11. Tetap Bersemi - END
Anak burung bercicit ria di antara ribuan bunga yang bermekaran di pohon. Sang ibu sedang memberi makan mereka, terlihat seperti tersenyum. Ada yang mengepakkan sayap pelan saking gembiranya, ada yang menelusup ke badan ibunya---bersikap manja. Ah, pandanganku tak lepas dari salah satu anak burung yang berada di pinggiran sarang sambil terdiam. Pastilah bola mata mungilnya itu memandang dataran dari atas sana sambil bertanya-bertanya dalam hati. Sayap mengepak pelan, tetapi ia tak terbang.
Hei burung, kau harus bersabar. Belum waktunya kau untuk bisa terbang. Saat kelak kau mampu terbang, pasti ibumu sangat sedih melepasmu, ya kan? Tentu saja. Siapa yang senang akan perpisahan penuh pilu?
"[Name]-san, kau melamun." Ada yang menepuk pundakku dari belakang. Sontak aku menoleh, sosok Gakushuu sedang memandangku heran. Ku gelengkan kecil kepalaku sambil mengulas senyum. Kemudian, pandanganku kembali ke arah sebelumnya; Pohon sakura di halaman sekolah yang bunganya bermekar indah.
"Maaf. Aku terbuai sejenak."
"Kita harus cepat. Acaranya akan dimulai." Aku mengangguk lalu mengekorinya dari belakang. Awalnya suasana yang menyelimuti aku dan Gakushuu sangat hening. Semenjak kami menuruni dua lantai melalui tangga, suaranya memecah sunyi.
"Apa kau baik-baik saja?" Oke, pertanyaan yang Gakushuu ajukan ini kedengaran sangat aneh. Aku agak memiringkan kepalaku, menatap tubuhnya dari belakang dengan tatapan tak mengerti.
"Apa aku terlihat sedang sakit?" dengusku kesal. Padahal aku sudah yakin sembilan puluh persen, aku ini anak sehat. Dan sekarang pun masih terasa bugar. Untuk apa dia bertanya hal yang sudah dapat dilihat mata kepala?
"Tidak, tidak. Bukan itu. Maksudku.. sebentar lagi di aula, kau akan melihat teman-temanmu yang dulu. Apa kau tidak apa-apa?"
"Aku malah ingin melihat mereka disaat-saat seperti ini, lho. Well, mungkin untuk terakhir kalinya?" Aku menarik napas dalam. Setelah menghelakan singkat, kalimat yang kutujukan pada lelaki perfeksionis di depanku berlanjut, "Begini-begini aku masih menjaga hubungan baik dengan mereka."
Gakushuu terdiam, bahkan kaki jenjangnya itu pun terhenti. Diriku yang tetap melanjutkan langkah hingga mendahuluinya hanya melirik sekilas.
"Ayo Gakushuu-kun. Kamu mau membacakan pidato perwakilan siswa di depan kan? Kuharap kita tidak telat."
Dan sedetik berikutnya, lorong koridor sudah menggemakan dua bunyi langkah kaki berbeda sebagai pengganti mulut yang bersuara.
><><><
"Woaa.. entah hanya perasaanku saja atau bukan, [Name]-chan makin cantik dan auranya sudah berbeda." Sambut lelaki berponi belah tengah ketika aku menghampiri mereka. Gakushuu meninggalkanku terlebih dahulu. Yah, dia memang ketos super sibuk yang harus membantu memantau persiapan ini-itu sebelum acara. Isogai memukul paha lelaki itu agak keras, seolah menyuruhnya untuk menjaga sikap.
"Gombalan seperti itu gak bakal mempan untukku, Maehara."
Ia menyengir kuda sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"[Name]-chan apa kabar?" Itu suara Nagisa. Dia bertanya dengan nada lembut. Aku langsung menatap ke arahnya dan tersenyum tipis.
"Tubuhku ada di sini. Artinya aku baik-baik saja, Nagisa-chan."
"Wow! [Name]-chan sudah hampir enam bulan tidak sekelas dengan kita, jangan-jangan kau lupa gendernya Nagisa ya?!"
Nagisa bersweatdrop usai mendengar lontaran kata yang tak bisa di rem dari mulut Maehara. Ya ampun, aku merasa playboy satu ini semakin tambah berisik.
"Bukan. Itu semacam.. mmm... panggilan kesayangan? Betul tidak Nagisa-chan?" Ujarku sedikit menggoda. Ah, sekali-sekali lah aku begini. Toh, aku belum tentu dapat bertemu mereka lagi, ya kan.
"Iyain aja deh." Sahut Nagisa. Kini aku yang menyengir kuda sambil melambai-lambaikan tangan berbentuk peace ke arahnya.
Hening beberapa saat, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Di deretan bangku yang disiapkan untuk kelas 3-E, di deretan yang paling belakang, aku bisa melihat Terasaka yang sibuk menyimak kegiatan Itona. Lelaki bertubuh kecil dan berbandana itu masih sempat mengotak-atik remote dengan perkakasnya di saat seperti ini.
Beralih ke tidak jauh di sebelah Itona, ekor mataku berhenti pada Karma Akabane. Dia sedang diajak mengobrol oleh Partner-in-crime-nya, Nakamura Rio. Tapi dapat kulihat dari sini, Karma hanya menjawab sekenanya.
"Perhatian untuk siswa-siswi, harap segera menempati tempat duduknya masing-masing karena acara wisuda pelepasan murid kelas 3 SMP Kunigigaoka akan segera dimulai."
Aku tersenyum dan melambaikan tangan pelan ke arah mereka, kemudian dengan tergesa-gesa aku menuju deretan bangku kelas 3-A di depan sana. Duduk sambil menanti susunan acara hingga selesai. Acara terakhir SMP Kunigigaoka yang akan diikuti oleh setiap murid tahun akhir di sini.
><><><
Kayano menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelahku. Ia menggenggam snack yang tadi kutawari dengan bunyi kraus dari mulutnya---menikmati setiap kunyahan. Fokusku masih tak berpindah, mengingat-ingat barang apa lagi yang perlu aku masukkan ke koper besar di hadapanku.
"Melelahkan sekali membantu menyiapkan perlengkapanmu~" gumam Kayano setelah menghela napas. Lantas, aku menoleh sambil tersenyum simpul. Muka kami sama-sama terlihat lelah, dan ini semakin membuatku tak enak hati karena telah merepotkan artis cilik seperti Kayano untuk membantu. Apalagi ibu dan adik sudah berangkat duluan menyusul ayah ke Indonesia.
"Maaf, aku merepotkanmu."
"Iie! Justru aku keberatan kalau tidak membantu temanku yang bakal tak pernah kutemui lagi. Yak.. mendadak aku sedih kembali."
Dengus Kayano sebal. Cewek hijau ini memang orang yang baik. Bahkan setelah aku pindah ke kelas A, dia masih mau main-main ke rumahku entah untuk belajar bersama, hangout, atau sekedar ngerumpi di kamar. Setidaknya aku merasa lega, diskriminasi dan kebencian yang ku bayangkan saat pindah kelas ternyata tidak terjadi. Hanya saja, yah.. Karma masih belum mau membuka diri terhadapku. Ini yang terkadang membuat malam sebelum tidurku sering terganggu.
"Miris sekali [Name]-chan.. hanya gegara masih ada urusan kelulusan sekolah kamu ditinggal di sini sementara."
Aku terkekeh pelan, Kayano menyadarkan dari lamunanku.
Memang miris sih. Pasalnya, karena ada acara kelulusan namun di sana harus mengurus segala kepindahan jadi aku dan Onee-chan akan menyusul ke sana kemudian. Untung ya, ada Onee-chan kalau tidak, aku tidak habis pikir.
"Kami balik kampung, dan tidak tahu juga bakal kembali ke sini atau tidak." gumamku dengan nada pelan sembari mencoba menarik napas dan tersenyum pada langit yang terhalang atap.
"Heh! Jangan membuatku tambah sedih! Kalau udah dewasa, kamu pasti tahu diri dan bakal main ke sini."
"Tentu saja, ya ampun. Kalau ada kesempatan." Aku menepuk punggung mungilnya. Kayano terbatuk kecil dan memasang muka kesal akibat acara nyemilnya terganggu. Aku beranjak kemudian berjongkok di depan koper, dan termangu. Kayano tampak meletakkan snacknya dan meraih gelas berisi sirup di meja.
"Besok aku akan mengajak kelas 3-E untuk mengantar kepergianmu. Tunggu ya~"
><><><
Teruntuk engkau sang penoreh luka,
sebelumnya lembar putih itu terlukis warna-warna indah, menggambarkan kisah-kisah sarat makna
kini pancarona tersebut tertutup noda, membuat hati seakan tertusuk panah
aku bertanya-tanya,
apa arti pemberian warna indah jika akhirnya kau torehkan sedemikian banyaknya noda,
wahai sang penoreh luka?
><><><
"Dek. Nih cola, ku beli dari mesin minuman di sana." Aku menerima kaleng yang Onee-chan beri sambil mataku tak lepas dari layar smartphone. Kadang kali orang ini menyebalkan, tapi sebenarnya dia kakak yang baik.
Aku menatap jam di layar dengan kalut. 15 menit lagi jam keberangkatan, tapi Kayano tak kunjung datang. Ku pasang earphone di telinga dan melantunkan playlist laguku.
"[Name]-chan." Oh ya ampun, di tengah enaknya lagu kenapa harus mengkhayal Karma menyebut namaku? ku tekan tombol pengeras volume musik sambil menggerutu.
"[Name]-chan." Sejauh mana tingkat halusinasiku sebenarnya?
Sret.
Earphoneku di lepas paksa oleh tangan Onee-chan. Dia memandangku dengan wajah kusut, sedangkan aku hanya menujukkan ekspresi heran.
"Ku tunggu di depan sana. Tuh, pamitan dulu sama---" Dia menggerak-gerakkan kepalanya ke arah belakang. Ah! Apa mungkin Kayano? Sontak, aku membalikkan badan dengan riang---
---tetapi malah bukan Kayano yang kudapati.
"Ka..rma...-kun?"
"Jangan lupa membersihkan telinga ketika sampai. Kamu kebanyakan pakai earphone."
hah?
H--APA?
Aku memukul lengannya, sekuat tenaga. Yang kurasakan saat ini kesal. Ya, aku kesal sekali dengan setan merah di hadapanku. Setelah sekian lama tidak bertemu---ralat, tidak bercengkrama, dia muncul dengan kata-katanya yang semakin membuatku sebal.
"Hei, aku kesal lho." Ujarku padanya.
"Kesal tapi matamu sampai berair gitu." Mataku tidak bisa berkompromi rupanya. Untuk apa dia mengeluarkan air mata? Padahal aku tidak ingin menangis. "Itu namanya terharu." lanjutnya.
"Bodoh." ucapku sambil bergetar.
"Kau benar. Karma Akabane tak sepintar kelihatannya. Aku bodoh karena terlalu percaya padamu. Aku bodoh karena terlalu lama terlarut emosi denganmu," Ia menarik napas dan menghelanya dengan berat. Pandanganku terus menatap ke bawah, tak sanggup untuk memandangnya. "Aku sudah lama menyalahkan diri sendiri, apalagi ketika kau jadi pindah kelas. Setiap kali bertemu, ingin rasanya angkat bicara. Tapi.."
"Nyalimu terlalu ciut. Dasar pecundang." sahutku kesal. Kayano, mana janjimu membawa anak kelas 3-E untuk mengantar kepergianku? Kenapa malah orang ini yang muncul? Dadaku sesak, ini salahmu Kayano si hijau!
"Aku balik kampung ke Indonesia. Bersekolah menengah di sana, kemungkinan juga bakal kuliah di sana."
"Aku sudah tahu,"
"Bentar, jangan menyelat dulu Karma! Bahkan kemungkinan, aku tidak kembali. Tugas Ayah di sini sudah selesai. Dan kau baru mau membuka diri kepadaku lagi di saat terakhir?! Ada apa dengan kepalamu sih! Aku sering kali ingin menyapa, tapi tingkahmu yang seolah benar-benar menghindariku membuatku mengurungkan niat. Padahal hanya masalah sekecil itu, padahal kupikir... kita bisa berteman baik."
Makiku panjang kali lebar kali tinggi. Napasku mengembang mengempis. Tanganku mengepal erat, air mata sudah ada di ujung pelupuk, memburamkan semua pandangan.
Mataku terbelalak ketika tubuhku ditarik paksa ke dekapannya.
"Karena itu, aku datang untuk meminta maaf. Maaf, aku telah menyakitimu."
Persetan dengan dipandangi orang banyak. Aku yakin, baju Karma kini menjadi basah akibat buliran kristal yang tumpah ruah. Perasaan senang, sedih, dan kesal tercampur jadi satu di setiap bulirnya. Karma mengeratkan dekapan tatkala tanganku mencengkram kuat bajunya.
Bahkan sekilas, aku menyaksikan satu persatu wajah teman kelasku. Seluruh penghuni 3-E, Gakushuu, 3-A yang menyebalkan, Nenek lampir dari kelas 3-B ---kelas asalku, Obaa-san tetangga sebelah, dan lain-lain. Semuanya aku tuangkan dalam air mata. Aku akan merindukan mereka, bukan? Bagaimana pun juga, merekalah yang mengisi waktuku selama di sini. Meski singkat, hanya selama tiga tahun.
Kemudian memoriku beralih pada setiap momen yang kuhabiskan bersama dengan orang yang sedang memelukku ini. Aku sudah berkonsultasi ke Kayano beberapa saat lalu, ketika bayang-bayangnya selalu menghantuiku sebelum tidur. katanya aku ini jatuh cinta. Tentu saja aku tidak percaya. Apa itu cinta? Aku bahkan belum pernah merasakannya. Bukankah kami terlalu dini untuk mengenal cinta? Kayano berseru, dan mengatakan kalau itu hal wajar yang ditemui seusia kami--beranjak remaja.
Karma melepaskan pelukannya, aku pun mengusap air mata tapi masih dengan sesenggukan kecil.
Setelah sedikit tenang, aku tersenyum simpul.
"Aku terima permintamaafan itu, Karma-kun. Selamat atas kelulusanmu."
Karma balas tersenyum dan menepuk pelan pucuk kepalaku. Terdengar di agak kejauhan sana, Onee-chan sudah meneriaki namaku.
"Ya, selamat juga atas kelulusanmu. Nikmati penerbangannya, jangan kepikiran aku terus." Aku mendecih. Level kepercayaan dirinya sangat menyebalkan, huh. Aku berbalik badan, hendak menghampiri tempat kakakku berdiri.
"Selamat tinggal."
'Selamat tinggal'
><><><
Aku terkekeh pelan setelah mengecek spam pesan masuk dari teman-teman kelas 3-E. Di sana Gakushuu juga mengirimku pesan. Cih, padahal orang itu sudah ku suruh datang untuk mengantarku tapi malah tak menampakkan diri. Lebih kesalnya lagi, pesan masuk dari Kayano.
Dia bilang, dia sengaja hanya menyuruh Karma yang datang dan membuat yang lain hanya mengirim spam pesan. Well, tidak buruk juga. Setidaknya aku harus mengirim balasan berupa rasa terima kasih.
Aku memandang ke jendela luar. Pesawat belum lepas landas. Dari kejauhan, samar-samar aku melihat pohon sakura di balik pagar lapangan terbang. Bunga yang bermekaran indah sekali, meski tampak samar. Mataku membulat tatkala sehelai bunga sakura terbang terbawa angin melewati jendela yang tengah kupandangi.
Bibirku mengulas senyum kecil.
Biar raga sudah tak ada di sini, kenangan akan tetap bersemi di hati.
Seindah musim semi hari ini.[]
f r i (END) s
.
.
.
//TEBAR BUNGA
DAH TAMAT WOE DAH TAMAT:"
Saya sendiri terharu akhirnya bisa namatin fanfiction ini setelah sekian lama.
Maaf atas keterlambatan apdet waktu-waktu itu. Masa' apdet sebulan sekali perchapter wkwkwk, khilaf kok saya.
Terima kasih sudah menyukai, mengikuti ff ini sampai akhir. Kay jejingkrakan ketika dapet notif reader nambahin ke reading list ehehehe. Heran juga, masih ada yang minat baca ini padahal menurut saya ceritanya masih Amburegeul T_T
Tapi terima kasih! berkat kalian saya jadi kembali semangat berkecimpung di dunia tulis-menulis fanfic.
Yosh. Tinggal apdet epilognya. Iya epilog! Ya masa saya gantungin endingnya begini aja kkkkk~
At least, mind to vote and comment?
Regrads,
Kayken VR
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro