Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06

Ruby tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi malam itu.

Ia mencoba mempertajam pendengarannya, berusaha menelusuri suara-suara lain di luar sana, mencari suara lain selain suara napas kedua orang tuanya. Sayangnya, tidak ada suara janggal lain yang mampu didengarnya sampai pagi hari datang.

"Apa Ayah tidak bisa di rumah saja hari ini?" tanya Ruby.

Ayah Ruby yang sudah bersiap-siap berangkat akhirnya menghentikan langkahnya, menatap Ruby dengan keheranan. Ketika menemukan putrinya tidur di kamar yang sama dengan mereka sewaktu pagi sudah membuat kebingungannya timbul dan perubahan sikap putrinya membuatnya penuh tanda tanya.

"... Memangnya kenapa?" tanya ayahnya.

Ibu Ruby mewakili Ruby menjawab, "Tadi malam Ruby bermimpi buruk tentangmu."

Ekspresi wajah ayahnya masih statis, belum benar-benar berubah antusias atau ingin tahu, "Oh? Apa yang kau mimpikan?"

"Hujan badai sewaktu malam, Ayah tersesat," jawab Ruby dengan sangat singkat.

Mendengar jawaban Ruby, ibunya malah tertawa, "Ayahmu tidak mungkin tersesat, dia sangat lihai dalam pencarian arah."

"Bahkan pelaut yang menulis buku ini saja masih belum bisa sepenuhnya mencari arah mata angin tanpa bantuan bintang-bintang," sahut Ruby sambil mengetuk-ngetukkan bukunya.

"Kau masih belum selesai membaca buku itu?" tanya Ibu Ruby.

Ruby langsung teringat alasan mengapa ia begitu lamban menyelesaikan buku itu. Ada tulisan rahasia yang bisa timbul dari bukunya jika ia membacanya di bawah cahaya matahari, tetapi ia tidak bisa membacanya karena tidak bisa bertanya kepada ibunya tentang Bahasa Imperial Kuno. Masih tidak yakin dengan mimpi yang pernah ia alami sebelumnya, ia melirik keadaan langit pagi melalui jendela rumahnya.

... Mendung, dan suasana ini begitu familier, membuat Ruby sedikit gelisah.

"Ayah tidak perlu bantuan bintang. Angin akan selalu menuntun Ayah untuk kembali ke tempat ini," sahut ayahnya.

"Sekalipun itu badai, apakah Ayah akan tetap percaya?" tanya Ruby.

"Alam adalah keberkatan yang murni. Kita semua pada akhirnya tetap akan kembali ke tempat asal kita," jawab ayahnya.

Ruby mengerutkan keningnya, heran. Pemikiran ayahnya sama dengan kebanyakan teoris teoris yang percaya bahwa manusia dan semua hal di sekitarnya terbuat dari tanah, maka mereka akan kembali ke tanah pada akhirnya. Bukannya Ruby tidak setuju, tetapi mengapa ayahnya harus berbicara tentang kematian di pagi yang cerah seperti ini? Di saat Ruby memimpikan ayahnya hilang tertimbun tanah longsor?

"Berbicara tentang keberkatan alam, apakah Ayah tidak bisa berhenti ... menebang pohon?" Ruby agak takut mendengar jawaban ayahnya, jadi ia langsung saja mengusulkan apa yang pernah ia bicarakan dengan ibunya dalam mimpi. "Mungkin lebih baik Ayah fokus dalam membuat perabotan dari kayu? Aku ... merasa lebih tenang jika Ayah tetap dalam pandanganku."

Ayah Ruby hanya diam, merenungkan perkataan Ruby.

"Lihat? Ruby juga punya pemikiran yang sama denganku," ucap ibunya.

... Ya, kita sepertinya memang pernah mendiskusikan ini, pikir Ruby yang sebenarnya tidak yakin.

"Baiklah, tentang usulmu, Ayah akan coba pikirkan."

Dan ternyata benar kata ibunya, Ayah Ruby langsung mendengarkannya. Tidak sepenuhnya mendengarkannya, memang, tapi itu lebih baik daripada ayahnya tidak menimbang usul itu sama sekali.

Ayah Ruby akhirnya beranjak lagi, bersiap-siap untuk berangkat, membuat Ruby langsung waswas.

"Kalau begitu Ayah pergi—"

Ruby buru-buru menghalangi jalan, "Ayah! Aku masih ingin bertanya!"

Ayah Ruby langsung melangkah mundur sejauh mungkin dari putrinya, lalu menegur Ruby dengan tegas, "Jangan pernah berada di dekat Ayah, apalagi jika kau melihat Ayah masih memegang kapak."

Ruby tahu dan percaya bahwa ayahnya tidak akan melukainya.

"Apakah aku boleh meminjam alat perkakas Ayah? Aku hanya ingin meminjam sebuah palu," ucap Ruby.

"Palu? Untuk apa?"

Ruby tahu bahwa ayahnya tidak akan tinggal diam dan meminjamkan alat berbahaya itu begitu saja. Ia sudah membulatkan tekad untuk membicarakan tentang pintu rahasia di bawah kolong ranjangnya. Ruby tidak ingin terlihat terlalu jelas seolah ia telah masuk ke dalam sana, jadi ia memilih untuk memberi petunjuk kepada ayahnya bahwa dirinya tahu tentang keberadaan pintu itu.

"Karpet kulit di bawah ranjangku sobek," ucap Ruby.

Sayangnya, reaksi ibunya tidak begitu memuaskan, "Bagaimana bisa?"

"Aku terpeleset saat mencoba—baiklah, lupakan. Aku minta maaf karena baru mengakui ini."

"Kau baik-baik saja?" tanya ayahnya.

"...Ah, iya, aku jatuh di atas tempat tidur."

Reaksi mereka berdua sama sekali tidak sesuai ekspektasi.

Ruby mulai dipenuhi keraguan. Mungkinkah melihat sebuah pintu rahasia dan masuk ke dalamnya ... semua itu hanya salah satu dari sekian banyak mimpi yang terasa nyata sebagaimana yang menimpanya belakangan ini? Mungkinkah tidak ada pintu rahasia di bawah kolong ranjangnya?

Tapi, Ruby masih mengingat begitu jelas bagaimana tekstur kasar di dinding, bahkan bagaimana isi kegelapan yang begitu kelam, seolah menunggu Ruby seumur hidup menjelajahinya.

"Ayah akan memakunya kembali untukmu," ucap ayahnya.

Ibunya ikut menyahut, "Biarkan aku menjahit karpetnya lebih dulu. Ruby bisa jatuh lagi, kalau sobekannya dibiarkan begitu."

Ruby sangat sadar bahwa dirinya begitu dicintai oleh kedua orang tuanya.

"Kalau begitu, Ayah akan memakunya setelah pulang nanti," sahut ayahnya, bersiap berangkat lagi.

Tentu saja, Ruby segera mencari cara untuk menghentikan ayahnya keluar dari rumah.

Ruby langsung menekan perutnya sendiri, membungkukkan badannya dan menyembunyikan wajahnya di atas meja agar kedua orangtuanya tidak bisa melihat raut wajahnya.

"Ruby?! Ada apa?" tanya ibunya, langsung berjalan menghampirinya.

Ayahnya juga langsung melepaskan kapak dan segala peralatan berbahaya yang ada di tubuhnya untuk segera menghampiri putrinya. "Perutmu sakit?"

Ruby mengangguk, masih dalam posisi membungkuk. Jika mengucapkannya dalam kata-kata, Ruby takut dia tidak bisa berbohong dengan lancar. Ia juga sengaja menghindari tatapan dari kedua orangtuanya, takut ia malah lengah dan memutuskan untuk berhenti berbohong.

Ruby belum pernah hidup dengan menyusun kebohongan dengan penuh rencana seperti ini.

"Ayo, Ruby, Ibu bantu kau berjalan ke kamarmu," ajak Ibu Ruby sambil membantunya berjalan.

Ruby mengangkat kepalanya dan berusaha untuk tetap memelas. Ia memeriksa ayahnya. Apakah ayahnya akan tetap berangkat atau justru menemaninya di rumah? Ruby tidak pernah mengerti pemikiran ayahnya, tetapi ketika melihat ayahnya diam tak bergeming di tempatnya, entah mengapa Ruby punya firasat bahwa ayahnya akan tetap di sini.

"Apa kita punya obatnya?" tanya ayahnya, pada akhirnya ikut menyusul Ruby dan ikut membantu untuk membawa Ruby ke kamarnya.

"Masih ada sedikit, aku akan membelinya lagi ketika di kota nanti."

Mendengar suara kedua orangtuanya yang begitu mencemaskannya, Ruby sudah bertekad akan segera pulih dari sakitnya. Setidaknya sampai dia memastikan bahwa ayahnya memang tidak akan berangkat lagi hari ini.

Sebenarnya, Ruby tidak tahu apakah mimpinya adalah petunjuk, atau justru hanya mimpi belaka. Namun, semua hal yang dilihatnya terlalu mengerikan untuk dirasakan. Apapun itu, Ruby tidak menginginkannya.

Ruby sudah membuat rencana untuk memperlihatkan ruangan rahasia itu, mempertanyakan keberadaannya secara langsung tanpa harus menjelaskan lebih banyak lagi.

Karena, setelah Ruby pikir-pikir kembali, semua mimpi buruknya bermula sejak ia menemukan ruangan rahasia itu. Sebelum Ruby menemukan ruangan itu, segalanya berjalan normal dan baik-baik saja.

Setelah Ruby meminum obat pemberian ibunya, Ruby langsung berbaring di atas tempat tidurnya. Ibunya menyelimutinya ketika menyadari bahwa Ruby telah memejamkan mata. Ruby bisa merasakan usapan pelan di keningnya yang begitu mengasihinya.

"Tolong ambilkan peralatan jahit di kamar," ujar Ibu Ruby kepada suaminya.

"Mengapa alat jahitmu ada di kamar?" tanya Ayah Ruby.

"Semalam jari Ruby berdarah karena tertusuk serat kayu, jadi aku mengeluarkannya dengan jarum," jelas ibunya.

"Serat kayu? Barang kayu mana yang belum dihaluskan dengan benar? Dimana Ruby terkena serat kayu itu? Apakah seratnya besar? Mengapa menggunakan jarum? Mengapa tidak membangunkanku agar aku mencoba cara lain? Bagaimana kalau jarum membuatnya semakin kesakitan?" Pertanyaan bertubi-tubi dari ayahnya membuat Ruby menghela napasnya pelan-pelan, berharap tidak disadari.

"Aku tidak tahu darimana serat kayu itu, tapi Ruby akan baik-baik saja. Selama ini aku selalu menggunakan jarum untuk mengeluarkan serat kayu di tanganmu. Buktinya, jarimu masih utuh dan sepuluh," oceh Ibu Ruby. "Tolong ambilkan alat jahitnya dulu, aku akan menjahit karpet kulitnya. Nanti kau tinggal memakunya saja."

"Tapi kalau aku memakunya terlalu keras, Ruby bisa terbangun ...." Ayah Ruby mengusap setiap kayu ranjang, berusaha mencari dimana asal serat kayu yang ganjil itu, tetapi tidak menemukannya.

"Memangnya aku tidak butuh waktu untuk menjahitnya?"

"Jangan terlalu berisik, nanti Ruby terganggu."

Ruby bisa mendengar kedua orangtuanya saling berdebat konyol. Lucu. Hubungan mereka berdua sangat manis dan harmonis. Ruby tidak ingin semua ini melebur hancur sia-sia sebagaimana yang dia lihat malam tadi.

Beberapa saat kemudian, Ruby bisa mendengar suara langkah ayahnya kembali. Ruby mengintip keadaan, menyadari ibunya sedang berusaha menarik karpet kulit dari sisi lain yang masih dipaku dengan sempurna. Setelah menarik karpetnya keluar nanti, ibunya pasti bisa langsung melihat pintu itu.

Seharusnya begitu, tetapi kejadian yang Ruby harapkan tidak kunjung datang.

"Ini benar-benar kulit asli, kan? Mengapa bisa sobek begini?" tanya ibunya.

"Mungkin memang sudah tua. Segala hal kan punya masa waktunya."

Setelah itu, keheningan kembali datang. Ruby samar-samar bisa melihat kedua orangtuanya duduk di sudut lain di kamarnya. Ibunya fokus menjahit bagian karpet yang sobek, sementara ayahnya hanya memperhatikan ibunya menjahit. Ruby juga melihat alat perkakas ayahnya di sisi lain tempat tidurnya, tepatnya di bagian dimana karpet itu sobek. Sepertinya ayahnya akan tetap di sini sampai selesai membereskan kekacauan yang Ruby buat.

Namun, Ruby tetap penasaran. Mereka benar-benar tidak berencana membahas tentang pintu rahasia itu meskipun sudah melihatnya di depan mata? Ataukah mereka memang sudah sepakat tidak akan membicarakan tentang pintu itu?

Ruby meraba-raba ranjangnya, bergerak dengan pelan agar tidak dicurigai. Ia ingin menjatuhkan sebuah barang agar punya alasan untuk terbangun dan langsung melihat apa yang ada di bawah ranjangnya. Bagaimanapun juga karpet ranjang itu telah dikeluarkan sepenuhnya oleh ibunya. Jika ia langsung bertanya, kedua orangnya tidak akan punya alasan lain untuk tidak membahas tentang pintu itu.

Ruby merasakan sebuah buku yang familier. Ia tidak ingat sudah memindahkannya ke kamar, karena terakhir ia meletakkannya di atas meja makan. Barangkali ibunya yang memindahkannya di kamar, karena Ruby memang tidak pernah lepas dari bukunya yang belum selesai dibaca.

Ia bergerak janggal, berhasil menjatuhkan buku itu dan benar-benar tersentak kaget setelah mendengar suara keras itu. Matanya langsung terbuka dan ia mendapati kedua orangtuanya sudah menengok ke arahnya dengan sama kagetnya.

"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Ruby sembari memiringkan tubuh dan menurunkan tangan, berusaha menjangkau buku di lantai.

"Biarkan saja bukunya di sana," tegur ibunya.

"Ruby, kau tidur saja. Ayah akan mengambilnya untukmu," ucap ayahnya sambil menghampirinya.

"Tidak apa-apa, aku bisa mengambilnya."

Ruby semakin berusaha memanjangkan tangan, memiringkan tubuhnya semakin ekstrem di sisi ranjang agar bisa mengintip keberadaan pintu itu walau hanya sedikit. Namun karena kurang hati-hati, ia terjatuh ke bawah. Untungnya, ayahnya sudah lebih dulu berhasil menangkap kepalanya.

"Ayah sudah bilang, kau tidur saja." Wajah statis ayahnya kembali. Tatapannya tidak menyalahkan, hanya ada kelegaan, tetapi suaranya berbeda dengan ketika ia bertanya bertubi-tubi dengan Ruby kepada ibunya.

Ruby memaksakan tawanya, lalu menoleh ke kolong ranjang dan seketika terdiam begitu melihat apa yang ada di kolong ranjangnya.

Tidak ada pintu rahasia itu.

... tapi bagaimana mungkin? Karpet kulit itu benar-benar sobek dan bahkan ... Ruby ingat bahwa ia telah menjelajahi sedikit tempat itu.

Bagaimana mungkin pintu itu menghilang tiba-tiba?

"Kalian baik-baik saja?" tanya ibunya.

Ruby langsung menjawab dengan cepat, "Baik, aku baik. Ayah?"

"Kau sudah baikan?" Ayahnya malah bertanya balik.

Ruby mengangguk, mengabaikan tanda tanya besar yang janggal dalam kepalanya. Ini sungguh, benar-benar sangat aneh, tetapi perasaan frustrasi ini juga bisa Ruby ingat, ketika ia mencoba membuktikan tulisan rahasia dan tidak terbukti keberadaannya.

Semua itu ... seolah hanya ilusi belaka.

Ditampar oleh berbagai hal yang membuat Ruby membeku, pikiran Ruby tiba-tiba terbuka ketika menyadari bahwa tangan hangat ayahnya menggapai tangan kanannya. Dilihatnya ayahnya yang memperhatikan jari-jarinya dengan begitu serius.

"Ayah ... kenapa?" tanya Ruby.

"Tidak apa-apa. Ayo, kembali tidur di atas," ajaknya.

"Aku sudah selesai menjahitnya," ujar ibunya.

Ayah Ruby berusaha mencairkan suasana. "Kalau begitu aku akan memakunya sekarang."

"Apakah setelah itu Ayah akan pergi?" tanya Ruby dengan sedih.

"Ayahmu tidak punya semangat lagi untuk berangkat, setelah tahu kalau kau sakit." Ibu Ruby mewakili ayahnya menjawab tanpa perlu diminta.

"Bukan begitu. Rombongan penebang lain sudah pergi. Aku tidak mungkin bisa menyusul mereka lagi," jawab ayahnya.

Jawaban ayahnya selalu berusaha terkesan tidak terlalu peduli, tapi Ruby tahu bahwa fakta itu tidak benar.

Ruby sangat senang dengan kehangatan ini. Ruby sangat merindukannya, meski ia tidak pernah kehilangan momen ini sesaat pun.

Tapi ... entah mengapa semua kehilangan yang Ruby ilusikan belakangan ini, membuat Ruby merasakan sedikit kekosongan yang seharusnya tidak ada? Bagaimanapun, itu hanyalah ilusi yang tidak sengaja Ruby lihat, ilusi yang tidak seharusnya ada.

Semoga kali ini, bukan ilusi.

Tbc

21 Juli 2022

a/n

Next chapter kali ye?

Iya ga ya?

Ok, c u

Aku mau lanjut nulis lagi, kalo ndak mager.

See you on my next chaps!

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro