18
Ruby tidak tahu berapa lama dirinya menunggu ingatannya kembali. Semakin dirinya berusaha mengingat, pikirannya semakin mengontrol ketakutannya.
Dalam ingatan Ruby, wajah mereka berdua menjadi buram.
Ruby bisa mengingat perawakan mereka dari belakang, atau dari kejauhan, tapi setiap ia tidak bisa mengingat detail wajah mereka. Padahal, semua kenangan dan kehangatan yang ia rasakan selalu ada di dalam hatinya. Tapi ..., mengapa?
"Mengapa aku bisa lupa?" Ruby berusaha bertanya dengan pelan, tetapi suaranya tetap saja gemetaran tidak percaya.
Apakah ini risiko dari penggunaan kekuatan ilusi yang terlalu berlebihan? Jika iya, Ruby akan segera berhenti menggunakan kekuatannya, lalu mencari kedua orangtuanya dengan cepat. Ruby harus bertemu kembali dengan mereka, segera. Ia tidak ingin melupakan mereka lebih lama.
Ia hanya butuh jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi fakta bahwa ia juga tidak tahu dimana keberadaan kedua orangtuanya, membuatnya merasa seperti tersesat tanpa arah. Ruby hanya takut kehilangan mereka.
Ruby hanya menyesali satu hal; ia terlalu sibuk dengan banyak hal yang bukan urusannya, membuatnya tidak memiliki waktu untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan kedua orangtuanya.
Gadis itu punya ketakutan sendiri tentang ini. Apakah mungkin ... ia mulai kehilangan ingatan tentang kedua orangtuanya? Wajah, kenangan, segalanya? Apakah akan ada waktunya dimana ia bahkan tidak ingat dengan apapun?
Bagaimana semua ini bisa bermula?
Tak butuh waktu terlalu lama bagi Ruby untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang dicarinya.
Benar juga, semuanya bermula sejak ia menemukan pintu rahasia itu.
"Tuan Putri, saya tahu ini memang sulit untuk diterima, tapi—"
"Apa semuanya akan kembali seperti semula jika pintu rahasia itu tidak pernah ada?" tanya Ruby dengan suara pelan.
Ia tahu bahwa kenyataannya, pintu itu memang ada. Namun, andai saja, seandainya saja ia tidak pernah menemukan pintu itu, apakah semuanya bisa kembali seperti sedia kala? Jika ia mengharapkan begitu, apakah mungkin kekuatan ilusinya juga bisa mengabulkan keinginannya? Untuk menghilangkan semua ini.
Apakah semuanya bisa kembali seperti sedia kala?
"Jika aku tidak memiliki kekuatan ini, apakah aku bisa tetap melanjutkan hidupku dengan normal di sini? Apakah itu bisa terjadi?"
Vladimir hanya diam atas pertanyaan bertubi-tubi dari Ruby, tetapi gadis itu tidak bisa menunggu lebih lama.
"Jawab aku, Vlade. Kumohon."
"Tuan Putri ..., fakta bahwa Anda memiliki Kekuatan Ilusi dan bahwa Anda berasal dari Kerajaan Ilusi adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Saya mengerti perasaan Anda, tetapi hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kita tidak bisa memilih harus terlahir dimana."
"Tapi, aku tidak ingat apapun tentang Kerajaan Ilusi. Dan, dan aku tahu bahwa aku menghabiskan masa kecilku di sini," sahut Ruby, masih berusaha meyakinkan dirinya dan juga Vladimir, bahwa tempat ini memang adalah tempat asalnya.
Tempat ini adalah tempat dimana ia seharusnya berada.
Apapun yang ia yakini, semuanya akan menjadi nyata, kan?
"Tuan Putri." Suara Vladimir merendah.
Ruby tidak tahu apakah pemuda itu terlalu lelah menghadapinya, atau karena dirinya terus-terusan mengelak dari segala hal yang telah disampaikan Vladimir, di saat dirinyalah yang meminta Vladimir menceritakan kenyataannya.
Jika ia meminta Vladimir berhenti sekarang, kenyataan tetap tidak akan berubah. Ia hanya akan menunda dan menjeda waktu, dan Ruby tahu, ilusi berulang hanya akan terus menjauhkannya dari kenyataan yang ada.
Karena itu, gadis itu memilih menghindari tatapan mata Vladimir yang tegas.
"Tuan Putri, lihat saya," pinta Vladimir.
Ruby masih keras kepala membantah, menunduk ke lantai dan memperhatikan sepatu kulit yang dikenakannya. Itu sepatu buatan ibunya yang saat ini sedang menjadi tren di pusat kota dagang di Kerajaan Kilau. Mungkin lebih baik Ruby memelototi sepatu kulitnya daripada memperlihatkan bagaimana raut wajahnya kepada Vladimir.
"Ruby."
Panggilan itu berhasil membuat Ruby mengangkat kepalanya.
"Seberapa banyak ingatan masa kecil yang Anda ingat?"
Dari cara Vladimir bertanya, Ruby sadar Vladimir tidak benar-benar penasaran dengan jawabannya. Itu pertanyaan jebakan, sama seperti saat ia mempertanyakan apakah Ruby masih mengingat wajah kedua orangtuanya.
Dan lagi, tak banyak yang Ruby ingat.
Ruby tidak menjawab, tetapi ia ingat tentang kenangan ketika ia akan berulangtahun dan ayahnya mempertanyakan tentang keinginannya. Ruby sendiri juga sebenarnya tidak tahu alasan pasti mengapa ia pernah menginginkan sebuah kamar yang memiliki jalur rahasia. Yang jelas, setelah mengalami semua ini, andai waktu bisa kembali berputar, ia tidak akan mengucapkan keinginan bodoh itu.
Ia ingat dengan kasih sayang tanpa batas yang selalu diberikan oleh kedua ayah dan ibunya tanpa syarat. Ruby merindukan kehangatan dan perasaan tenang itu, sangat.
Gadis bermata merah itu menyadari beberapa hal yang terjadi secara tidak sengaja sedaritadi. Ia terus berandai-andai, berangan-angan dan mengharapkan dapat membatalkan segala hal yang terjadi. Namun, ilusi seolah tak berpihak kepadanya. Ruby masih ada dalam situasi yang sama persis, tanpa mampu mengubah apapun.
Andai saja. Seandainya saja, kedua orangtuanya ada di sini. Ruby ingin bertemu dengan mereka.
Baru saja Ruby berpikir demikian, keadaan di dalam kamarnya berubah perlahan bersamaan ketika ia berkedip. Ruby kini dalam posisi berdiri di depan Vladimir, di dalam hutan terlarang. Keadaan di dalam hutan agak gelap, tetapi penglihatannya terbantu oleh cahaya rembulan dan bintang-bintang yang menyinari mereka.
"...Mengapa kita ada di sini lagi?" Seharusnya Ruby tidak mempertanyakan itu, karena Vladimir juga tidak mungkin tahu jawabannya.
Di luar dugaan, pemuda itu menunjuk satu arah, membuat pandangan Ruby langsung fokus ke arah yang ditunjuknya. Di sana, ia melihat kedua orangtuanya berdiri di belakang sebuah pohon, tampak berusaha memancing perhatian tanpa suara agar Ruby bisa menyadari keberadaan mereka.
Tanpa pikir panjang, ia berlari menghampiri kedua orangtuanya, mendekap mereka seerat mungkin. Mereka berdua juga membalas pelukan Ruby sama eratnya. Perasaan Ruby kembali menghangat. Rasa nyaman yang dirasakannya, membuatnya sadar bahwa hal yang selama ini membuatnya merasa nyaman bukanlah rumah itu, tetapi kedua orangtuanya.
"Ayah dan Ibu, kemana saja kalian? Aku mencari kalian kemana-mana."
Ruby tidak ingin tak mengenali dua orang yang paling berharga di hidupnya, lagi. Karena itu, ia melepaskan pelukan mereka agar bisa melihat wajah mereka lebih lama, dengan harapan ia akan terus mengingat, meskipun sedang dalam pengaruh ilusi.
Senyuman Ruby menghilang sepenuhnya, ketika ia tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Sama seperti yang ada dalam ingatannya, wajah mereka berdua buram.
Wajah mereka tak terlihat.
"Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja?"
Ayahnya berbicara lebih dulu. Ruby masih bisa mendengarkan suaranya, tetapi tetap saja wajahnya buram. Meskipun begitu, Ruby tahu bahwa kehangatan itu memang nyata. Ruby tidak takut dengan wujud itu, hanya takut bahwa ini akan menjadi momen terakhir yang akan diingatnya tentang ibunya.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Ruby cemas, menyadari pergelangan tangan Ayah dan ibunya sedikit lebam.
"Mereka sempat memborgol kami, tapi kami tidak apa-apa. Borgol itu bahkan bisa dibuka hanya dengan jarum sol," timpal ibunya agar Ruby tidak terlalu khawatir.
Tetap saja, meskipun Ruby tidak bisa melihat wajah mereka, Ruby yakin mereka sedang tersenyum, memberikannya harapan dan keyakinan bahwa semuanya memang baik-baik saja tanpa ada masalah apapun.
"Mengapa mereka melakukan ini?" tanya Ruby.
Ibunya sempat menolehkan kepalanya ke arah ayahnya, sebelum akhirnya menggenggam tangan Ruby dengan kuat. Ayahnya juga langsung merangkul bahunya, memberikan tepukan ringan yang sedikit menghibur.
"Mereka ingin menangkapmu, mereka tahu bahwa kau berasal dari Kerajaan Ilusi," ucap ayahnya.
Dengan pernyataan sesingkat itu, seluruh hal yang Ruby pikir aneh, menjadi masuk akal seketika. Bahkan kedua orangtuanya juga tahu soal ini.
Ruby mendengarkan cerita singkat tentang bagaimana mereka bertiga bisa dipertemukan. Ia sudah pernah mendengarkan cerita itu berulang kali dari warga desa yang mencemoohnya. Ayahnya sedang menebang kayu di hutan ini, lalu menemukan seorang bayi bermata merah. Terlepas dari betapa mengerikannya hal itu, mereka merawatnya penuh cinta selama empat belas tahun.
"Kau adalah anugerah indah yang dititipkan Dewa dan Dewi di setiap doa kami. Meskipun kita tidak terikat oleh darah dan daging, kau tetap putri kami," ucap Ayah.
Semua dugaannya selama ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Namun, kasih sayang dan perhatian mereka, semuanya juga nyata.
"Pergilah, Ruby. Tempat ini sudah tidak aman. Pergilah kemanapun yang bisa kau jelajahi. Jangan sampai tertangkap oleh orang-orang yang berniat jahat kepadamu. Ayah yakin, putri Ayah yang kuat dan pemberani pasti bisa melakukannya."
Tenggorokan Ruby terasa menyempit. Pernapasannya menjadi sesak. Tanpa sadar kedua area matanya memanas, lalu air matanya keluar tanpa bisa dikontrolnya.
"Aku ... harus berpisah dengan Ayah dan Ibu?"
"Banyak orang yang mengenal kami. Lukisan kami juga sudah disebar kemana-mana. Kami menjadi buronan dan akan berbahaya jika kau tertangkap karena kami," jawab ayahnya.
"Tapi, aku tidak ingin berpisah. Aku tidak bisa tanpa Ayah dan Ibu. Aku tidak ingin sendirian."
Ibunya menjawab, "Kau pasti bisa. Perpisahan antara anak dan orangtua adalah hal yang pasti akan terjadi. Mungkin ini memang agak cepat, tapi percayalah, bagi kami kenangan bersamamu akan menjadi hal terbaik yang akan terus kami ingat selamanya."
Masalahnya, kini kenangan yang sedang mereka bicarakan terasa semakin buram dan sekilas, seolah semuanya akan melebur hilang begitu saja begitu Ruby tak lagi melihat mereka.
"Mengapa Ibu berbicara seolah ... kita tidak akan berjumpa lagi?" tanya Ruby sendu.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Ibu hanya tidak ingin berbohong dan mengingkari janji." Ibunya mengusap air mata di pipinya. "Kami akan terus mendoakan keselamatan dan kebahagiaanmu. Dan semoga saja suatu hari kita bisa dipertemukan kembali."
Mereka bertiga berpelukan kembali. Ruby ingin selamanya berada dalam dekapan itu, tetapi waktu tak memihak mereka. Waktu perpisahan akan segera tiba.
"Kami akan selalu merindukanmu, Ruby."
"Aku juga, akan selalu merindukan Ayah dan Ibu."
Di detik yang sama begitu Ruby menjawab, seluruh pemandangan gelap di sekitarnya hancur lebur menjadi pecahan kecil yang menguap di udara. Pecahan itu kemudian berubah menjadi terang dan menyatu kembali menjadi langit biru.
Hanya dalam waktu sesingkat itu, Ruby sudah berdiri di hamparan permadani rumput tebal dengan angin kencang beraroma rumput. Mereka berada di antah berantah, tempat yang asing, tetapi seharusnya aman karena ia tidak melihat siapapun kecuali Vladimir masih ada di sisinya, tak menghilang seperti yang lainnya.
Pemuda bermata perak itu kemudian berjalan mendekatinya, menyerahkan sebuah buku yang familier. Buku tentang arah mata angin yang juga merupakan salah satu pemicu sejak ia diperkenalkan dengan semua keanehan ini.
"Kupikir buku ini sudah terbakar." Ruby mengalihkan topik sembari mengusap wajahnya yang masih sembab.
"Bacalah pesan rahasia di dalam buku setelah Anda siap," ucap Vladimir.
Hanya dari pesan singkat Vladimir, Ruby tahu bahwa isi dari pesan rahasia tentang Kerajaan Ilusi adalah sesuatu yang serius. Ruby harus bersiap-siap dengan apapun kenyataan yang akan dihadapinya.
Ruby sudah mempersiapkan mentalnya. Ia menerima buku itu dan duduk di atas rerumputan yang empuk. Setelah mencari posisi ternyaman untuk menikmati bacaan panjangnya, ia mulai membuka halaman pertama.
Dan ternyata, isi buku itu berubah sepenuhnya. Ada bahasa asing yang familier, bahasa yang tiba-tiba saja bisa Ruby kuasai. Ia bisa membaca Bahasa Ilusi dengan baik dan jelas. Isinya cukup panjang dan akan mungkin akan memakan banyak waktu.
Ia sudah terbiasa membaca isi buku yang tebal, tetapi setidaknya ada satu hal yang harus ia konfirmasi sebelum mulai membacanya.
Sekalian, ia merasa harus bersiap-siap.
"Vlade, apa yang mungkin akan terjadi setelah aku selesai membacanya?" tanya Ruby.
Sempat ada jeda keheningan selama beberapa saat, sebelum akhirnya pemuda itu memilih untuk duduk di sebelahnya.
"Tuan Putri akan terbangun dari semua ilusi yang Anda ciptakan selama ini."
Terbangun dari semua ilusi yang Ruby ciptakan.
Ilusinya selama ini ....
***TBC***
Sabtu, 9 Maret 2024
Cindyana's Note
HAYO HAYO HAYOOOO YEAY, SIAPA YANG TEBAKANNYA BENAR, HAYOOO?
Tapi emang sudah sangat bisa diprediksikan nggak sih? I mean, aku bahkan tidak menyembunyikan rahasia itu dengan sangat tertutup. Petunjuknya juga termasuk sangat terang-terangan jika dibandingkan dengan clue ceritaku yang lain. Iya ga sih?
Chapter ini berisi 1700-an kata. Dan di next chapter, Ruby akan mulai membaca isi dari pesan rahasia yang selama ini tidak bisa dia baca. Aku nyiapin hampir 2000-an kata hanya buat bikin backstory ini. CUAPEK BANGET.
Aku menerapkan motto "GA UPDATE GA TIDUR" buat chapter ini. Ini diupdate jam 3, padahal nanti aku harus bangun pagi buat ke pelabuhan :D Rencananya aku bakal pergi beberapa hari tanpa menyentuh ETHEREAL, jadi aku ngerasa harus update hari ini.
DEMI MEMENUHI JANJI MENAMATKAN ETHEREAL BULAN INI!!!!!!
Waktuku sekarang hanya ada dua jam, jadi aku gaakan nulis note banyak-banyak. AKU hanya berharap kalian puas dengan chap ini dan mungkin agak sedikit penasaran dengan chapter yang akan datang hehehe
See you soon! CAO
Sleepy whale,
Cindyana H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro