3. Bersejarah
Hari Sabtu, adalah hari yang ditunggu kebanyakan orang di dunia ini--merupakan waktu yang pas untuk mengistirahatkan diri dari aktivitas-aktivitas padat selama sepekan. Kebanyakan orang memilih bersantai dan melakukan kegiatan menyenangkan lainnya. Namun tak sedikit orang pula yang harus bekerja atau mengerjakan hal yang harus diselesaikan.
Beberapa hari yang lalu Koro-sensei memberi tugas membuat laporan pengamatan kepada murid-muridnya. Maka dari itu dengan sedikit berat hati aku harus meninggalkan Pulau Kasur kesayanganku untuk kemari. Disinilah aku sekarang, Museum Nasional Tokyo. Well, meski deadline tugasnya masih lama apa salahnya menyicil? Lagipula hari ini aku sedang free. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh nilai baik dari tugas maupun ulangan. Aku tidak ingin berlama-lama di kelas E, tentunya aku ingin di kembalikan ke gedung utama.
Disini aku mengamati segala hal yang ku temui. Sebenarnya sangat mengasyikkan, tapi entah kenapa bagi orang-orang berkunjung ke museum menurut mereka merupakan hal yang membosankan. Aku mencatat hal-hal penting yang ada di museum ini untuk ku jadikan laporan.
Aku masih terpaku pada sebuah benda yang berada dalam sebuah kaca di gedung utama. Mataku memandang takjub, pikiranku terbayang-bayang dimana benda di hadapanku masih berada pada zaman emasnya. Kostum samurai lengkap pada abad ke-15 itu menyita perhatianku. Saat aku melihat sembari mengelilingi sisinya, sesuatu menyembul dari balik kaca dihadapanku. Mataku membulat, namun hanya sekejap.
"Yo [Name]-chan~ sedang apa kamu disini?" Sosok makhluk bersurai merah itu bersuara, aku mendecakkan lidah.
"Sejak kapan kamu memanggilku dengan embel-embel -chan hm?" Aku balik bertanya padanya. Ia terkekeh.
"Kita kan teman sekelas. Memang salah ya memanggil nama kecil pada orang yang sudah kita kenal?" Alisnya terangkat dengan ia memiringkan bibirnya. Ia menatapku lekat.
"Ya, ya, ya terserahmu saja deh. Aku sedang fokus mengerjakan tugas tapi karena kau datang kau sudah mengacaukan fokusku, Akabane-kun" Kututup buku catatan kecil yang sedari tadi berada ditanganku dengan perasaan kesal. Bulpen yang ku gunakan untuk menulis di sana juga ku sematkan diantara lembaran buku itu kemudian ku masukkan mereka ke dalam tas kecilku. Ngomong-ngomong, mataku sudah lelah mengamati sekian barang di museum ini. Kurasa aku butuh sedikit istirahat, sebelum aku harus melanjutkan pengamatanku.
"Heh~ ternyata [Name]-chan kesini juga untuk mengerjakan tugas laporan dari Koro-sensei ya? Wahh" tunggu dulu, apa dia tadi mengatakan 'juga' dalam kalimatnya? Atau aku yang salah dengar.
"Kalau kamu ingin bilang kamu kesini juga melakukan hal yang sama denganku aku tidak terkejut." Ia bertepuk tangan dengan senyumnya--tidak, maksudku seringaiannya yang terlukis di bibir lelaki itu.
"Aku tidak menyangka kamu bisa baca pikiran orang" aku menggeleng pelan setelah ia selesai bicara. Tentu saja aku menyangkal, aku kan memang bukan paranormal.
"Hei Akabane-kun, apa kamu tidak bisa gitu cari lokasi atau obyek lain selain disini? Kenapa juga aku harus bertemu dengan setan merah sepertimu."
"Ngusir nih?" Tanyanya dengan nada selidik.
"Nah itu paham. Soalnya ya, kalau kita mengangkat tema dan obyek yang sama jadi tidak menarik" ujarku sembari mulai melangkahkan kaki meninggalkan ruang gedung utama ini. Langkahku terhenti sejenak, aku membalikkan badan. "Atau jangan-jangan kamu memang sengaja mengikuti dan berniat meniru pekerjaanku Akabane-kun?" tambahku kemudian langsung membalikkan badan lagi, dan melanjutkan langkah. Sepertinya ia berlari kecil menyusulku, terdengar dari suara derap kaki yang menggema di ruangan ini.
"[Name]-chan, tolong hilangkan pikiran burukmu itu. Aku saja tidak pernah berpikiran seperti--err akan menyaingimu, karena jelas aku lebih unggul darimu. Cewek sepertimu akan jadi mengesalkan orang lho." Aku hanya mengendikkan bahu tanda acuh akan perkataannya. Ya aku memang begini karena sudah bawaan lahir. Jadi maaf ya Karma, aku bukan cewek-cewek pelajar yang gaul, dengan segala feminimitas yang kebanyakan sudah menjadi jati diri cewek pada umumnya. Disini aku lebih mengedepankan segala prospek kehidupanku di masa yang akan datang.
"Kalau begitu tolong tunjukkan bagaimana aku bisa menghilangkan segala pikiran burukku tentangmu dan tentang kelas E. Itupun kalau kau bisa." Ia melirikku sambil menghela napas. Sebuah senyum mengembang di bibirnya kala ia mengatakan,
"Dengan senang hati"
Aku mengangguk dan selanjutnya kami terdiam tak bersuara saat menyusuri ruangan demi ruangan museum ini. "Ngomong-ngomong," suaranya memecah keheningan di antara kami berdua. "Kita--tidak lebih tepatnya kamu--mau kemana?" Lanjutnya.
"Mau cari tempat istirahat dulu, capek"
><><><
Pilihanku jatuh pada sebuah rumah makan di seberang tak jauh dari gedung Museum Nasional Tokyo yang berlokasi di Ueno Park. Aku memilih tempat duduk yang outdoor karena aku suka menikmati hawa akhir pekan seperti ini. Sudah jarang-jarang aku keluar rumah di akhir pekan, karena sebenarnya aku juga sama seperti orang lain. Memilih bersantai di dalam rumah.
Aku sudah menghabiskan semua isi Chococchino dalam gelas di hadapanku. Aku sudah tidak lelah, tubuhku kembali bersemangat melanjutkan kegiatanku yang mendadak ter-interupsi. Akabane Karma, lelaki yang tiba-tiba muncul ketika aku sedang sibuk mengamati suatu obyek koleksi di museum tadi kini masih asyik menikmati Strawberry Milkshakenya. Aku baru sadar kalau si kepala merah itu suka sama susu strawberry. Memang sih, dia sering terlihat membawa susu strawberry di sekolah dan meminumnya. Cuma aku baru sadar saja ketika aku menanyakan perihal menu pesanannya tadi.
"Sudah?" Tanyanya. Ia baru selesai menghabiskan.
"Kau lama Akabane-kun" kami berdua beranjak dari tempat duduk kami. Ia berdiri dan kami berjalan menuju ke Museum kembali.
"Aku mau ke lantai atas dulu." Ujarku padanya saat kami sudah memasuki gedung. Ia mengangguk, lantas menjawab "Aku akan berkeliling di lantai ini, temui aku di gedung utama tempat kita tadi bertemu ok?" Dia mengerlingkan sebelah matanya.
><><><
Ruangan ini lebih sepi dari yang kuduga. Hanya ada aku dan 2 orang yang berada di ruang pameran bagian di lantai dua ini. Padahal koleksi yang dipamerkan juga tidak kalah bagusnya, mungkin pengunjung malas untuk meng-eksplor ruang ini karena letaknya yang ada di sudut gedung. Aku melihat jam, sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sebaiknya aku menyudahi kegiatanku, pikirku.
Saat hendak kembali, kulihat pria berbaju hitam itu melihat-lihat sekeliling. Aku menyembunyikan diri disalah satu sudut ruangan. Pria itu mendekati sebuah koleksi, oh aku tahu itu adalah patung Haniwa yang di gadang-gadang memiliki nilai keunikan tinggi. Pria itu mengeluarkan sebuah kantong plastik dari sakunya, tangannya meraih patung yang di letakkan bebas di atas meja koleksi tanpa perlindungan apapun.
Ia memasukkan patung itu kedalam kantong plastik, kemudian ia menuju ke patung lain. Napasku tercekat. Tentu saja ini adalah aksi pencurian. Tapi.. kenapa ia bisa begitu lancar menjalankan aksinya? Mengapa alarm pencurian tidak berbunyi? Hei, ada yang tidak beres disini.
Aku mengeluarkan ponselku, mencari kontak bertuliskan nama 'Setan Merah'. Setelah kutemukan, segera ku tekan tombol telpon di layar. "Kau dimana [Name]-chan! Ini sudah terlalu sore, cepat kesini!" Dia ini ya, langsung main semprot saja.
"Akabane-kun, dengarkan aku. Temui aku di sayap kanan gedung lantai dua, sekarang!"
"Memang kenapa sih?"
"Cepat Akabane-kun, kau akan tahu sendiri nanti. Disini ada--" pip. Aku terkejut bukan main kala sebuah tangan mengambil handphone dari belakang dan memutuskan sambungan telepon. Sontak, aku membalikkan badan dan mendapati sosok paman berseragam satpam museum sedang tersenyum.
"Maaf nona, disini tidak diperbolehkan menggunakan handphone" tegurnya.
"A-ano, paman.. pria itu melakukan pencurian! Tolong anda ringkus!" Ujarku panik, namun aku berusaha memelankan suaraku agar tak terdengar siapapun kecuali kami berdua.
"Tidak nona kecil, andalah yang seharusnya saya ringkus" bola mataku membulat sempurna ketika orang dihadapanku menunjukkan seringaiannya. Ternyata.. dia juga merupakan komplotannya ya? Sial. Pantas saja alarm pencurian tidak berbunyi.
Ia berjalan mendekatiku, aku melangkah mundur. Aku menggerutu kesal ketika punggungku terasa menabrak sesuatu. Aku dipojokkan. Paman itu mengeluarkan sebuah sapu tangan. Ughh.. bau klorofom menguar di indra penciumanku. Tangannya mulai menyekap mulut dan hidungku dengan sapu tangan itu, kuat sekali. Tak butuh waktu lama, pandanganku mulai memburam. Kulihat dari belakang sosok bersurai merah berlari dan menghajar paman yang membiusku sebelum semua menjadi gelap.
><><><
"Nee, [Name]-chan sudah siuman rupanya," sebuah suara terdengar di telingaku saat aku baru mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan penerangan di ruangan yang tidak kuketahui. Karma berada disebelahku, senyumnya merekah melihatku sudah bisa membuka mata dengan sempurna.
"Oi, dimana ini?" Suaraku masih terdengar parau. Aku jadi teringat kejadian sebelum aku tak sadarkan diri. Oh ya pencurian itu!
"Akabane, para pencuri itu.. bagaimana?"
"[Name]-chan tak perlu khawatir. Aku dan petugas museum sudah membereskan mereka kok!" Jawabnya dengan nada membanggakan diri. Aku tidak kaget, karena siapapun yang sekelas dengannya juga tahu kemampuan bela diri Karma yang melebihi kemampuan anak SMP pada umumnya.
"Kamu lama tahu! Untung saja paman itu cuma membiusku. Kalau dia melakukan dengan senjata tajam bagaimana? Hufft" aku menghela napas dan menepuk-nepuk dada. Bersyukur dengan keadaanku sekarang.
"Sebaiknya [Name]-chan berterima kasih lho~ hmm, asal kau tahu kau tidak sadarkan diri selama 2 jam" Hah? Yang benar saja. Itu artinya sekarang.. aku langsung mengecek jam tanganku.
"Akabane-kun ayo pulang. Sudah jam delapan malam" dia mengangguk dan membantuku bangun. Masih agak limbung, tapi aku bisa menahan. Kami berjalan untuk berpamitan ke pihak museum. Mereka berterima kasih atas apa yang sudah kami lakukan tadi. Aku dan Karma sama-sama tersenyum. Tentu saja kami senang karena sudah membantu pihak museum.
Aku dan Karma berjalan beriringan, menyusuri jalanan malam kota Tokyo. Dingin, karena saat ini masih musim gugur. Aku sudah menolak Karma untuk mengantarkanku pulang, karena aku bisa pulang sendiri. Tapi dia bersikeras dengan dalih 'ini sudah malam, tidak sebaiknya seorang gadis berjalan sendiri di malam hari' well, padahal setidaknya aku juga bisa melakukan bela diri meski hanya sedikit itupun berkat pelajaran Karasuma-sensei di kelas E. Tapi ya sudahlah, aku malas berdebat karena aku lelah.
"Hei [Name]-chan aku tadi memfoto wajahmu saat tak sadarkan diri, kau tahu.. tadi [Name]-chan menganga lho. Itu adalah momen langka untuk seorang gadis perfeksionis sepertimu. Hahaha, patut diabadikan" lelaki berambut merah disebelahku tertawa lepas.
"Lagipula, patung Haniwa yang hendak di curi itu juga mirip denganmu. Itu ekspresi yang sering kau tunjukkan bukan? Jangan-jangan [Name]-chan titisannya Haniwa"
Dia masih bisa menjahiliku disaat seperti ini rupanya. Aku mendengus kesal dan membuang muka.
"Kamu itu yang perlu diabadikan Akabane-kun. Setan merah unik seperti kamu patut di museumkan kalau perlu di beri kaca sekalian. Biar nggak berulah." Karma malah terkekeh setelah aku berujar seperti itu. Ia menyahut dengan sebuah gumaman.
"Kalau dimuseumkan dihati [Name]-chan sih aku mau. Biar aku jadi makhluk bersejarah di kehidupanmu pun aku tidak keberatan."
Suara hiruk-pikuk keramaian jalanan malam hari membuat perkataan Karma tak terdengar begitu jelas di indra pendengaranku.
"Hah apa?" Tanyaku memastikan. Dia menggeleng.
><><><
To be continued..
Huaa ini apa? Author juga ndak tahu nulis apaan T.T semoga readers puas dengan chapter ini.
Terima kasih sudah membaca^^ jangan lupa meninggalkan jejak yaa
Salam es hangat,
Kay
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro