ʟɪᴍᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛɪɢᴀ
ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •
Satu minggu terakhir Airlangga mencoba berdamai dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan Adriana. Laki-laki berkulit putih cerah itu tidak banyak bicara ketika di lingkungan kerja, dan lebih memilih berlama-lama di ruang kerjanya selama seminggu terakhir.
Tidak ada teriakan, makian, atau tuntutan hidangan disajikan lebih cepat seperti biasanya. Adriana memerhatikan, seminggu terakhir Airlangga terlihat berbeda, sorot matanya redup dengan ruam merah di bawah matanya.
Taufik dan Aji Saka sedikit khawatir, selama lima bulan ini ia belum pernah mendapati wajah Airlangga yang begitu sendu seperti itu. Untuk itu ia memanggil Adriana setelah sebelumnya pergi ke station beverage yang ada di bagian depan. "Adriana, tolong berikan ini pada Chef Air."
"Apa ini?" Adriana menerima gelas besar berisikan teh.
"Teh lemon hangat. Kayaknya Chef Air mau kena flu, deh. Aku perhatikan wajahnya pucat beberapa hari ini. Tolong, ya?"
"Ta-tapi, Chef."
"Sudah, kamu nggak akan dimarahi, Chef Air belakangan ini dia bahkan seperti tidak peduli dengan yang terjadi di sekitar. Aku malah kangen dimarahi Chef Air." Taufik mencoba meyakinkan Adriana.
"Sama! Chef Air yang keren kalau lagi marahin kita ke mana, ya? Apalagi kalau lagi pegang pan, Chef Airlangga paling keren saat itu." Tiba-tiba saja Gama ikut menyahut.
"Koe njalok diseneni karo Chef Air? Tak kandane koe karo Chef Air nek koe ninggal nenggonmu!
(Kamu mau dimarahi Chef Air? Aku adukan kamu ke Chef Air kalau kamu sudah ninggalin station-mu)
Gama buru-buru kembali ke station setelah mendengar ancaman Aji Saka.
"Nggak apa, An. Dia memang tegas, tapi nggak gila. Ora bakal koe diseneni nek ora nggawe salah." Aji Saka ikut meyakinkan.
Pada akhirnya Adriana mengangguk saja, meski bukan itu alasan Adriana menolak permintaan Taufik. Namun, ia sendiri yang mengatakan akan bersikap profesional ketika mereka bekerja bukan? Dan salah satu pekerjaannya adalah membantu Taufik juga Aji Saka yang kini memintanya mengantar teh itu untuk Airlangga, tetapi kenapa rasanya begitu berat?
"Permisi, Chef. Saya datang mau antarkan ini." Adriana masuk ketika Airlangga tengah sibuk dengan catatan menu juga stok bahan baku. Perempuan itu meletakkan teh di meja Airlangga, membungkus sekilas sebelum berbalik setelah Airlangga mengangguk sebagai jawaban.
Ketika Adriana hendak keluar, suara Airlangga membuatnya menghentikan langkah.
"Mau sampai kapan, Adriana? Mau sampai kapan aku harus berpura-pura tidak ada apa-apa di antara kita?" Airlangga berucap putus asa. Baru kali ini ia merasakan sakit setelah ia pikir kepergian Ayunda adalah yang paling sakit. "Aku akan melakukan apa pun asal kamu mau menerima aku kembali, An. Apa pun."
Airlangga kembali meneteskan air matanya, hidungnya memerah seperti seminggu terakhir ia kehilangan Adriana. Ada rasa kehilangan yang tidak dapat Airlangga jelaskan, hatinya kosong, jalan di depannya seolah gelap tanpa cahaya sama sekali.
"Apa aku harus mengiba sama kamu?"
"Kalau kamu terus seperti ini sebaiknya aku keluar dari pekerjaan ini. Aku nggak nyaman dengan sikap kamu." Adriana menghindar untuk menatap Airlangga, hatinya sudah cukup perih mendengar kalimat putus asa yang keluar dari bibir Airlangga.
Ketika Airlangga tidak menjawab, Adriana meraih kenop pintu, keluar dari ruangan itu menuju ke toilet karyawan. Duduk di atas toilet, Adriana meremat baju di bagian dadanya. Sesak yang ia alami membuatnya kelimpungan mengatur napas.
"Sial aku nggak bisa nahan semuanya. Ini sakit, Airlangga." Ia menutupi bibirnya dengan lengannya. "Apa ini yang Paman Abi mau? Paman puas?"
Pertanyaan Adriana itu jelas hanya disambut jawab oleh keheningan dalam bilik toilet.
****
Jam menunjukkan pukul enam sore saat Airlangga membuka matanya. Siang tadi, Airlangga sempat tertidur dan melewati pergantian sif. Hari sudah sore, Airlangga memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut karena tidur terlalu lama.
"Chef Airlangga sudah bangun?" Kepala Aji Saka menyembul dari ambang pintu.
"Aji? Kamu belum pulang?" Airlangga merapikan rambutnya.
"Belum, Chef. Kita harus menyiapkan buffet untuk makan malam tamu gathering, 'kan?"
Airlangga bergerak kaget, ia lupa jika hari ini ada pesanan prasmanan untuk acara gathering. "Astaga! Saya lupa."
"Nggak masalah, Chef. Sudah ada saya dan Taufik, Arial juga ikut bantu sebentar tadi." Aji Saka menenangkan Airlangga yang tiba-tiba saja panik mendengar alasannya masih ada di d'Amore.
"Arial?"
"Iya. Tadi dia mampir mengambil seragam yang lupa dia bawa kemarin untuk di cuci, jadi sekalian aku minta dia bantu-bantu sebentar."
"Saya benar-benar minta maaf sama kalian. Saya janji akan mengganti jam kerja kalian dengan ...."
"Nggak perlu, Chef. Saya senang dapat kesempatan belajar lebih banyak. Ternyata pekerjaan seorang kapten chef sangat penuh tekanan, saya jadi paham kenapa Chef Airlangga keras terhadap kami semua." Ini kali pertama Aji Saka mengeluarkan pendapatnya terhadap Airlangga.
"Terima kasih."
"Hmm ... Chef. Saya, Taufik, Arial mau keluar untuk cari makan, Chef Airlangga, 'kan, belum makan, mau ikut dengan kami?" Aji Saka menawarkan, mencoba lebih dekat dengan laki-laki yang menjadi atasannya meski usianya lebih muda dari Aji Saka.
"Apa kalian nggak akan canggung dengan saya?"
"Kalau awal-awal mungkin iya, tetapi kita harus mencoba awalan untuk memulai sebuah terbiasa."
Airlangga mengangguk, ia berdiri dari kursinya, keluar dan menuju wastafel untuk mencuci muka. Awalnya baik Taufik maupun Arial sempat kaget karena ternyata Airlangga menerima ajakan Aji Saka, tetapi mereka mengulas senyum kelewat canggung ketika berjalan bersama.
Beberapa pelayan menatap ke arah mereka, ini adalah kali pertama Airlangga terlihat berjalan bersama orang lain di kawasan d'Amore hotel.
"Jalan bareng Chef Airlangga kayak gini, formasi kita mirip sama BTS, ya." Gama menyeletuk.
"Irungmu kui loh pesek." Aji Saka menoyor kepala yang paling muda di antara mereka.
Airlangga tertawa ketika mendengar balasan Aji Saka pada Gama. "BTS itu apa?"
"Chef Airlangga nggak tahu? Itu loh, Chef. Boyband Korea yang lagi hits di kalangan perempuan, yang lagunya sorry sorry sorry." Gama mempraktikan lagu yang pernah ia dengar.
"Itu Super Junior! BTS itu beda lagi." Arial menggeleng. Empat yang lain tertawa melihat Gama menampilkan cengiran berdosa di hadapan Airlangga.
Mereka menuju alun-alun utara, memarkirkan kendaraan masing-masing agar lebih mudah untuk pulang saat sudah selesai makan. Tempat yang mereka pilih terlalu ramai, karena memang sedang hits di kalangan anak muda dan pelancong dari daerah lain.
"Kita makan soto di sana saja." Aji Saka menunjuk satu tempat soto yang sudah berdiri di sana sejak lama. Airlangga memarkirkan mobilnya agak jauh dari yang lain memarkirkan motor.
"Chef Airlangga besok-besok pakai motor saja, Chef. Biar kita kayak geng motor Dilan." Gama kembali mengusulkan.
"Saya nggak bisa bawa motor." Jawaban Airlangga membuat keempat bawahannya menatap tidak percaya.
"Yang benar, Chef?" Gama tidak percaya. Airlangga mengangguk saja dengan pertanyaan yang dilemparkan Gama, ia lebih tertarik menatap Aji Saka yang duduk di depannya.
"Aji Saka sebenarnya ada hal yang mau saya tanyakan pada kamu. Tapi maaf kalau agak sedikit pribadi untuk kamu."
"Apa, Chef?" tanya Aji Saka. Taufik dan Arial diam-diam penasaran dengan apa yang akan ditanyakan Airlangga pada Aji Saka.
"Kamu sudah menikah, 'kan?"
Aji Saka hampir saja tersedak minumannya, untung saja laki-laki itu pandai mengatur napas sehingga dapat bersikap biasa saja di depan Airlangga. "Iya, Chef? Saya bahkan sudah punya satu anak."
Airlangga terlihat bingung dengan pemilihan kata yang harus ia pilih. Taufik mengode Gama agar tidak bersuara, sepertinya Airlangga tengah dirundung masalah kali ini.
"Ada yang mau Chef Airlangga ceritakan atau minta saran? Mungkin saya dan yang lain punya solusi yang bisa Chef Airlangga ambil." Aji Saka berucap teramat hati-hati, diam-diam ketakutan melingkupi diri kalau-kalau Airlangga tersinggung dengan kata-katanya.
"Menurut kamu kenapa perempuan ingin berpisah dengan laki-laki?"
Arial yang duduk di samping Airlangga menegapkan tubuhnya, sementara Taufik menatap Gama, sekali lagi memeringatkan agar laki-laki itu tidak bersuara.
"Maksud Chef Air?" Aji Saka memastikan.
"Dia tiba-tiba mengatakan kalau dia bosan dengan saya." Airlangga terkekeh, dan itu membuat keempat karyawannya menaruh simpati karena melihat sosok tangguh yang biasa mereka takuti begitu hancur.
"Menurut saya pasti ada pemicunya, Chef. Perempuan berbeda dengan kita, ketika mereka mengatakan A itu berarti mereka ingin B, perempuan itu rumit." Aji Saka mencoba memberanikan diri. "Apa Chef Airlangga ingat pernah berbuat kesalahan?"
"Tidak."
"Atau kalian habis melewati satu peristiwa?"
"Iya ... kami memang melakukannya malam itu, dan kemudian dia memutuskan semuanya keesokan harinya." Tanpa sadar Airlangga menjelaskan peristiwa malam itu.
Gama menatap Arial yang menyeruput es teh manis tanpa ekspresi, seolah cerita Airlangga sudah pernah ia dengar sebelumnya.
"Maaf, Chef. Apa malam itu Chef Airlangga memaksa?" Taufik ikut bersuara.
Airlangga menggeleng. "Dia yang meminta itu semua pada saya."
"Itu berarti dia sengaja melakukan itu untuk meninggalkan sesuatu untuk Chef Airlangga. Apa mungkin itu sesuatu yang penting?" Taufik membuat dugaan. Kini mereka paham apa penyebab kondisi Airlangga.
"Sebetulnya Chef Airlangga melakukan apa?" Gama bertanya polos, rasa penasaran mencuat di kepalanya karena tidak mengerti dengan apa yang Airlangga bicarakan.
"Aku pikir Chef Airlangga harus cari kejelasan tentang ini semua. Jika mau berpisah, minimal Chef Airlangga harus tahu kenapa dia meninggalkan kesan mendalam." Arial menyahut.
"Atau perempuan itu ingin Chef Airlangga membuktikan kesungguhan? Misal dengan melamar? Semua perempuan butuh bukti, 'kan?" Dalam kepala Aji Saka sama sekali tidak terpikirkan apa pun mengenai alasan perempuan yang ia tidak ketahui namanya itu melakukan hal gila pada Airlangga.
"Aku setuju sama Mas Aji. Sepertinya dia menunggu kesungguhan Chef Airlangga." Taufik bersuara. "Kamu bagaimana, Ar?"
"Ha?" Rupanya Arial melamun entah sejak kapan. "Mungkin iya, mungkin juga nggak. Aku pikir nggak ada salahnya Chef Airlangga mencari kejelasannya lebih dulu, kemudian menentukan langkah selanjutnya. Jangan langsung melamar. Bagaimana jika dia menolak?"
"Saya nggak tahu."
"Jangan terlalu berharap lebih, Chef. Jangan pernah menganggap orang yang kita cintai adalah sebuah reward yang harus kita menangkan, terkadang berada di dekat dia juga sudah cukup, mungkin awalnya sakit, tapi kelamaan akan terbiasa."
"Seperti kamu?" Taufik menyindir.
"Bukannya kamu juga?" Arial balas menyindir. Ia tertawa pelan sebelum kembali menyedot teh dari sedotan yang ada di gelasnya.
"Bagaimana kalau libur nanti Chef Airlangga hampiri dia, kalau perlu datang ke rumah orang tuanya langsung untuk meminta restu. Terkadang restu orang tua bisa menjadi senjata kita." Aji Saka maju, mencondongkan badannya untuk menepuk pundak Airlangga.
"Apa itu bisa berhasil?" Airlangga terdengar ragu.
"Kita coba dulu, Chef! Saya yakin nggak ada orang yang akan nolak punya menantu seperti Chef Airlangga. Ganteng, keren, uangnya banyak, jabatannya tinggi, lulusan luar negeri." Gama mengacungkan jempolnya secara mantap. "Jangan kayak Mas Taufik sama Mas Arial, suka sama cewek tapi ceweknya suka sama orang lain. Kasian."
"Yeee ...." Taufik memasukkan gulungan tisu pada mulut Gama.
"Tapi aku jadi penasaran seperti apa perempuan yang bisa menaklukan hati Chef Airlangga. Pasti perempuan yang luar biasa."
Airlangga terkekeh mendengar monolog yang disampaikan Gama. Dari kata 'seperti apa perempuan yang diinginkan' Airlangga bahkan masih belum dapat menjawab Adriana perempuan seperti apa, yang ia tahu hanyalah hatinya jatuh pada perempuan seperti Adriana.
Seperti Adriana.
Ya ... mungkin itulah jawaban untuk pertanyaan Gama dan juga Ayunda dulu. Seperti Adriana.
ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴘᴇʀɴᴀʜ ᴅɪᴛᴀɴʏᴀ ᴛᴇɴᴛᴀɴɢ ᴛɪᴘᴇ ɪᴅᴇᴀʟ? ᴋᴀʟᴀᴜ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ɴɢɢᴀᴋ ᴘᴜɴʏᴀ ᴛɪᴘᴇ ɪᴅᴇᴀʟ, ᴅɪᴀ ᴄᴜᴍᴀ ᴛᴀʜᴜ ʏᴀɴɢ 'sᴇᴘᴇʀᴛɪ ᴀᴅʀɪᴀɴᴀ'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro