13
"Ruby memberikanku ini."
Ibu Ruby memberikan secarik kertas yang diberikan anak gadisnya tadi siang kepada suaminya. Ayah Ruby mengerutkan kening sembari menerima kertas yang berisi tulisan aksara asing itu dengan heran.
"Darimana Ruby mendapatkan ini?"
"...Katanya dari buku sebelumnya," jelas Ibu Ruby.
Dalam keremangan malam dan hanya lampu minyak yang membatasi cahaya yang ada, kertas itu meremuk dalam tangan ayahnya. Kerutan kening tak dapat disembunyikan dari wajah sang penebang kayu. Dengan berat hati, ia menghela napas dan membuat keputusan dengan tidak rela.
"Sepertinya sudah waktunya Ruby tahu tentang ini."
Ibu Ruby menggeleng tidak setuju, "Tidak, jangan. Ini terlalu cepat."
"Cepat atau lambat, Ruby pasti akan tahu. Ini hanya masalah waktu," ucap Ayah Ruby.
"Aku tahu. Maka dari itu, biarkanlah terus seperti ini. Biarkan Ruby bersama kita lebih lama lagi."
"Semua keputusan ada di tangan Ruby, kita tidak bisa menghentikannya."
Ibu Ruby menangis dan ayahnya berusaha mencari cara untuk menghiburnya.
Ruby mendengarkan semua percakapan itu dalam diam. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, menahan diri untuk tidak keluar dari kamarnya dan menginterogasi kedua orangtuanya. Ruby tahu, seharusnya ia tidak pantas merasa kecewa. Sudah lama sekali ia memendam semua kecurigaan dan keingintahuannya, dan semua itu harus terungkap dengan cara seperti ini.
Ruby mengusap air yang jatuh dari matanya.
"Vlade, kau belum menemukan bukunya?" tanya Ruby kepada Vladimir.
Ruby tadinya ingin menghabiskan waktunya untuk membaca di bawah pintu rahasia untuk mencari informasi lain. Namun, Vladimir menawarkan diri untuk membawa buku itu keluar dari sana, sementara Ruby ditugaskan untuk mengawasi pintu dan berjaga kalau saja salah satu orangtuanya masuk ke dalam seperti biasa. Akan tetapi, Vladimir membuat kejanggalan yang aneh dan dengan sengaja menghabiskan waktunya selama mungkin di bawah sana. Hasilnya, Ruby mendengarkan percakapan kedua orangtuanya yang begitu pahit, membuatnya hancur berkeping-keping.
Vladimir baru keluar dari pintu rahasia itu setelah beberapa saat. Ia mengalah dengan membiarkan lampu minyak itu di luar bersama Ruby, membuatnya mendapat alasan berlama-lama di bawah sana. Ruby ingin menyalahkannya, tetapi menangkap maksud dari manik peraknya, Ruby tahu bahwa Vladimir mengerti apa yang barusan terjadi di balik pintu itu.
"Bukankah akan lebih cepat jika Tuan Putri langsung bertanya kepada mereka?" tanya Vladimir.
Ruby menggeleng enggan, "Aku akan menunggu mereka menceritakannya sendiri."
Vladimir mengatupkan bibir, lalu memberikan buku tentang arah mata angin itu kepada Ruby, buku yang disembunyikan Ruby di awal perjumpaan mereka.
"...Sebenarnya, aku takut," ucap Ruby.
"Apa yang Anda takutkan, Tuan Putri?" tanya Vladimir.
Ruby sendiri tidak yakin apa yang membuatnya takut. Apakah Ruby takut tidak bisa diterima oleh kedua orangtuanya? Tidak mungkin, karena mereka berdua begitu mencintai Ruby tanpa syarat. Apakah Ruby hanya takut bahwa kata-kata yang diucapkan Vladimir selama ini memang benar adanya? Bahwa Ruby memang tidak pantas berada di sini dan seharusnya pulang kembali ke tempat dimana ia datang?
"Aku takut, tidak bisa membedakan ilusi dan kenyataan."
"Saya akan membantu Tuan Putri membedakannya. Tuan Putri tidak perlu khawatir," balas Vladimir.
"Apa kau yakin bisa membedakannya?" tanya Ruby.
Vladimir terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Ya, saya bisa membedakannya."
"... baiklah, kalau kau bilang begitu."
Ruby tidak ingin berdebat dengan seseorang yang belum pernah melihat sedahsyat apa ilusi yang pernah menguncang hidupnya. Ruby pernah melihat perputaran ilusi yang berulang dan terasa begitu nyata. Begitu nyata, sampai-sampai Ruby hampir menyerah kepada dunia. Ruby tidak ingin orang lain tahu tentang kepahitan itu dan betapa tidak menyenangkannya perasaan itu ketika seseorang merasa bahwa ia nyaris kehilangan segalanya.
Seseorang yang keras kepala seperti Vladimir, seseorang yang kekeuh ingin menjemput Ruby kembali ke Kerajaan Ilusi ... tidak akan mengerti dengan perasaan itu.
"Apakah pesan itu datang dari buku ini?" tanya Vladimir.
"Ya, tapi kita hanya bisa melihat pesannya ketika halaman buku ini diterawang di bawah cahaya matahari," jelas Ruby.
Vladimir masih menyimak perkataan Ruby, sembari membuka halaman demi halaman yang sebenarnya tampak biasa saja. Tidak ada tulisan yang berubah warna sebagaimana yang dilihat oleh Ruby sebelumnya. Semuanya tampak normal, tetapi Ruby yakin ia tidak berhalusinasi tentang aksara aneh itu, karena bahkan dirinya sendiri juga belum pernah melihat aksara itu.
"Besok akan kuperlihatkan, kalau ilusinya bekerja," ucap Ruby, sedikit tidak yakin. "Terakhir, aku memperlihatkannya kepada ibuku dan tidak ada tulisan yang timbul, lalu kejadian ketika aku mencoba memperlihatkannya kepada ibuku menjadi ilusi. Ibuku bahkan tidak ingat aku pernah membicarakan tentang pesan rahasia di buku. Tapi, mungkin saja tulisan itu akan muncul jika denganmu."
"... Baik, Tuan Putri," jawab Vladimir.
Ruby menghela napas, tidak ingin lagi menegur tentang panggilan berulang yang terus Ruby larang. Pada akhirnya, Ruby terduduk kembali di kursi bacanya, menatap rak-rak buku yang terisi hampir penuh. Seharusnya, dirinya sudah pernah membaca semua buku di rak itu, tetapi bagaimana jika isinya berubah tiba-tiba?
Ruby langsung menggelengkan kepalanya atas pemikirannya barusan. Berbahaya. Ruby bisa saja tidak sengaja membuat ilusi lain yang membuatnya terjebak lagi, tetapi Ruby penasaran ... apa yang akan berubah? Akan menjadi apa isi dalam buku itu, sementara Ruby tidak pernah merasa bahwa ia punya ilmu yang cukup untuk menambah pengetahuan baru?
"Ngomong-ngomong, Vlade, apakah kau tidak lapar?"
Vladimir terdiam selama beberapa saat, sepertinya juga baru tersadar dengan sesuatu, "Saya belum merasa lapar sejak sampai kemari."
Itu agak melegakan, karena jika Vladimir kelaparan, Ruby tidak tahu makanan apa yang bisa dipegangnya atau dimakannya.
"Apa saja yang bisa kau sentuh?" tanya Ruby, lalu melirik buku yang ada di dekatnya, "Selain buku itu?"
Butuh beberapa saat bagi Vladimir untuk menjawab, "Mungkin hanya buku itu dan ..."
Ruby mengulurkan tangan, memberikan tangannya kepada Vladimir. "Dan aku?"
Tentu saja Vladimir tidak menjawab, baik dari kata-kata ataupun isyarat. Tangan Ruby menggantung di udara, hanya bisa diperhatikan oleh Vladimir dalam diam.
Memahami betapa canggungnya situasi ini bagi Vladimir, Ruby langsung menarik kembali tangannya. "Maksudku, aku yang menemukanmu ketika kau terluka, aku juga yang mengobatimu. Aku juga yang menyeretmu sampai di dekat pintu rahasia itu. Jika tidak bisa, kita berdua tidak akan bertemu di sini dan dalam keadaan seperti ini."
"Terima kasih, Tuan Putri."
Ruby sama sekali tidak bermaksud membuatnya mengatakan terima kasih lagi.
"Mungkin, aku yang seharusnya berterima kasih. Aku hampir gila karena ilusi-ilusi yang kulihat. Tidak bisa menceritakannya kepada siapapun, tidak bisa menjelaskannya ... Itu perasaan yang tidak menyenangkan," ucap Ruby.
"Tuan Putri menyelamatkan nyawa saya."
"Dan kau menyelamatkan kewarasanku." Ruby tertawa pahit.
Vladimir mungkin tidak merasa bahwa Ruby mengatakan hal yang lucu. Pemuda itu masih setia dengan wajah statisnya, menyimak setiap perkataan Ruby dengan serius. Ruby jadi merasa bahwa ia hanya bisa mengatakan hal-hal yang serius dengan Vladimir.
Beberapa saat setelah Ruby memutuskan untuk duduk kembali di ranjangnya, ia mendengar suara keramaian dari kejauhan. Penasaran, ia pada akhirnya menghampiri jendela, mengintip sedikit dari balik tirai.
"Apakah mereka sudah datang?" tanya Vladimir.
Ruby mengangguk setelah melihat kerumunan orang-orang yang berkumpul di satu titik dengan membawa lentera. Para warga biasanya menyambut kedatangan orang-orang penting di desa dengan menggunakan obor, tetapi di satu sisi mereka pasti sadar bahwa membawa banyak obor hanya akan membuat mereka terlihat seperti hendak membuat keributan.
Tak lama kemudian, suara kehebohan musik yang sudah diekspektasikan pun datang memeriahkan. Tarian penyambutan yang dilakukan oleh gadis-gadis desa pun dimulai, hanya saja Ruby tidak bisa melihatnya dari jendela kamarnya. Jika Ruby memang ingin melihatnya, ia harus keluar dari rumah. Itu sulit, karena Ruby yakin dirinya hanya akan diusir pulang oleh para warga.
... dan lagipula, Vladimir tidak suka dengan ide bahwa Ruby akan menghampiri bangsawan Kerajaan Kilau.
"Mungkin kita tidak akan bisa tidur malam ini," gumam Ruby.
Vladimir lagi-lagi hanya diam, membuat Ruby langsung tersadar kembali tentang betapa ambigunya perkataannya barusan.
"Musiknya ... terlalu keras, terlalu berisik. Untunglah aku tidak jadi ikut tarian penyambutan," sambung Ruby.
"Tarian penyambutan—" Vladimir kehabisan kata-kata.
Ruby langsung memotong, begitu melihat reaksi Vladimir. "Itu hanya pemikiran bodoh, aku tahu. Aku tidak pernah melihat bangsawan, karena itu aku sempat berpikir seperti itu. Tapi tidak masalah, aku langsung berubah pikiran."
"Ya, itu tidak pantas."
"Benar. Aku bahkan tidak bisa menari."
"Maksud saya bukan seperti itu, Tuan Putri. Mereka yang tidak pantas melihat Tuan Putri. Untunglah Tuan Putri langsung berubah pikiran, karena mereka akan semakin dipenuhi keangkuhan. Tolong, jangan berpikir seperti itu lagi."
Mengapa mendadak Ruby merasa sedang dimarahi oleh Vladimir?
"Kalaupun aku ingin, aku tidak bisa. Kepala desa bahkan tidak mengizinkanku untuk ikut seleksi. Dia bilang dia hanya memilih gadis normal tanpa kutukan untuk melakukan tarian penyambutan," canda Ruby, berharap kali ini Vladimir akan tersenyum walau hanya sedikit.
"Siapa nama kepala desa?" tanya Vladimir.
"Hm? Untuk apa kau tahu namanya?"
"Mungkin menikam perutnya berulang kali?"
Ruby tertawa, "Dengan pedang ilusi itu?"
"Jika Tuan Putri setuju dan berusaha menggunakan kekuatan, pedang ini bisa membunuhnya," jelas Vladimir.
Tawa Ruby pun berhenti, Ruby menatap Vladimir dengan ragu, "...Kau ingin membunuhnya?"
"Tuan Putri tidak ingin saya membunuhnya?" tanya Vladimir balik.
"Tentu saja tidak. Mengapa membunuhnya karena masalah kecil?"
"Bagi saya, itu penghinaan besar terhadap Tuan Putri," ucap Vladimir yang membuat Ruby kembali terdiam. "Atas dasar apa, ia mengatakan bahwa Tuan Putri memiliki kutukan?"
Ruby baru kali ini mendengarkan pembelaan yang membuatnya merasa begitu hangat, sampai membuatnya mati-matian menahan air matanya agar tidak menangis.
Tbc
18 Agustus 2022
a/n
Baru saja berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menerapkan prinsip GA UP GA TURU di depan keluarga saya.
NGANTUK BANGET ASTAGA SEMOGA GAADAK TYPO!
TURU DULU DADAH
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro