Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

curiosity.
noun.
a strong desire to know or learn something.

• Chapter 3 •
Curiosity

Daniel hampir tertidur kalau sebuah senggolan tidak mendarat di lengan kanannya.

Ia mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan berusaha dengan susah payah untuk membenarkan posisi duduknya jadi kembali tegap. Dan saat sudah hampir terbangun sepenuhnya, Daniel baru menyadari kalau beberapa pasang mata kerap tertuju kepadanya.

"Apa?" tanya Daniel, tanpa suara.

Lagi, orang di samping Daniel kembali menyenggolnya.

"Jangan tidur," balasnya yang juga tanpa suara.

Daniel memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, menimbulkan suara gemeretuk dari tulang-tulangnya dan menghembuskan napas panjang.

"Merem doang, gak tidur," kilahnya.

Angga, yang sudah sejak tadi memerhatikan perilaku Daniel dan berusaha sekeras yang ia bisa agar tidak jatuh terlelap kini hanya bisa memutar bola matanya mendengar ucapan Daniel. Karena setidaknya, itulah yang bisa ia lakukan sebagai Wakil Ketua.

"Kalo nggak mau dengerin ya seenggaknya pura-pura dengerin kek," kata Angga.

Daniel mendesis pelan. "Makanya, lu aja yang jadi ketua."

"Mana bisa!" balas Angga langsung.

"Kenapa, Kak?" tanya salah satu anggota himpunan, Dewi—begitu mendengar Angga yang menaikkan nada bicaranya.

Berusaha kalem, Angga meneguk salivanya dan menggelengkan kepala perlahan. Memberikan tanda seolah semuanya masih berada dalam kendali. Ia melirik sedikit ke arah jam kulit hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang menunjuk ke angka tujuh lewat lima belas petang, lalu, wajahnya berubah serius.

"Karena proker kita emang nggak terlalu banyak kayak jurusan lain, jadi gue rasa cukup sampe di sini aja buat hari ini," ucap Angga. "Informasi rapat selanjutnya bakalan dikirim sama Shella ya."

Dan setelah rapat dinyatakan selesai, beberapa sekretaris, humas dan bendahara langsung menghampiri baik Angga maupun Daniel yang duduk bersebelahan.

"Kak soal ini—"

"Kak soal itu—"

Gendang telinga Daniel mau pecah rasanya.

Jadi, tanpa sadar ia sedikit menggebrak meja dan bangkit dari posisinya. Menghela napasnya panjang-panjang, Daniel mulai merapihkan buku dan peralatan lainnya yang bahkan tak tersentuh olehnya untuk ia masukkan ransel dengan ponsel dan kunci mobil yang tetap ia pegang di tangan kanannya.

"Rapatnya udah selesai," kata Daniel. "Kalo mau nanya, kontak aja atau nunggu rapat berikutnya."

Kemudian Daniel langsung berlalu, melangkah keluar ruangan yang terasa begitu pengap baginya tanpa memperdulikan beberapa orang yang masih terpaku akan perilakunya barusan.

Saat tiba di koridor, Daniel tersadar kalau seharusnya ia tidak keluar sendirian. Terlebih, untuk sampai ke tempat parkir yang perkiraannya bakalan lebih gelap dari ini.

• • • • •

Tak sampai tiga puluh menit kemudian, Daniel tiba di rumah dan disambut oleh keramahan pembantunya yang entah kenapa membuat Daniel dapat langsung mengetahui dengan jelas apa yang tengah terjadi saat ini.

"Belom pulang kan Mama?" tebak Daniel.

Bi Inah, asisten rumah tangga yang biasa mengurus Daniel menundukkan kepalanya gundah. "Tadi sore Ibu berangkat ke Jogja, Mas Daniel. Mantau proyek katanya."

"Oh."

Jawaban singkat Daniel rupanya membuat Bi Inah mampu mengangkat kepalanya kembali. Ia mendongak dan menatap Daniel yang kini perlahan mulai berjalan menjauh, hendak menuju kamarnya.

"Bibi udah masakkin ayam tepung kesukaan Mas Daniel nih. Mau makan di ruang tamu atau di kamar, Mas?" tanya Bi Inah, sedikit mengeraskan suaranya.

"Udah dingin ya? Panasin dikit lagi, Bi, biar makin garing. Daniel mandi dulu ntar ambil sendiri."

Setidaknya, Daniel tak bersikap arogan terhadap pembantunya.

Tangan Daniel membuka kenop pintu kamarnya dan berhasil dikejutkan dengan keberadaan Jovannus dan Stevan yang kini tengah tengkurap santai di atas ranjang miliknya.

"Lo berdua ngapain?" tanya Daniel ketus.

Jovannus yang merasakan kedatangan Daniel beralih duduk dan memeluk bantal dengan sarung abu-abu milik Daniel. Di wajahnya terpampang seulas senyum yang bahkan enggan repot-repot Daniel cari tahu apa artinya itu.

"Menjenguk bapak Ketua lah. Mau apa lagi?"

Stevan meletakkan buku bacaannya di atas nakas saat Daniel menghela napasnya panjang dan mulai menutup kembali pintu kamarnya. "Jovan paksa gue. Jangan salahin gue."

Daniel melempar ranselnya ke atas sofa. "Iya, kalian emang selalu bener kan," balasnya, lalu beralih ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang terasa begitu lengket di musim panas ini.

"Selamat mandi!" pekik Jovannus, yang tentu saja tak digubris oleh Daniel.

Selagi Daniel mandi, Jovannus dan Stevan menunggu di kamar Daniel sambil membicarakan beberapa hal yang sama sekali tidak penting topiknya—yang pembicaraannya jelas dipimpin oleh Jovannus sementara Stevan hanya menaggapi sepatah dua kata.

Tak berselang lama, Daniel selesai mandi dan keluar dengan handuk kecil yang bergelantungan di lehernya.

"Najis basahin rambut jam segini udah kayak capung," komentar Jovannus.

Daniel memasang wajak tak perduli dan melemparkan handuk kecilnya ke keranjang pakaian. "Dari pada lu kambing jarang mandi."

"Gue mah gak mandi juga tetep ganteng ya," ujar Jovannus, melepas pelukkan bantal dari tangannya dan mengalihkannya ke belakang kepala.

"Ya apa lagi gue," balas Daniel.

Stevan berdeham keras. "Yang asli ganteng kalem aja."

Merasakan perdebatan ini tidak bakalan ada habisnya, dan sebelum Jovannus kembali angkat bicara, Daniel merasa perlu untuk mengendalikan situasi kali ini. Jadi, ia beralih duduk di atas sofa bersamaan dengan Jovannus.

"Serius," katanya. "Lu berdua mau ngapain di sini?"

Mulut Jovannus langsung berbentuk 'O' saat diingatkan perihal kedatangannya kemari dan merogoh iPadnya dari ransel yang ia letakkan dengan asal di bawah meja. Baru saja Jovannus membuka kunci dan hendak menunjukkan sesuatu, terdengar suara pintu yang diketuk.

"Mas Daniel, udah dipanasin nih ayamnya." Itu Bi Inah.

Daniel menghembuskan napasnya, panjang dan berat, terlebih ketika ia mendapati ekspresi senang bukan main dari wajah Jovannus yang mulai menampakkan senyumnya.

"Ambil sono," titah Daniel, geregetan.

Stevan, bergerak duluan sebelum Jovannus sempat memproses ucapan dari Daniel, bangkit dari atas ranjang dan berjalan membuka pintu kamar.

"Eh, ada temennya Mas Daniel," ucap Bi Inah, tak dapat menyembunyikan semburat senyum di wajahnya.

Stevan tersenyum singkat, lalu tangannya menengadah untuk meraih piring besar yang berisikan beberapa potong ayam tepung crispy, terdiri dari dua paha lengkap atas bawah, dan dua sayap.

"Bi, masakkin dua porsi lagi yang kayak gitu," papar Daniel, sedikit berteriak. Enggan kalau sampai porsi makan ayam kesukaannya berkurang.

"Oke, Mas," balas Bi Inah, kemudian berbalik untuk kembali ke dapur.

Setelahnya, Stevan menutup pintu dengan satu tangannya dan berjalan dengan piring besar berisikan penuh ayam crispy ke arah Daniel dan juga Jovannus, meletakkannya di atas meja dan duduk bersila di atas karpet bulu berwarna berwarna putih tulang yang mulai pudar warnanya.

Jovannus ikut duduk di bawah, berhadapan dengan Stevan dan diikuti Daniel setelahnya. Tangan kanannya yang terbebas menyomot ayam dan langsung memakannya tanpa ragu, sementara tangan kirinya menggeser iPad ke arah Daniel.

"Tuh," kata Jovannus, sambil menunjukkan sesuatu di layar.

Rasanya ketertarikkan Daniel sepenuhnya teralihkan. Ia memandang penuh dengan tatapan serius dan memerhatikan dengan seksama apa gambar yang ditunjukkan oleh Jovannus, sampai ia sadar kalau foto yang diambilnya itu bukan sekedar gambar acak. Melainkan foto keramaian di koridor lantai satu yang diambil dari lantai dua.

Tak menunggu lebih lama, jemari Daniel bergerak untuk memperbesar gambarnya dan memerhatikan dua orang yang terfokus di gambar itu.

"Helia, seangkatan kita, salah satu temennya Berlian yang pernah bilang dan nyebar berita kalo Berlian deket sama kita," jelas Jovannus perihal gambar.

"Helia?" tanya Stevan, yang entah sejak kapan sudah berpindah posisi dari di hadapan Jovannus jadi di sebelah kiri Daniel.

Daniel melirik Stevan sebentar. "Lo kenal?"

Stevan berdeham sebentar lalu menganggukkan kepalanya. "Dia beberapa kali sekelas sama gue," jawabnya.

"Yakin?" Daniel terlihat ragu dan meledek di saat yang bersamaan.

Menahan rasa kesalnya, Stevan kembali duduk ke tempatnya dan tak lagi angkat bicara, namun Jovannus terkekeh pelan.

"Helia mah mantannya Stevan waktu SMA," celetuk Jovannus.

Langsung saja, Daniel pura-pura mengangguk paham dan kembali fokus ke layar. Ia meneliti mimik wajah yang berada di sana dengan seksama.

"Mereka berdua deket dari mana?" tanya Daniel, yang entah kenapa terdengar begitu ingin tahu di telinga Jovannus.

Jovannus menggidikkan bahunya dan dengan mulut penuh ia menjawab, "Gatau."

"Helia itu orangnya ramah, dia bisa temenan sama siapa aja." Stevan angkat bicara, dan Daniel tertawa mendengarnya.

"Karena dia ramah, elu aja yang deketin sama cari tau," papar Daniel, berhasil menjatuhkan umpannya terlebih saat ia melihat wajah Stevan bersemu untuk yang pertama kalinya saat membahas masalah perempuan.

Mendengarnya membuat Jovannus menepuk tangannya tanda setuju yang menyebabkan remahan ayam menyebar kemana-mana, dan langsung saja mendapatkan tatapan tajam dari Daniel sang empunya kamar.

Jovannus memasang senyuman tak bersalah miliknya. "Helia sama Stevan. Terus, siapa yang deketin Berlian?"

Saat itu juga, Daniel berusaha meyakini dirinya sendiri kalau belum saatnya untuk dia bergerak sendiri. Tapi, kala sadar bahwa tatapan Stevan dan Jovannus mengarah kepadanya, ia jadi yakin kalau sekarang adalah gilirannya. Untuk mendekati Berlian, dan mencari tahu apa yang seharusnya ia ketahui.

• • • • •

[ n o t e ! ! ! ]

BTS's Park Jimin as Angga Afriyan
and
BLACKPINK's Kim Jisoo as Helia Putri

So, bagaimana menurut kalian tentang part ini?
Suka Aja / Suka / Suka Banget / Biasa Aja

Haha. Iseng ya gue.
Semoga pada suka ya biar gue semangat lanjutinnya heheehee.

Love,
Melanie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro