia kenakan.
Billy, yang duduk tepat di sebelah Bella ikut bangkit dan menepuk tangannya selama beberapa kali. "Yaudah yuk langsung mulai acaranya."
"Damn," umpat Daniel pelan.
Selain tepat waktu, mereka adalah sekumpulan orang membosankan yang tidak punya hati. Atau, setidaknya itulah yang dipikirkan Daniel saat ini, selagi ia meletakkan ransel dan mengacak-acak rambutnya asal.
Setelahnya Daniel berdiri di balik pintu, bersandar dengan malas selagi memulihkan tenaganya saat Bella dan Billy mulai menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatan acara, sambutan dan mulai menyebutkan satu persatu para Ketua Himpunan dari berbagai Jurusan.
Elshen yang namanya belum dipanggil, bergerak kikuk melewati Daniel.
"Sorry, Niel. Tadi bukan gue," ujar Elshen yang terdengar seperti bisikan.
Melihat wajah bersalah Elshen, Daniel jadi tidak enak hati.
"Santai," balasnya.
Dan setelah itu, Elshen kembali berbaris di belakang, menunggu namanya untuk dipanggil. Merasa lega dengan jawaban yang Daniel ucapkan.
Kemudian selama beberapa saat, Daniel kembali menunggu.
"Ketua Himpunan Jurusan dari jurusan Psikologi, Daniel Adijaya. Kepada saudara Daniel dipersilahkan memasuki aula dan duduk di kursi yang telah disediakan."
Daniel menghembuskan napasnya berat. Ia paling malas kalau sudah begini acaranya.
Kalau boleh bicara jujur, sebenarnya Daniel menjadi Ketua Himpunan Jurusan Psikolog itu bukan karena kehendak dirinya sendiri yang dengan senang hati mengajukan diri untuk menjadi kandidat ketua. Daniel bukan tipikal orang seperti itu, sama sekali.
Jadi ceritanya, Rektor Kampusnya itu adalah teman dekat Papanya semasa SMA dan kuliah, persahabatan mereka terbilang cukup lama. Tapi entah kenapa dewasa ini rasa gengsi justru membesar di antara keduanya. Jadilah, Papa Daniel bertindak dengan meminta langsung kepada Rektor Kampusnya agar mengangkat anaknya menjadi Kepala Himpunan—agar dapat menjadi sosok pemimpin yang sebenarnya, katanya. Padahal, kerjaan Daniel tak lain dan tak bukan hanya main games saja sejak SMA. Bukan lagi hobi, tapi sudah jadi kegiatan wajib sehari-hari, hampir sama pentingnya untuk bernapas bagi Daniel.
Jangankan itu, masuk jurusan Psikolog saja bukan kehendak Daniel sendiri, melainkan keinginan Papanya.
Tapi apa daya, kalau bukan karena segala fasilitasnya yang disita, mana mungkin Daniel sudah berada di sini sekarang ini.
"Daniel Adijaya."
Lagi, MC yang perempuan menyebutkan nama Daniel, berhasil menyadarkannya dari lamunan.
Tersadar, Daniel langsung mengencangkan almamaternya dan berjalan ke atas panggung, melirik sebentar ke arah audience dan langsung duduk di tempat yang telah disediakan untuknya.
Setelah terduduk dan acara pun dimulai, entah apa yang terjadi, Daniel merasa kalau dirinya pingsan atau apa. Karena tiba-tiba saja, seluruh mata tertuju kepadanya dan itu membuatnya benar-benar tidak nyaman dalam cara yang tak dapat ia deskripsikan.
"Sama seperti sebelumnya," ucap Bella, berhasil menarik perhatian Daniel yang kini menatap penuh ke arahnya. "Apa alasan kamu menjadi Ketua Himpunan di Jurusan Psikolog?"
Dalam hati Daniel tidak yakin. Haruskah ia menjawab yang sebenarnya? Tapi, sepertinya tidak bakalan lucu. Terlebih sekarang ada Mahasiswa Jurusan Kedokteran yang duduk di samping kanannya dan memajukan microphone mini di hadapan Daniel agar lebih dekat dengan bibirnya.
Daniel melirik sebentar anak kedokteran bernama Rafael itu dan mendelik tajam ke arahnya, lalu kembali menghadap ke arah Bella.
"Disuruh Pap—" Daniel berdeham sebentar, ia pikir itu bukanlah kata-kata yang pas dan malah akan membuat imejnya menjadi seperti anak manja, ditambah ini acara formal yang mana artinya ia harus bicara dengan bahasa formal.
"Daniel Adijaya?" pancing Bella sekali lagi.
"Saya diminta oleh orang tua saya," jawab Daniel, singkat padat dan jelas.
Dapat ia lihat beberapa orang tengah menahan tawanya, dan ketika matanya tengah menyelidik dengan seksama, Daniel mendapati pasang mata Rektor yang kini balas menatapnya. Daniel bergerak tak nyaman di kursinya.
"Bukan karena paksaan ya, tapi karena termotivasi oleh dorongan orang tua," ringkas Billy, membenarkan suasana.
Sebenarnya bukan itu yang terjadi. Daniel ingin angkat bicara dan menjelaskan bahwa bukan itu maksudnya, tapi sepertinya ia terlalu malas untuk melakukan hal seperti itu. Jadi, ia diam saja.
"Pertanyaan selanjutnya," pungkas Bella, merasa tak ada lagi yang hendak Daniel tambahkan. "Apa yang akan anda lakukan setelah menjadi Ketua Himpunan? Dan, apa program kerja yang anda rencanakan selama menjabat?"
Rasanya seperti ada ribuan semut di kepala Daniel, otaknya blank seketika.
"Dijawab satu-satu dulu aja gapapa." Kini giliran Billy yang berujar, mencoba untuk mencairkan suasana yang entah kenapa jadi begitu terbawa serius karena perbincangan dengan Ketua Himpunan yang sebelumnya.
Tiba-tiba saja Daniel merasa ditodong dari kedua sisi tubuhnya, tempat di mana Ketua Himpunan Jurusan lain duduk dan menatapnya. Menunggunya untuk mengucapkan sesuatu yang ia sendiri bahkan tidak tahu apa itu.
Daniel meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan lurus dan bertautan, enggan menunjukkan gerak-gerik yang aneh dan mencurigakan menurut pelajaran Psikologi yang ia pelajari. Selagi melakukan gerakkan serupa, mata Daniel terus bertemu dengan milik Pak Rektor dan tiba-tiba saja memikirkan Papanya.
Jangan sampe semua disita lagi. Jangan sampe, batinnya berdoa.
Jadi, Daniel memutuskan untuk mengesampingkan rasa gondok, kesal, emosi, dendam, gakuku dan ganananya di dalam hati. Setidaknya, ia bisa mengucapkan sesuatu yang baik-baik.
Daniel menghembuskan napasnya pelan. "Intinya saya akan melakukan yang terbaik untuk Universitas Candramawa."
Mata Bella mengerjap selama beberapa kali. Begitu juga dengan Ketua Himpunan lain beserta para audience yang sepertinya masih menunggu jawaban lain dari Daniel.
"Lalu?"
Tatapan Daniel berubah lagi menjadi seperti biasanya: tanpa minat. Ia melirik dan menatap Bella seolah-olah enggan berkata lebih lanjut dan memintanya untuk tidak bertanya lagi. Yang untungnya, Bella dapat mengerti dengan jelas tatapan itu.
"Oke, selanjutnya: bagaimana kesan pertama setelah tahu kalau anda terpilih menjadi Ketua Himpunan di Jurusan Psikolog?" tanya Bella, lanjut ke topik yang berbeda.
Daniel memiringkan sedikit kepalanya. "Awalnya banyak yang menolak kalau saya diangkat jadi Ketua Himpunan di Jurusan Psikologi, terlebih beberapa Ketua lain—" Daniel melirik tajam ke arah Adriel, salah satu Ketua Himpunan yang duduk di sampingnya dan kini nampak tengah menatapnya dengan seksama. Melihat dari gelagatnya saja, Daniel sudah tidak tahan, sampai tiba-tiba pemikiran untuk membuat orang itu geram terlintas di benaknya. "tapi mau gimana lagi? Saya memang sejak awal sudah ditakdirkan menjadi Ketua Himpunan, jadi saya menerimanya dengan senang."
"Sudah ditakdirkan menjadi Ketua Himpunan," ulang Bella, memperjelas ucapan Daniel. "Baiklah, sekarang silahkan perkenalkan diri anda secara singkat dan rinci kepada para audience, agar lebih mengenal sosok Daniel."
Sebenarnya Daniel hendak langsung memperkenalkan dirinya, namun Billy memberikan gerakkan tangan agar ia bangkit berdiri. Jadi Daniel langsung bangkit berdiri dan sedikit menundukkan tubuhnya sebelum angkat bicara. Ia tersenyum selama beberapa saat dan merasakan cahaya terang yang mengejutkan dari salah satu kamera jauh di depan sana.
"Saya Daniel Adijaya, mahasiswa jurusan Psikologi tahun 2015. Hal yang bagus mengenai saya bisa anda sekalian lihat kedepannya. Terimakasih."
Daniel selesai berucap. Menutup perkenalannya seolah memberi batas jarak bahwa ia tidak menerima pertanyaan dalam jenis apapun setelah ini. Ia berusaha tersenyum ke seluruh penjuru ruangan dan saat menolehkan kepalanya, ia mendapati Adriel—sosok orang yang sebelumnya memaki-maki dirinya di ponsel dan menatapnya lekat-lekat itu kini terlihat tengah bersusah payah menahan emosinya dan menatap Daniel dengan garang. Dari gerak-geriknya, Daniel tahu betul kalau Adriel kini termakan sindiran yang kerap ia lontarkan.
Satu kosong, batinnya senang.
Selebihnya, telinga Daniel kembali tertutup rapat.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro