Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

eschew.
verb.
deliberately avoid using; abstain from.

• Chapter 4 •
Eschew

Berlian Trishanty Wen, menghusap matanya selama beberapa kali dan meregangkan tubuhnya sebentar sebelum bangkit dan berhadapan dengan Helia Putri yang kini duduk di pinggir ranjangnya.

"Kenapa?" tanya Berlian, dengan suara serak bangun tidur miliknya.

Tidak mengerti kenapa, tiba-tiba saja wajah Helia berubah warna saat mendengar pertanyaan sedemikian rupa diajukan oleh sahabat dekatnya.

"Kenapa lo?" tanya Berlian lagi, berubah jadi sedikit panik saat matanya yang buram perlahan-lahan mulai dapat melihat dengan jelas manik wajah milik Helia.

Helia menepuk pipinya beberapa kali dan menyadarkan dirinya sendiri dari khayalan tinggi yang ia bangun.

"Stevan.." gumamnya.

Berlian beralih dari posisinya dan duduk bersandar di kepala ranjang. "Stevan kenapa?" tanyanya, penasaran.

"Dia chat gue lagi masa," ucap Helia, salah tingkah sendiri.

"Tuhkan!" Berlian langsung berubah semangat dan menepuk pundak Helia saking senangnya. "Apa gue bilang!"

Helia tersenyum senang, mengalahkan ekspresi orang yang baru saja mendapatkan doorprize pergi haji ditambah rumah impian beserta isi dan mobilnya.

"Lo ngomong apa sama dia? Gila, gak nyangka deh gue asli," kata Helia, menutupi wajahnya yang kian memerah.

Berlian tersenyum kikuk. "Ya.. gitu dehhh," balasnya.

Helia langsung mendongak mendengar balasan Berlian. "Gitu gimana?! Lo nggak ngomong macem-macem kan ke Stevan?!"

"Enggak elah." Berlian tertawa. "Emangnya dia ngechat apa?"

Tak dapat menahan senyum di wajahnya, Helia mendekat ke arah Berlian sembari meremas kedua tangannya sendiri.

"Pertama dia bilang hai.."

Berlian susah payah menahan senyum di wajahnya. "Terus?"

"Gue pura-pura nanya dia siapa, padahal gue udah nyimpen nomernya," kata Helia.

Meledak sudah tawa serak Berlian. "Sepik aja sepik," ledeknya.

"Ya kan biar gak ketauan!" pekik Helia, manyun.

"Iya-iya, oke.. terus gimana?"

"Terus dia bilang 'mantanmu'."

"Haaaa!!!! Seriussss!!!???!?" Berlian histeris bukan main. Ia menepuk-nepuk paha Helia dengan gemas.

Tak kalah histeris hanya dengan mengingat percakapannya semalam, Helia balas menepuk pundak Berlian dengan gemas dan semburat wajah kesenangan miliknya.

"Iya makanya. Terus dia nanyain kabar gue. Abis itu—"

Ucapan Helia menggantung di udara.

"Abis itu???" Alis kanan Berlian terangkat, penasaran.

Helia menggigit bibir bawahnya sebentar. Kakinya bergerak tak karuan.

"Dia nanya: ada yang marah gak kalo gue chattingan sama dia?"

"GILAAAA!!!! PARAAAHHH!!!!!!"

"Parah kaaann!!!"

Teriakkan histeris terdengan semakin menjadi-jadi di kamar Berlian. Ranjangnya pun ikut berderit tiap kali kedua perempuan itu berjingkat kesenangan di atas ranjang.

"Kode keras itu!!" pekik Berlian.

"Tapi lo jangan bilang Stevan kalo gue kesenengan begini!" kata Helia, malu-malu kucing.

Berlian tertawa pelan. "Santai aja," ujarnya.

Kendati berkata demikian, Berlian tahu kalau dirinya tak bisa bersantai setelah ini.

• • • • •

"Dibales gak?" tanya Jovannus di sela-sela bibirnya yang menempel pada ujung sedotan.

Stevan meliriknya sebentar. "Bales," jawabnya, kemudian melanjutkan kembali kegiatannya menatap layar ponsel.

"Oh jadi dari tadi lu sibuk chattingan sama Helia?!"

Daniel menghela napasnya panjang dan meminum frapuccino miliknya. Selalu seperti ini.

Kali ini, setelah menyelesaikan kelas dan menunggu Daniel rapat sebentar dengan kepala himpunan lainnya, mereka memilih cafe tempat biasa mereka untuk berkumpul. Seharusnya sih, mereka membahas tentang perempuan yang sering kali mengaku-ngaku kenal dengan mereka itu, tetapi nampaknya kedua teman Daniel ini terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.

"Dia bales apa woi anjir!" pekik Jovan, tak karuan.

"Bales apaannya sih," kata Stevan dengki. "Gue nanya soal itu juga belom."

Daniel menggeser letak gelas minumannya dan beralih menatap Stevan. "Jadi, lo chat dia nanyain masalah kita atau malah ngajak balikan?"

"Gila lo ya!"

Kali ini, Daniel kompakkan dengan Jovan untuk menertawakan Stevan. Wajahnya jadi berubah padam tiap kali disinggung perihal hubungannya dengan Helia, apalagi saat mendengar kata-kata balikan.

"Kali aja gitu."

"Nggak lah!" balas Stevan langsung.

Jovan tertawa lagi. "Jadi gimana sekarang?"

Sembari menghela napas, Daniel menggeser frappuchinonya ke tengah-tengah meja dan beralih meraih ponselnya. Matanya menatap lurus ke luar ruangan yang hanya tertutupi kaca. Kemudian setelah merasa yakin dengan penglihatannya, Daniel bangkit dari posisinya.

Stevan mendongak sedikit. "Mau kemana lo?"

"Ada urusan, bentar."

Alis Jovannus menyerngit, terlebih lagi saat melihat Daniel yang mulai meraih ransel dan mengenakannya. Ia bertukar pandang dengan Stevan selama beberapa saat.

"Rapat lagi?" tanya Jovan.

"Bukan." Mata Daniel masih menatap ke luar jendela. "Gue duluan."

Tanpa memedulikan lebih lanjut dengan apa yang baik Stevan maupun Jovannus katakan, Daniel langsung melangkahkan kaki jenjangnya ke luar cafe dan begitu sampai di luar, ia berjalan terburu-buru dan menabrakkan pundaknya dengan seorang perempuan yang tengah sibuk bersandar di tiang penganggah cafe sembari membaca buku.

Buku tebalnya itu lantas terjatuh dan menimpa sepatu Daniel.

"Astaga!" perempuan itu terkejut, lalu saat mendapati Daniel di hadapannya, bola mata bulatnya kian membesar.

"Kita ketabrak lagi," ujar Daniel dengan suara beratnya.

Itu Berlian.

"Eh—iya."

Daniel menunduk sebentar untuk meraih buku tebal di atas kakinya—Psikologi Perkembangan Edisi Kelima yang dituliskan oleh Elizabeth B. Hurlock, salah satu buku wajib anak-anak psikologi di kampusnya—lalu ia sodorkan kepada Berlian.

"Kali ini gue yang gak pake mata," kata Daniel. "Sorry."

Setelah membasahi bibirnya, tangan Berlian bergerak meraih buku miliknya. "It's okay," balasnya. "Kita impas berarti."

Walau sulit, Daniel mencoba memasang seulas senyum di wajahnya. "Kita seangkatan kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Gapapa." Kemudian Daniel menyodorkan tangannya. "Gue Daniel."

Walaupun ragu pada awalnya, Berlian balas menyodorkan tangannya dan tersenyum.

"Siapa sih anak Psikologi yang gak kenal sama lo," papar Berlian. "Gue Berlian Trishanty. Panggil aja Berlian."

"Oke, Berlian." Daniel mengangguk pelan, lalu ia memegang tali ranselnya yang hanya ia kenakan di sebelah kanan. "Gue duluan ya."

"Iya," jawab Berlian, mencoba tersenyum ramah.

Tapi, baru beberapa langkah Daniel menjauh, cowok itu sudah menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menghadap Berlian yang ternyata masih memerhatikannya dari belakang.

Berlian mengerjap selama beberapa kali, salah tingkah karena kedapatan memerhatikannya.

Saat Berlian menunduk, Daniel menghela napas. Dan dengan segenap tenaga yang dimiliki olehnya, ia mencoba tersenyum dan memundurkan kembali langkahnya.

"Berlian," panggil Daniel, berdiri tepat di hadapan cewek dengan blouse biru tuanya.

Berlian mendongak malu, lalu berdeham sebentar. "Kenapa?"

"Kalo gue minta nomer lo, boleh gak?"

Pipi Berlian berubah padam. Ia menggenggam buku di pegangannya erat-erat.

"Buat apa?" tanya Berlian.

Daniel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memperlihatkan gestur yang sering kali ia baca di buku pembelajaran miliknya.

"Buat chattingan aja, mungkin?" Ia malah balas bertanya. "Itupun kalo boleh."

Berlian nampak berpikir selama beberapa saat.

"Kalo gaboleh ga—"

"Mana sini hape lo." Berlian memotong ucapan Daniel sebelum selesai dan menyodorkan tangannya.

Semburat senyum tak terelakkan dari wajah Daniel. Ia lantas menyerahkan ponselnya yang sejak tadi ia genggam kepada Berlian.

Berlian menekan home button pada ponsel Daniel. "Dikunci. Sidik jari lo—"

"Kosong-kosong, delapan-delapan, lima-lima."

Alis Berlian hampir bersatu. "Hah?"

"Itu passwordnya. Kosong-kosong, delapan-delapan, lima-lima."

Lagi-lagi tindakkan Daniel membuat Berlian salah tingkah dan memerah. Setelah membuka kunci ponsel Daniel, Berlian agak terkejut karena password yang diberikan Daniel benar.

Tanpa menunggu lebih lama, Berlian segera menekan nomer ponselnya sendiri dan menyimpannya di sana. Setelah selesai, ia menyodorkan ponsel Daniel.

"Nih, udah," ucap Berlian.

Daniel meraih ponselnya, tapi tidak hanya itu. Ia turut memegang tangan Berlian yang memberikan ponselnya itu dan berhenti selama beberapa detik sebelum benar-benar membawa ponselnya ke dalam saku celana.

"See you," kata Daniel dengan senyum tampannya, lalu melenggang pergi.

Berlian terdiam di tempatnya dengan perasaan campur aduk luar biasa, sementara Daniel yang sudah berbalik arah, tak menampakkan apa-apa di wajahnya kecuali ekspresi super ngantuk dan ponsel di tangannya.

"Nambah-nambahin tugas aja," dumal Daniel, berjalan ke parkiran dan masuk ke mobil miliknya.

Tanpa disadari, Daniel sudah masuk ke dalam labirin yang akan segera menjebak kehidupan dan hatinya.

• • • • •

[ n o t e s ! ! ! ]

Hahaha, bagaimana-bagaimana?
Akhirnya kelanjut juga.

Lanjut lagi gak nih?

Masih penasaran gak? Kalo iya, penasaran tentang apa? Komen ya!

Makasih.
Love, Melanie.
Adek tercinta Kim Taehyung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro