Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08

Setelah berjuang mati-matian untuk menyeret pemuda ini sampai di bawah pintu rahasia, Ruby mengatur napasnya agar jangan lolos lebih banyak lagi dan meninggalkan separuh nyawanya.

Tidak mungkin, Tidak mungkin Ruby bisa membawa orang ini naik ke atas sana.

Ruby sudah membayangkan kejadian terburuk yang akan terjadi bila dia tetap memutuskan untuk melanjutkannya. Mereka pasti akan jatuh kembali ke bawah dan itu akan semakin memperparah keadaan.

Ruby punya banyak pertanyaan, tentu saja. Seperti, darimana pemuda ini datang? Mengapa dia bisa tersesat sampai ke pintu rahasia di bawah ranjangnya?

Itu juga menandakan bahwa dugaan Ruby selama ini memang benar, bahwa itu memang jalan rahasia ke suatu tempat. Hanya saja, Ruby tidak tahu kemana jalan itu akan membawanya.

Siapa pemuda ini? Mengapa bisa sampai di sini dalam keadaan sekarat dan terluka parah seperti itu?

Jawaban dari pertanyaan itu ... tentu saja baru bisa Ruby dapatkan setelah keadaan pemuda ini membaik.

Sesekali, Ruby memeriksa napasnya. Ia semakin lemah dan kesakitan. Ruby bahkan tidak yakin bisa menyelamatkan nyawa pemuda ini, tetapi ia harus mencobanya. Ruby ingin menyelamatkannya.

Lampu minyak yang tadinya Ruby letakan sebagai penanda jalan akhirnya padam total. Ia kembali bertemu dengan kegelapan, kecuali fakta bahwa satu-satunya sumber cahaya yang remang dan menjanjikan adalah di atas pintu rahasia yang kini terbuka lebar—di bawah kolong tempat tidurnya, tepatnya di kamarnya.

Sekarang, jika Ruby memutuskan untuk memanjat naik dan meninggalkan pemuda ini di sini, apakah pintu rahasia akan menghilang lagi? Ilusi atau bukan, Ruby tahu bahwa yang dilihatnya saat ini adalah kenyataan. Darah yang ada di kedua telapak tangannya dan juga aromanya juga adalah apa yang dilihat Ruby saat ini, kenyataannya begitu.

Dan meninggalkan seseorang dalam keadaan seperti ini sangat tidak manusiawi.

Jika Ruby berteriak memanggil orang tuanya tengah malam ... bagaimana jika tiba-tiba pintu ini tiba-tiba menghilang dan dirinya malah ikut menghilang terjebak tanpa menemukan jalan keluar? Tapi, apa yang bisa dirinya lakukan? Ruby tidak punya tenaga lagi untuk bisa membawa orang ini ke atas.

Tidak punya pilihan, akhirnya Ruby dipaksa untuk membuat keputusan.

"...Tuan, tunggu sebentar di sini," ujar Ruby secara sepihak—sebab pemuda itu masih tetap tidak sadarkan diri—sebelum akhirnya Ruby memanjat naik.

Anehnya, begitu Ruby sampai di kamarnya, tiba-tiba jendela kamarnya dimasuki cahaya yang terik. Siang sudah datang, secara tiba-tiba. Iya, siang benar-benar datang. Itu bukan cahaya matahari pagi yang hangat, tetapi cahaya matahari yang panas dan menyilaukan.

Ruby butuh beberapa detik untuk menerima kenyataan yang terjadi, tetapi tidak ingin lagi memusingkannya lebih jauh. Ia mengintip kolong lagi dan menemukan pintu itu masih ada di sana dan terbuka. Ia tidak yakin seberapa lama ia telah menghabiskan waktu di bawah sana, yang jelas kini Ruby bisa terbantu sedikit karena cahaya matahari kini bisa sedikit memasuki ruangan rahasia.

Ruby turun lagi, kali ini membawa selimutnya.

Ia sudah tidak setakut sebelumnya, meskipun sebenarnya jantungnya masih berdebar ngeri karena ada nyawa seseorang yang sedang dalam bahaya. Pemuda itu memejamkan matanya dengan kening berkerut, seolah menahan kesakitan yang luar biasa. Hanya melihatnya saja, Ruby merasa bahwa sakit itu ikut menular.

Ruby bermaksud mencari sumber luka agar bisa menghentikan pendarahan untuk beberapa saat.

Ada darah di sisi kanan wajah pemuda itu, tetapi Ruby tidak bisa menemukan sumber lukanya. Di dahi, di kepalanya, di sela-sela rambut hitamnya, semuanya baik-baik saja. Tampaknya luka ini bukan berasal dari kepalanya.

Sulit bagi Ruby untuk memeriksa bagian tubuh pemuda ini, sebab rupanya ia mengenakan zirah. Pantas saja Ruby sampai ngos-ngosan menyeretnya meskipun hanya beberapa meter.

Akhirnya, dari observasi singkatnya, Ruby menyadari bahwa ada bagian zirah yang terlepas, tepatnya di bagian perut. Tangan pemuda ini juga ternyata tidak berhenti menekan perutnya. Kini, Ruby tahu darimana sumber luka itu.

Ruby berusaha menyingkirkan tangan pemuda itu, seperti yang diduganya, butuh tenaga lebih. Setelah berhasil menyingkirkan tangannya, Ruby yang sebenarnya ahli dalam ikat-mengikat pun harus berperang memasang selimut melingkari tubuh pemuda ini. Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya Ruby berhasil mengikatnya tidak terlalu kendor dan tidak terlalu kencang.

Ruby menghela napas lega karena telah berhasil melakukan pertolongan pertama. Setelah itu, barulah ia tidak merasa bersalah jika hendak meninggalkannya sebentar untuk meminta bantuan.

Sayangnya, kelegaan itu hanya berlangsung selama beberapa saat.

"Ada apa, Ruby? Mengapa tiba-tiba membawa Ayah ke kamarmu?" tanya ayahnya, tetap pasrah meskipun Ruby telah menuntunnya ke kamar tanpa mengatakan apapun.

Ruby mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia memperhatikan kembali kedua telapak tangan yang tadinya memiliki noda darah, tetapi kini kedua tangannya bersih. Ruby juga mengintip ke arah kolong tempat tidurnya, mendapati bahwa pintu rahasia itu tidak dalam keadaan terbuka. Lebih parahnya lagi, karpet kulit itu masih terpasang rapi, seolah sobekan yang dibuatnya tadi memang tidak ada artinya.

Tidak ada jejak lain yang tertinggal selain ilusi.

Atau mungkin, ada jejak yang tertinggal.

"Dimana selimutmu?" tanya ayahnya.

... ah.

"T-tidak tahu, Ayah. Tiba-tiba saja menghilang," jawab Ruby.

"... Jangan lupa meminta selimut baru kepada ibumu," balas ayahnya lagi setelah beberapa saat, sama sekali tidak berkomentar tentang hilangnya selimut Ruby.

"Baik, Ayah," balas Ruby.

Seharusnya, Ruby tidak panik. Seharusnya, Ruby tidak heran. Hal yang tidak diduga-duga telah terjadi berulang kali. Ruby bahkan sudah memprediksikan kejadian ini sebagai salah satu yang harus dihadapinya—pintu itu lagi-lagi menghilang setelah ia membawa ayahnya kemari, seolah keberadaan pintu itu teramat rahasia, tidak boleh diketahui siapapun terkecuali Ruby.

Namun, mengapa harus demikian?

"Perutmu sudah membaik? Kau beristirahat dengan cukup, kan?" tanya ayahnya.

Ruby tidak bisa berbohong dan juga tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya. Entah bagaimana caranya Ruby menjelaskan apa yang baru saja terjadi dengannya. Mungkin saja ia bisa menjelaskannya secara singkat, tetapi bagaimana caranya menjelaskannya tanpa membuat pendengarnya kebingungan?

Baiklah, singkatnya seperti ini—Ruby baru saja hendak memejamkan matanya usai kedua orang tuanya meninggalkan kamarnya, tetapi Ruby mendengar suara ketukan dari lantai kamarnya. Sebelumnya, Ruby pernah menemukan pintu rahasia di bawah kolong ranjangnya, tepatnya di bawah karpet kulit, tetapi pintu itu hanya muncul kadang-kadang. Karena itu, Ruby berasumsi bahwa ketukan itu berasal dari tempat rahasia yang ada di balik pintu rahasia.

Lalu, lalu ..., karena suara ketukan itu berubah menjadi suara rintihan kesakitan, Ruby akhirnya memberanikan diri untuk turun ke bawah sana dan tidak sengaja menemukan seorang laki-laki berzirah yang sedang sekarat. Dari lukanya, sepertinya pemuda ini tertusuk benda tajam di bagian perut.

Ruby bermaksud menutup lukanya dengan selimut, tetapi tiba-tiba hari sudah siang. Ruby bahkan belum sempat mengistirahatkan kepalanya dan harus menerima kejadian yang tidak masuk akal. Pikirannya tertekan, tapi Ruby memilih mengabaikannya.

Setelah melakukan pertolongan pertama, Ruby bermaksud meminta ayahnya membantunya membawa pemuda ini keluar dari tempat rahasia yang sangat gelap, dingin, bergema, tidak menyenangkan ... dan intinya, Ruby tidak bermaksud menyembunyikan seorang pemuda di kamarnya. Semua kejadian itu terjadi begitu saja.

Tadinya, Ruby ingin menjelaskan insidennya seperti itu, tetapi ternyata dirinya tidak mendapatkan kesempatan itu. Kejadian yang menakutkan itu kembali menjadi ilusi belaka.

"Aku ... mungkin harus istirahat sebentar lagi." Di saat seperti ini, Ruby merasa kedua matanya ingin tertutup.

Semua energinya sudah terkuras untuk menyeret pemuda itu. Ia bahkan tidak bisa istirahat dengan tenang sejak kemarin siang. Bukan, sejak berhari-hari yang lalu dan hari penuh ilusi terus berdatangan tanpa ampun. Ruby tidak ingat kapan dirinya terakhir kali terlelap dengan nyenyak.

"Jangan tidur lagi, kau sudah tidur sampai siang. Itu tidak baik," tegur ayahnya.

Ruby ingin membantah sesekali. Ia kemudian mengerti mengapa energinya begitu cepat terkuras habis untuk sebuah kegiatan yang seharusnya tidak memerlukan terlalu banyak tenaga. Namun, karena melihat ekspresi khawatir ayahnya, ia tidak bisa melawan. Ruby akhirnya ikut berjalan ke meja makan bersama ayahnya.

"Jadi, ada apa Ruby memanggilmu?" tanya Ibu Ruby sambil menuangkan sup di dalam mangkuk kayu.

Ayah Ruby melirik anak gadisnya sebentar, lalu menjawab dengan misterius, "Rahasia."

Faktanya, mereka tidak membicarakan apapun. Ruby harus memikirkan jawabannya, jika suatu hari ibunya akan mempertanyakan ini lagi.

"Apakah kau merasa lebih baikan setelah istirahat?" tanya ibunya.

Ruby tidak istirahat sedikitpun dan ia tidak merasa baikan sama sekali.

Ibunya yang tampaknya mengerti setelah melihat kondisi Ruby pun akhirnya melanjutkan, "Setidaknya kau harus mengisi perutmu. Kau tidak ingin kelaparan di dalam tidurmu, kan?"

"Atau Ruby kembali saja ke kamarnya? Nanti aku akan bawakan makanan untuknya," bisik ayahnya.

"Ruby tidak ingin dimanja seperti itu olehmu," balas ibunya.

Ruby tidak pernah melihat ayahnya seterang-terangan itu mengkhawatirkannya, jadi ia mengubah topik pembicaraan, "Ayah tidak pergi bekerja?"

Bukannya Ruby ingin mengusir ayahnya untuk berangkat bekerja. Ruby pun sebenarnya memang tidak ingin ayahnya pergi, apalagi setelah dihantui oleh ilusi buruk selama dua kali berturut. Namun, ayahnya biasanya selalu berangkat pagi buta dan tidak pernah seharipun masih ada di rumah ketika siang hari—kecuali kemarin—dan itu tentu membuatnya bertanya-tanya.

"Dua hari lagi diperkirakan para bangsawan akan sampai di desa kita. Ayahmu berpikir mungkin menawarkan perabotan lebih menjanjikan daripada pergi menebang hutan di tempat antah berantah." Ibunya mewakili ayahnya menjawab, dan langsung melanjutkan, "Itu hanya alasannya, sih. Dia tidak mau berangkat, kalau kau masih sakit."

Ayahnya berdeham, "Kita punya perabotan jadi yang siap dijual. Jadi, mengapa tidak?"

Diam-diam, Ruby merasa lega mendengarnya. Kemungkinan besarnya, ayahnya tidak akan berangkat ke hutan dalam sepekan ini. Itu mungkin pertanda yang baik.

"Enak?" tanya Ibu Ruby.

Ruby mengangguk riang, sambil terus-terusan menyendok sup hangat ke mulutnya. Sup buatan ibunya punya rasa yang khas; rasa asinnya selalu lebih mendominasi, tetapi jika rasa asin itu kurang sedikit saja, Ruby bisa merindukan rasa asin itu di lidahnya.

TOK! TOK!

Ruby terdiam sebentar. Pandangannya masih jatuh pada sup di depannya. Setelah memastikan bahwa suara itu memang ada, ia mengangkat kepalanya dan memperhatikan reaksi kedua orangtuanya. Mereka berdua masih menyesap sup mereka dengan tenang, seolah suara ketukan dari lantai kayu mereka sama sekali tidak mengganggu.

Dari lubuk hati Ruby yang terdalam, Ruby benar-benar ingin bertanya apakah mereka juga mendengarkan suara itu atau tidak.

Suara dan getaran di kakinya selama ketukan itu ... semuanya terlalu jelas untuk diabaikan.

"Lekas sembuh, Ruby. Setelah kau sudah baikan, Ayah dan Ibu akan membawamu untuk melihat festival penyambutan bangsawan," ujar Ibu Ruby.

"Baik, Ibu," jawab Ruby.

Yang terpenting saat ini hanyalah satu; semuanya tetap bisa baik-baik saja seperti saat ini.

Tidak ada hal lain yang lebih berharga daripada itu.

Tbc

28 Juli 2022

a/n

Ayo, Cin, pace pace. ADK tidak perlu banyak bacot-bacot, keluarkan MALE LEAD-nya SEGERA!!!!

Male leadnya udah keluar iiih! Ini bukan Princess yang masih bikin kalian bingung. Hah heh hoh mana male lead blablabala.

YUK bisa yuk Cin, nulisnya lebih dipercepat. Kan udah seru nih, mana bulan 7 udah mau kelar :')

See you again!

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro