32
Selama mendengarkan cerita tentang petualangan Vladimir untuk sampai hingga di depannya, Ruby hanya diam. Semua cerita itu masih terdengar tidak masuk akal baginya, tetapi seluruh penjelasan Vladimir sama sekali tidak bersinggungan dengan buku catatan yang pernah ditulis olehnya semasa menjadi Putri.
Masalahnya, ingatan Ruby masih belum kembali sepenuhnya. Ia hanya tahu tentang Kerajaan Ilusi lewat catatannya dan cerita dari Vladimir.
Ternyata, Kerajaan Ilusi jauh lebih kacau dibanding dugaannya.
"Apa yang akan terjadi jika aku tidak tahu tentang realita?"
"Anda akan terjebak di dalam ilusi ini, selamanya. Anda akan gugur di Realita," jawab Vladimir.
Sebagaimana nasib Putri Carnelia.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Ruby.
"Entahlah, karena juga terjebak di dalam ilusi Tuan Putri, mungkin saya juga akan mati bersama Tuan Putri?" Vladimir malah menjawab tanpa tekanan, seolah memang telah siap mati begitu ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ilusi.
Ruby yang merasa tertekan, memilih mengalihkan topik. "Jadi, setelah kejadian itu, kau sampai di ruang rahasia?"
"Ilusi Anda sempat melakukan penolakan, menyesatkan saya di dalam kegelapan, sampai Anda akhirnya membukakan pintu itu," jelas Vladimir.
Ruby jadi merasa sedikit bersalah. Dulu, ia pikir ketika perbincangan singkat dengan Vladimir mengenai ketakutan di kegelapan, Ruby pikir itu hal yang wajar. Setelah dipikir kembali, bahkan jika itu benar, trauma itu sangat wajar mengingat Vladimir hampir mengalami kekalahan setelah terjebak dalam ilusi yang penuh dengan kegelapan yang dibuat oleh Pangeran Brick.
"Apakah kau takut, Vlade?"
Vladimir menjawab dengan tenang, "Tersesat di dalam ilusi Anda tidak semenakutkan itu, Tuan Putri."
"Mengapa begitu?"
"Karena saya melihat Anda di dalam kegelapan, dan Anda bercahaya," jelas Vladimir, menceritakan pertemuannya dengan Ruby di kegelapan.
.
.
.
"Tuan Putri Ruby?"
Tidak sulit menemukan keberadaannya, sebab di antara kegelapan, hanya gadis itu yang mengeluarkan cahaya, seolah ia adalah poros kehidupan di dalam kegelapan. Meskipun luka di perutnya semakin menyakitkan dan Vladimir tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya, Vladimir melangkah pelan untuk mendekat.
Alih-alih bersembunyi sebagaimana Pangeran Brick, Ruby memilih menjadi objek paling terang, memancing perhatian Vladimir.
Ruby membalikkan kepala dengan kilauan membinar pada matanya. Itu pertama kalinya Vladimir melihat Ruby tampak antusias seperti itu.
Ekspresi bahagianya pudar digantikan dengan kekecewaan. "Oh, kupikir Ayah," katanya.
Kening Vladimir mengerut, sebelum akhirnya ia sadar bahwa gadis bermata merah itu tampak sedikit lebih muda daripada yang diingatnya. "Anda menunggu Raja Scarletton di sini?" tanya Vladimir.
Ruby yang tadinya sudah tampak kecewa, kini kembali tersenyum ceria. "Kau mengenal ayahku?"
Vladimir tidak tahu mengapa Ruby membuat ilusi seperti ini, tetapi jelas menunggu sosok Raja Ilusi bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan Ruby. Mereka tidak perlu membicarakannya dengan rinci, tetapi Vladimir menyadari kebencian Ruby terhadap Raja Scarletton juga sama seperti kebenciannya terhadap Raja Lakeswara.
Lantas, mengapa Ruby menciptakan ilusi dimana ia menunggu ayahnya?
"Berapa umur Anda, Tuan Putri?"
"Sepuluh."
Ruby terjebak di dalam ilusi masa kecilnya, begitu pikir Vladimir pada awalnya. Jika ilusi juga memanipulasi pikirannya, maka Ruby yang ada di depannya saat ini tidak akan mengingatnya sama sekali.
Vladimir berjongkok di depan Ruby agar jarak pandangan mereka tidak terlalu jauh. Ia ingin memastikan bahwa Ruby memang mengetahui kenyataan, tanpa ada kebohongan.
Dan yang pasti, Ruby harus tahu realitanya, agar dia tidak terjebak dalam ilusinya selamanya.
"Kau punya mata perak yang indah!" puji Ruby.
Vladimir hanya menatapnya datar, tidak menjawab pujian itu dan memilih untuk mengungkapkan realita sesegera mungkin. Lagipula, yang ia hadapi saat ini hanyalah bagian dari ilusi yang dibuat Ruby, bukan Ruby yang sebenarnya. Sebaiknya mereka menuntaskan pembicaraan mereka dengan cepat, karena keadaan di luar ilusi sedang tidak baik-baik saja.
"Anda tidak membenci Raja Scarletton, Tuan Putri?"
Kening Ruby mengerut. "Mengapa?"
"Bukankah dia ... meninggalkanmu sendirian di sini?"
"Tidak, ayahku tidak meninggalkanku! Dia ... hanya sedang sibuk!"
"Lalu, mengapa Anda bisa berada di sini, sendirian?" tanya Vladimir.
Ruby kecil tersadar dengan hal yang tidak ia pikirkan sebelumnya, lalu menatap sekelilingnya dengan cemas. Hanya ada kegelapan di sana. Ia tidak ingat apapun yang ia lalui sebelum tiba di kegelapan, semua ingatannya menghilang, membuatnya gelisah.
Ia menatap Vladimir dengan cemas. "Ini ... dimana?"
"Ceritanya agak panjang, tapi percayalah pada saya. Saya akan membantu Anda keluar dari tempat ini." Vladimir mengulurkan tangannya kepada Ruby.
Namun, Ruby hanya diam, tampak ragu dengan Vladimir. Ruby akan terus meragukannya, karena bahkan Ruby yang asli juga sepertinya tidak pernah mempercayainya.
"Saya juga sama seperti Anda, Tuan Putri. Saya juga seorang keturunan kerajaan yang terbuang. Nasib kita—"
Belum lagi Vladimir menyelesaikan kalimatnya, ia membatu melihat mata Ruby telah berkaca-kaca, hampir menangis. Namun, Ruby terus mengelak, menolak untuk mempercayai kenyataan.
"Aku tidak terbuang! Aku hanya ... hanya ..., tidak diperhatikan."
Vladimir tidak pernah tahu cara membujuk orang lain yang baik, tetapi ia tidak sengaja memikirkan cara termudah yang dilakukan oleh Pangeran Brick terhadapnya, menekankan bahwa mereka berdua senasib, seperjuangan dan dalam keadaan yang sama. Dengan begitu, mereka bisa berjuang bersama. Vladimir pikir begitu saja sudah cukup ternyata pemikirannya salah.
Sebenarnya, Vladimir tidak tega mengungkapkan hal yang lebih kejam daripada ini, tapi jika itu adalah satu-satunya cara untuk mengeluarkan Ruby dari ilusi ini, dia harus lebih tegas.
"Apa bedanya?" tanya Vladimir.
Bukan jawaban yang didapatkan Vladimir, tetapi sosok Ruby yang akhirnya menitikkan air mata. Ruby menatapnya dengan tatapan yang amat terluka.
Vladimir langsung merasa bersalah di detik itu juga.
"Tunggu—"
Cahaya yang menyinari Ruby mulai meredup, lalu semakin memudar dan menghilang ditelan kegelapan.
Vladimir sadar, mengungkapkan realita tidak semudah yang dipikirkannya. Ia tidak bisa mengungkapkannya secara langsung, atau secara gamblang. Jika Ruby tidak ingin menerimanya, Vladimir akan tersesat dalam kegelapan lagi.
Ada satu hal lain yang juga ia sadari. Yang Vladimir hadapi bukanlah ilusi Ruby belaka, tapi memang Ruby itu sendiri. Ia bersembunyi, melindungi dirinya dari segala bentuk realita yang menyakitkan ... itulah isi dunia ilusi ini.
Sedikit mendesis menahan kesakitan, Vladimir kembali melanjutkan perjalanan sembari menekan perutnya untuk mengurangi rasa sakit yang menusuk. Nyatanya, rasa sakit itu semakin terasa, karena Vladimir baru saja melukai hati Ruby, dan sepertinya keberadaannya tidak lagi diterima di dalam ilusi.
Vladimir terus berjalan di dalam kegelapan, entah berapa lama.
Setidaknya, meskipun berada di kegelapan panjang yang tak berujung, dia ada di dalam ilusi Ruby, bukan ilusi Pangeran Brick atau Raja Scarletton. Kegelapan, di dalam ilusi Ruby tidak semenakutkan itu.
Perlahan, napasnya mulai terasa berat.
Vladimir merasa telah sampai di batas maksimalnya. Ia sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan. Kelopak matanya memberat, sebelum akhirnya ia tidak sengaja melihat sosok Ruby yang memegang lampu minyak di tangannya.
Ruby hanya diam, menatap Vladimir dari kejauhan. Ia tidak bergerak. Sebaliknya, Vladimir merasa Ruby seperti menunggunya, membuatnya akhirnya memaksakan diri untuk mendekati Ruby untuk kedua kalinya.
"Tuan Putri," panggil Vladimir, tetapi panggilan itu tetap membuat Ruby diam bergeming, tak bergerak dari posisinya. "Ugh..." Vladimir merintih kesakitan karena sakit di perutnya terasa semakin menyakitkan begitu jarak mereka sudah semakin mendekat.
Mungkin Vladimir menyakiti Ruby dengan kata-katanya tadi, karena itu Ruby murka terhadapnya.
"Anda ... boleh marah kepada saya ..., Tuan Putri. Tapi bisakah ..., Anda marah setelah kita keluar, dari ilusi ini?" tanya Vladimir bernapas dengan patah-patah, berharap itu dapat menghilangkan rasa sakit itu walau sejenak.
Ruby masih tak menjawab, tetapi manik merah itu menatap ke arah Vladimir dengan tatapan kosong.
"Bukankah Anda ... ingin hidup normal?" Vladimir menekan perutnya semakin dalam, hingga akhirnya terjatuh di depan Ruby. Gadis itu masih menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa kekhawatiran. "Ini bukan kehidupan yang Anda inginkan."
Semuanya mulai menggelap secara perlahan. Lampu minyak yang dipegang oleh Ruby juga perlahan mulai meredup, meredup, hingga akhirnya padam bersama kegelapan.
Ketika Vladimir terbangun, ia sudah berada di dalam ruang rahasia bersama dengan lampu minyak dan luka yang sudah jauh lebih membaik. Ruby yang menyelamatkannya, meskipun gadis itu sama sekali tidak memiliki ingatan apapun tentangnya. Kali ini, Vladimir memilih cara yang lebih aman untuk mengungkapkan realita, hingga tibalah mereka di detik ini.
Ruby yang telah mengetahui seluruh cerita lengkap, mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi terhadapnya. Seluruh hal yang dilihatnya saat ini tidak lebih dari sekadar angan dan ilusinya.
"Saya pasti sudah mati, jika Anda tidak punya keinginan untuk menyelamatkan saya. Terima kasih, Tuan Putri," ungkap Vladimir dengan tulus.
Di dalam ilusi Ruby, Ruby adalah penciptanya, dan seluruh hal yang terjadi di dalam alam semesta ilusinya, semuanya ada di bawah kendalinya. Jika Ruby menginginkan sesuatu, segalanya dapat terwujud dengan mudah.
Ruby menggelengkan kepala. "Kau menyelamatkanku ketika kebakaran di Labirin Bunga. Kau juga membawa realita kepadaku, agar aku bisa keluar dari ilusi ini. Kau menyelamatkanku dua kali, seharusnya aku yang berterima kasih."
Vladimir tersenyum tipis, sedikit bercanda, "Mengapa kita tidak akur seperti ini dari awal? Mungkin semuanya akan lebih mudah."
Itu benar-benar terdengar bagai sindiran keras untuk Ruby, meskipun Vladimir sendiri juga tidak membuka hatinya untuk mempercayai Ruby sepenuhnya.
"Ini." Vladimir akhirnya menyerahkan kalung perak milik Suri kepadanya. "Semuanya adalah realita yang bisa saya sampaikan."
Ruby menerima kalung perak itu dengan perasaan campur aduk. Tepat ketika ia menyentuh kalung perak itulah, seluruh ingatannya tentang Kerajaan Ilusi, tentang dirinya sendiri, tentang realita, semuanya kembali kepadanya. Bahwa semua hal yang dialaminya hanyalah ilusi buatannya. Rasanya menyakitkan, bahwa ia harus melepaskan semuanya, hal yang bahkan belum pernah dialaminya. Meskipun sangat berat dan sulit untuk diterima, pada akhirnya Ruby memutuskan untuk menerimanya dengan lapang dada.
Kemelekatannya pada keinginannya untuk hidup normal ..., membawanya pada jebakan indah yang sulit untuk dilepaskan, seluruh pengalaman mengesankan ini.
Sudah waktunya bagi Ruby untuk bangun dan menerima kenyataannya.
Suri, orang yang paling mengasihinya selama ia tumbuh besar di Kerajaan Ilusi ..., dia telah pergi. Ruby harus melepaskannya, Ruby harus menerima kenyataan.
"Aku ingat ..., ketika kembali ke menara, aku menemukan tubuh terbakar yang menggunakan kalung ini," gumam Ruby. Itu adalah ingatan terakhirnya, karena setelah itu Ruby sudah tidak mengingat apapun. "Suri ...."
Ruby masih bersedih, tetapi ia tidak boleh berlarut-larut. Kerajaan Ilusi telah di ambang kehancuran ... dan perasaan Ruby campur aduk tentang hal itu. Itu bukan tempat yang ia rindukan, tetapi juga bukan tempat yang seharusnya ditemukan oleh realita.
"Jika aku sudah menerima kenyataan, apakah kita bisa kembali ke realita?" tanya Ruby.
"Mungkin," jawab Vladimir agak ragu. "Tapi begitu Tuan Putri kembali, ada banyak hal yang harus dihadapi. Pangeran Brick ..., pasukan Kerajaan Kilau dan Raja Lakeswara."
"Jadi, aku harus melawan semuanya?"
"Saya berpihak dengan Anda, jangan khawatir." Vladimir menenangkannya.
Ruby sedikit lega mendengarnya. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Jika hari sudah pagi, saya bisa melindungi Tuan Putri dengan kekuatan kilau." Vladimir tampak berpikir keras, tetapi ia juga bingung bagaimana caranya ia mengetahui bahwa pagi telah datang.
Ruby memejamkan matanya sejenak, mencoba mencari ide lain. Nyatanya, ia bisa melihat sekilas pemandangan di realita. Sudah ada sedikit cahaya merah yang muncul di langit. Ada beberapa prajurit yang telah menunggu di luar Kerajaan Ilusi—Prajurit Kilau. Hanya pemandangan di luar kerajaan yang bisa ia lihat. Entah apa yang sedang terjadi di dalam Kerajaan Kilau itu sendiri.
"Matahari akan terbit," gumam Ruby.
"Kalau begitu kita harus bersiap-siap," jawab Vladimir. "Anda sudah siap?"
Siap atau tidak, itu hal yang harus mereka hadapi.
Ruby memberikan anggukan.
Mereka kini hanya ditemani keheningan. Vladimir mencoba menerka apa yang terjadi di Realita saat ini; apakah Prajurit Kilau kalah? Apakah Pangeran Brick yang kalah? Semua itu tidak tertebak.
"Sejujurnya, masih ada sesuatu yang terasa mengganjal," ucap Vladimir.
"Apa itu?"
"Jika Anda sudah terjebak di dalam ilusi ketika kudeta berlangsung, lalu siapa yang membuat ilusi dan menyelamatkan saya dari Pangeran Brick?" tanya Vladimir.
Jelas, itu bukan hal yang bisa Ruby jawab.
"Mungkin ada saudariku yang masih hidup?" Ruby menjawab dengan ragu.
Sementara itu, perkataan Pangeran Crimson tentang keturunan ilusi yang tersisa, terus terngiang-ngiang dalam pikiran; hanya mereka yang tersisa. Vladimir tidak tahu bagaimana nasib Pangeran Crimson saat ini, tetapi Vladimir akan mencoba mengabulkan permintaan terakhir pangeran itu untuk melindungi Ruby dari Pangeran Brick.
Di detik-detik terakhirnya di dunia ilusinya, Ruby meratapi langit yang cerah. Burung-burung yang lewat berkicau riang, seolah kerusuhan yang terjadi di luar sana adalah khayalan terburuknya. Kehangatan cahaya matahari di sana, semuanya hanya ada di dalam angan yang diciptakannya.
Namun, Ruby tahu dari apapun, dia tidak bisa menciptakan ilusi itu sendiri. Semua gambaran ilusi di depannya adalah keinginannya yang secara kebetulan tergambarkan dengan begitu jelas di dalam buku yang dibacanya ketika ia berada di dalam labirin bunga sebelum insiden kebakaran.
Ruby memejamkan matanya, siap melepaskan segala hal di tempat ini.
"Matahari telah terbit." Ruby mengucapkan hal itu setelah beberapa lama berlarut-larut dalam pemikirannya.
Vladimir mengulurkan tangannya ke arah Ruby. "Ayo, Tuan Putri."
Ruby mempersiapkan dirinya lebih dari apapun. Gadis bermanik merah itu menerima uluran tangan itu.
"Ayo, Vlade."
Ruby tersadar dari ilusinya, dan bangun untuk menghadapi realita.
***TBC***
Kamis, 30 Mei 2024
Cindyana's Note
2000 kata. CAPE BANGET NGEDIT CHAPTER INI!
Prediksiku, kayaknya tinggal 3 part sih paling banyak.
Part 35 tamat bisa yuk bisa!
Secara garis besar cerita ini memang sudah hampir selesai. Hanya tinggal resolusinya aja. Semoga aku eksekusinya nggak terlalu kepanjangan dan aku bisa menyelesaikan cerita ini semantap yang kupikirkan. Amiiiin.
Terima kasih kepada pembaca-ku yang rajin terror cerita ini. Kalian yang menggerakkan jariku /eh.
See you soon!
Cindyana H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro