Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09

Ruby baru menyadarinya setelah selesai makan siang, ada banyak warga desa yang lalu lalang melewati rumah mereka, memasang hiasan untuk meramaikan suasana untuk menyambut kedatangan bangsawan. Kedua orang tua Ruby langsung sepakat untuk memasang tirai pada jendela kamar Ruby di saat itu juga.

Ruby hanya bisa memperhatikan keceriaan para warga desa dari balik jendela. Senyaman apapun Ruby terhadap rumahnya yang hangat dan menyenangkan, Ruby tetap saja memiliki keingintahuan untuk ikut bergabung di luar sana, ikut merasa antusias dengan hal yang belum pernah dicobanya.

Namun, Ruby tahu, dirinya tidak akan pernah punya kesempatan untuk bergabung di antara mereka.

Agak murung, Ruby menutup tirai jendelanya. Cahaya yang masuk ke kamarnya jauh lebih berkurang, tetapi tak menghentikan Ruby untuk kembali melanjutkan bacaan terakhirnya.

Ruby tidak tahu kapan ia akan menyelesaikan buku tentang arah mata angin itu, tetapi sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat bila ia tidak kunjung mengerti makna rahasia. Ia memijit keningnya, mencoba mengerti sedikit tulisan rahasia yang telah disalinnya di kertas.

Barusan, Ruby mencobanya lagi. Tampaknya semua hal yang dialaminya bukan hanya ilusi belaka, karena tulisan itu kembali muncul di bawah cahaya matahari. Tidak semua halaman memiliki tulisan itu, tetapi tetap saja terlalu banyak untuk bisa disalin dalam waktu dekat. Ruby juga baru berhasil menyalin 3 halaman pertama yang memiliki tulisan itu.

Apakah ia harus memperlihatkan isi tulisan itu kepada Ayah dan ibunya? Sepertinya kedua orangtuanya sudah berusaha mengajarkan segala hal yang mereka bisa kepada putri semata wayangnya. Sempat terpikir oleh Ruby untuk memperlihatkannya kepada bangsawan yang akan datang dua hari berikutnya, mungkin saja mereka bisa mengerti Bahasa Imperial Kuno, walaupun Ruby kini kembali ragu apakah dirinya bahkan diperbolehkan mendekati markas peristirahatan bangsawan oleh warga desa.

Ruby dianggap sebagai aib dan buangan. Bahkan orangtuanya sendiri tidak menganggapnya seperti itu, lalu mengapa Ruby harus terganggu oleh pandangan orang-orang terhadapnya?

Ruby akhirnya berbaring sembari memeluk bukunya karena tidak tahu haris melakukan apa. Membaca buku ... Ruby buntu ketika hendak mengerti bahasa di pesan rahasia. Ruby juga tidak mungkin bermain keluar rumah karena ia sedang sakit dan warga desa tidak akan mungkin tinggal diam meskipun sedang sibuk mempersiapkan banyak hal.

Tapi, sebenarnya, Ruby takut untuk tidur.

Takut semua ini ternyata hanya mimpi lain.

TOK! TOK!

Ruby sempat terkejut dengan suara itu, sebelum akhirnya menyadari bahwa ketukan itu berasal dari pintu kamarnya sendiri. Ibunya yang mengetuk sambil membawa segelas air hangat,

"Lho, tidak tidur?"

Ruby hanya tersenyum tipis, memperhatikan ibunya yang  duduk di tepi ranjangnya.

"Ibu pikir kau mengantuk saat makan siang tadi," ucap ibunya.

Kenyataannya, Ruby saat ini juga memang sangat mengantuk, tetapi menolak tidur.

"Ayah dimana?" tanya Ruby, menyadari bahwa ayahnya tidak ikut masuk ke kamarnya.

"Dia pergi membeli minyak, tampaknya stok minyak akan dibatasi untuk menyambut dua hari ke depan," jawab ibunya.

Ruby menghela napas lega. Semula, ia pikir ayahnya mengingkari janji dan tetap berangkat ke hutan untuk mencari kayu.

Ibu Ruby menyerahkan gelas itu kepada Ruby, "Minumlah."

Ruby menerima gelas itu dan sebagai gantinya, ia memberikan kertas berisikan Bahasa Imperial Kuno yang sudah disalinnya.

"Apa ini?" tanya ibunya.

"Aku juga tidak mengerti, karena itu aku menanyakannya kepada Ibu." Ruby menjawab dengan tenang, sebelum akhirnya minum dan membiarkan ibunya membaca isi tulisan itu.

"Ini ... darimana kau mendapatkannya?"

Pertanyaan itu hadir tepat begitu Ruby menenggak habis air dalam gelasnya. Melihat keheranan dari wajah ibunya, Ruby langsung merasa antusias.

"Apakah Ibu mengerti maksudnya?" tanya Ruby.

"... Tidak. Ibu tidak mengerti," balas ibunya yang membuat Ruby sedikit tidak bersemangat.

"Oh, kupikir Ibu memahaminya."

Ruby tidak mengerti darimana ia mendapatkan kesimpulan, tetapi ia bisa melihat wajah ibunya yang berubah tegang persis sejak ibunya membaca tulisan itu. Hanya ada beberapa simbol di sana dan Ruby menggabungkan semuanya menjadi satu.

Ibunya bertanya sekali lagi dengan suara yang lembut, "Darimana kau mendapatkannya?"

Ruby terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan penuh keraguan, "Aku menemukan tulisan itu, terselip di salah satu bukuku."

Ruby berbohong.

"Buku yang mana?" tanya ibunya sembari berdiri dan berjalan ke arah rak buku yang ada di sudut kamar Ruby.

Sebelumnya, Ruby memang pernah mengatakan kepada ibunya tentang tulisan rahasia di buku terakhir yang dibacanya. Namun, semua kejadian itu berubah menjadi ilusi—menjadi sesuatu yang tidak pernah terjadi—membuat Ruby yakin bahwa ibunya tidak akan ingat tentang pembuktiannya yang tidak terjadi waktu itu.

Ibunya tidak pernah bersikap seperti ini, membuat Ruby sedikit terkejut.

"Aku ... tidak ingat," jawab Ruby lagi.

Usai memeriksa rak buku Ruby, ibunya kembali berjalan ke tempat tidur untuk membantu Ruby menaruh gelas kosong itu pada nakas. Ruby hanya bisa diam dalam keheningan, tidak berani menjelaskan lebih banyak karena hanya akan membuat ibunya tahu tentang kebohongannya.

"Kau tidak memajang buku yang terakhir kau baca di sana? Apa kau belum selesai membacanya?" tanya ibunya.

Ruby langsung menurunkan buku itu perlahan, agar keberadaan buku itu ditutupi selimut. "Buku itu tidak ada di sana?" tanya Ruby.

"Tidak ada," jawab ibunya. "Hm ... Dimana buku itu sekarang? Terakhir Ibu melihatnya sewaktu kita sarapan kemarin."

Jantung Ruby berdebar kencang karena beberapa alasan; bukti kebohongannya ada tepat bersamanya di dalam selimut. Entah mengapa, Ruby punya firasat bahwa ibunya akan menyita buku itu bila menemukannya.

Logikanya, Ruby yang selalu membaca habis semua buku pasti akan menyadari bila ada satu kertas yang terselip di halaman yang dibacanya. Barangkali ibunya juga berpikiran seperti itu, bahwa kemungkinan besar Ruby menemukan tulisan itu di buku terakhirnya. Mungkin ibunya ingin memastikannya secara langsung, tetapi Ruby sudah pernah mencobanya dan itu tidak berhasil.

TOK! TOK!

Jantung Ruby berdebar dua kali lipat lebih cepat dari sebelumnya. Di saat-saat seperti ini, tiba-tiba suara ketukan di bawah kolong kamarnya datang, seolah ingin menambah ketegangan yang ada di kamarnya.

Namun, seperti yang sudah Ruby perkirakan, Ibu Ruby tidak mampu mendengarkan suara itu.

Ibu Ruby mengambil gelas kosong yang ada di nakas dan meninggalkan kamar Ruby. Ia juga turut membawa serta kertas yang diberikan Ruby. Ruby langsung menduga bahwa itu hanyalah alasan agar ibunya bisa mencari keberadaan buku itu sekarang. Maka, Ruby segera turun dari ranjangnya saat itu juga dan meraba kolong tempat tidurnya.

Mungkin itu pertama kalinya, Ruby berharap bahwa ia bisa merasakan bentuk janggal dari balik karpet kulitnya.

Ruby baru saja hendak membuka laci kecil di nakasnya untuk mengambil pisau agar bisa memotong dua ujung karpetnya, tetapi kemudian tersadar bahwa kedua sudut yang telah dipaku itu telah sobek, berbeda dengan keadaan yang dilihatnya sebelumnya. Dengan yakin, ia menyibak karpet, dengan keyakinan penuh bahwa pintu rahasia itu memang ada di sana.

Kabar baiknya, pintu rahasia itu memang ada di sana!

Ruby langsung mengambil bukunya dan bersiap membuka pintu rahasia itu dengan cepat. Rencananya, ia akan segera melempar buku itu ke bawah, menutup kembali pintu itu dan merapikan kembali karpet kulitnya, lalu menganggap bahwa buku itu memang hilang entah kemana. Biarlah buku itu agak kotor dan halamannya juga bisa saja berceceran karena dilempar dari atas.

Yang terpenting sekarang adalah mengamankan buku itu agar ibunya tidak menemukan buku itu lebih dulu, itu yang dipikirnya.

Namun, begitu Ruby membuka pintu itu, ia perlahan bisa melihat ke dasar tanah dalam tempat rahasia itu.

Dan ada pemuda yang ia selamatkan, berdiri tegak, seolah kejadian waktu ia sekarat tidak pernah terjadi.

Begitu pintu itu terbuka, semua rencana Ruby yang sudah disusunnya dengan rapi langsung buyar begitu saja. Ia lupa soal eksistensi pemuda ini karena terlalu panik dan juga tidak menyangka bahwa keadaan pemuda itu langsung membaik.

Pemuda itu langsung menengadahkan kepala, begitu melihat ada sumber cahaya begitu Ruby membuka pintu itu. Mereka berdua saling bersitatap selama beberapa saat.

Sebelumnya, karena sedang dalam keadaan sekarat dan pemuda itu tidak membuka matanya, Ruby sama sekali tidak tahu bahwa ternyata pemuda itu juga memiliki warna mata yang aneh. Ini pertama kalinya, Ruby melihat seseorang dengan warna mata berwarna perak. Menemukan cahaya, mata peraknya jadi tampak seolah sedang bercahaya.

Ruby mengobservasi keadaan pemuda itu dengan kilat. Selimut yang diikatnya di perut pemuda itu masih utuh di sana. Terlihat juga ada bagian selimut yang sobek dan pemuda itu menggunakannya untuk membersihkan darah yang ada di wajahnya. Masih ada bekas darah di sana, tetapi kelihatannya sudah jauh lebih baik daripada ketika Ruby pertama kali menemukannya.

Pemuda itu membuka bibir seolah tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum sempat mengatakan apapun, Ruby menempatkan telunjuk di depan bibirnya sendiri, meminta pemuda itu untuk diam. Untungnya, pemuda itu menurut dan memberikan anggukan menyetujui.

Ruby kemudian menyerahkan buku itu kepada pemuda itu, yang kemudian diterima begitu saja oleh pemuda itu meskipun dengan ekspresi keheranan.

Tak menunggu pemuda itu merespons apapun, Ruby langsung menutup pintu rahasia itu kembali.

Setelah merapikan karpet kulit dan pisau agar kembali ke posisi semula, Ruby kembali naik ke ranjangnya dan menyelimuti dirinya.

Semuanya terjadi terlalu cepat. Ruby bahkan masih ragu dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang tadinya masih kelihatan begitu sekarat tak berdaya sampai harus diseret tiba-tiba bisa berdiri dengan tegak dengan kedua kakinya sendiri? Ruby bahkan belum sempat memikirkan keadaannya lagi setelah makan siang tadi, jadi mengapa bisa ia pulih dengan begitu cepat?

Belum habis pemikirannya, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka lagi. Ibunya masuk kembali dan kali ini membawa sebaskom air dan kain.

"Masih belum tidur?" tanya ibunya lagi.

"Aku sedang memikirkan tentang dua hari ke depan," dusta Ruby lagi. Ia merutuki dirinya sendiri tentang betapa banyak dosanya hari ini karena telah berbohong berulang kali kepada ibunya.

"Kau pasti sangat antusias," ucap ibunya.

Ibunya meletakkan baskom itu di nakas, lalu mulai membasuh kening Ruby dengan kain yang telah diperas.

"Ibu tidak bisa menemukan bukumu," ujar ibunya.

Sesuai dugaan Ruby, ibunya memang mencari buku itu.

"Apa kau mau buku baru? Ibu bisa membelinya ketika di kota nanti. Akan ada banyak pesanan sepatu yang masuk dan Ibu harus menyiapkan banyak hal," terang ibunya.

"Maaf, karena Ibu harus kerepotan mengurusiku," gumam Ruby.

"Jangan minta maaf, Ruby. Kau tidak salah."

Kebohongan yang dilakukannya adalah kesalahan, Ruby tahu itu.

"Jadi, apa kau mau buku baru? Atau Ibu juga bisa mencari buku yang sama, kalau masih ada," ucap ibunya.

"Tidak apa-apa, Ibu. Aku sudah selesai membacanya," sahut Ruby.

"Kalau begitu, Ibu akan membelikanmu buku baru."

"Baik, terima kasih," ujar Ruby.

"Mengapa berterimakasih? Ini tugas Ibu, jadi kau tidak perlu berterimakasih."

Ruby ingat, ibunya pernah mengatakan demikian dalam ilusinya ketika ibunya menggantikan Ruby mengambil kayu bakar di ruang bawah tanah. Kata-katanya masih sama.

Ada hal sama lain yang juga mengganggunya. Di dalam ilusinya kemarin, setelah ibunya membeli buku baru, ayahnya tidak kunjung pulang. Ruby hanya berharap kejadian yang sama tidak akan terjadi.

"Ibu, bagaimana dengan kertas tadi? Apa Ibu membuangnya?" tanya Ruby setelah menahan diri sedaritadi.

"Tidak. Ibu akan memperlihatkannya kepada ayahmu. Barangkali ayahmu tahu," jawab ibunya, kali ini membasuh tangannya. "Sepertinya itu bahasa kuno, apa kau penasaran dengan isinya?"

Ruby mengangguk.

"Setelah kau tahu terjemahannya, apa yang akan kau lakukan?" tanya ibunya tanpa menatap ke arahnya.

"Mungkin aku akan menerbitkan buku tentang itu," canda Ruby sambil memejamkan mata.

Tidak ada, sih. Ruby hanya penasaran, seperti biasa.

"Kau benar-benar tidak takut dengan pengetahuan baru, ya." Ibunya tertawa.

Ruby ikut tertawa kecil. Perasaan hangat itu kembali datang setelah dirinya merasakan perasaan campur aduk hari ini.

"Aku mengantuk," ucap Ruby, kali ini ia tidak berdusta.

"Ibu juga sudah selesai. Kalau begitu tidurlah, putriku. Mimpi indah."

Itu kata-kata terakhir ibunya yang ia ingat, sebelum akhirnya Ruby tertidur lelap setelah sekian lama.

Tbc

30 Juli 2022

a/n

Mereka berdua tidak ngomong, tapi kok aku merasa interaksi pertama mereka cute sangat yaak wkwkwkkw

Oke, next chap mereka akan ngobrol ofc.

Aku harus ngetik lagi, uhuk-uhuk.

Besok sudah tanggal 31. MWM-ku udah berapa kata yak wkwkwkkw.

See you tomorrow!!!


Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro