05
Cahaya api di perapian lenyap. Hanya ada cahaya dari lampu minyak yang tadinya sempat Ruby taruh di atas lantai.
Perasaan Ruby sudah tidak enak sejak tadi. Ruby tahu itu. Kini, setelah tahu bahwa firasat buruknya benar-benar terjadi, Ruby mau tidak mau pun harus menghadapinya.
Ruby ingin datang menyusul ibunya, tetapi semua pandangannya menggelap. Karena itu, ia meraih lampu minyak, melangkah ke arah pintu yang ia hafal dengan jelas agar bisa segera menemukan ibunya. Persetan dengan para warga desa yang tidak ingin dirinya terlibat, bagaimanapun juga yang terpenting sekarang adalah bisa ada di dekat ibunya.
Lampu minyak cukup redup untuk beberapa alasan yang tidak diketahui. Ruby terus melangkah dan tidak kunjung sampai di pintu depan. Suara-suara para warga di depan sana juga sama sekali tidak terdengar, hanya ada suara hujan dan petir yang sesekali masih bergemuruh.
"Ibu ...."
Ini aneh, sangat aneh.
Ruby tidak bisa melihat apapun selain dari cahaya yang keluar dari lampu minyak yang dipegangnya. Sebenarnya, tanpa cahaya dari lampu minyak sekalipun, Ruby sangat yakin bahwa ia bisa mengingat semua letak dan posisi tempat di rumahnya. Ruby pernah mencoba menjelajahi semua bagian rumah dengan mata tertutup, karena sangat tidak menyukai warna matanya—bahkan berencana untuk hidup selamanya dengan mata tertutup hanya agar tidak akan ada lagi yang melihat matanya.
Jadi, jelas sekali ketidakmampuan Ruby untuk mencapai di pintu yang jaraknya hanya beberapa meter, membuat Ruby begitu bertanya-tanya.
"Ibu!" panggil Ruby lagi.
Namun, lagi-lagi tidak ada balasan dari ibunya. Atau siapapun.
Rumah Ruby juga tidak besar, tetapi mengapa usaha Ruby menjangkau pintu rumah membuatnya merasa tersesat di dalam rumahnya sendiri?
Sampai akhirnya, Ruby tersadar membawa lampu minyak di tangan kanan dan sebuah ember kayu di tangan kirinya.
... tunggu, ini ...
Ruby belum siap mencerna apa yang akan terjadi. Namun, dugaan terliarnya benar-benar terjadi.
Ruby kembali di ruang bawah tanah tempat penyimpanan kayu bakar. Ia bahkan tidak ingat sudah menuruni anak-anak tangga sebelumnya, jadi bagaimana mungkin dirinya bisa berakhir di bawah sini?
Segera, Ruby meninggalkan ember kayu dan mencari jalan keluar sekali lagi.
Ia termenung ketika melihat ibunya masih berjongkok di depan perapian, meletakkan kayu bakar di perapian.
"...Ibu?" panggil Ruby.
Ibunya menoleh, lalu menatapnya heran, "Lho, tidak jadi ambil kayu bakarnya?" tanyanya.
"Eh, itu ..." Ruby kehilangan kata-kata.
"Ibu mengerti, di bawah sana memang menakutkan. Kemari, kau jaga perapian saja, Ibu akan mengambilnya," ucap ibunya sambil mengulurkan tangan, meminta lampu minyak yang sedang dipegang Ruby.
Ruby yang penuh dengan kebingungan, menyerahkan lampu minyak dan langsung bertanya, "Ayah ... bagaimana?"
"Ayahmu masih belum pulang. Mungkin dia masih menunggu hujan reda," balas ibunya. "Ruby, tanganmu berdarah."
Ruby refleks menarik tangannya, memperhatikan jarinya yang memang tadi terluka karena tertusuk serat kayu. Tapi ... itu benar-benar terjadi? Itu bukan imajinasinya? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kau tunggu di sini sebentar, Ibu akan mengambil alat-alat Ibu," sahut ibunya.
"Perapiannya—"
"Kita bisa menyalakan perapiannya lagi nanti, tapi jika lukamu tidak segera diobati, lukanya bisa menjadi lebih parah lagi," ucap ibunya.
Ruby benar-benar ingin menangis. Ia sangat menyayangi keluarganya, dan tahu bahwa ibunya juga menyayanginya sebesar dirinya, membuatnya terharu. Ia juga sangat lega karena tidak ada hal buruk yang terjadi, seharusnya.
Tak lama kemudian, ibunya kembali bersama dengan alat-alat jahitnya. Mereka duduk di depan perapian yang sudah nyaris padam, tetapi itu tidak membuat niat ibunya berhenti.
"Kita akan lakukan ini dengan cepat, Ruby tahan ya."
Ibunya mengeluarkan jarum, mendekatkan pandangannya pada jari Ruby yang masih menyisakan serat kayu yang tajam dan berhasil mengeluarkannya dalam sekali tusukan. Ruby hanya meringis sedikit, karena selanjutnya rasa sakit di jarinya benar-benar lebih baik dibandingkan sebelumnya.
"Terima kasih, Ibu," ucap Ruby setelah ibunya selesai mengikat kain pada jari Ruby.
"Mengapa berterimakasih? Ini tugas Ibu, jadi kau tidak perlu berterimakasih." Ibunya mengambil lampu minyak dan berdiri. "Ibu akan mengambil kayu bakar di bawah. Kau tunggu di sini."
Ruby juga tidak mengerti mengapa ia harus tetap berada di sini. Ia bisa saja membantu ibunya mengambil kayu bakar di ruang bawah tanah. Namun, Ruby juga tidak ingin turun ke bawah untuk beberapa alasan. Lebih baik ia menunggu ibunya mengambil kayu bakar, lalu menyalakan perapiannya kembali bersama-sama.
Itu yang Ruby pikirkan, sampai akhirnya suara ketukan pintu datang di tengah hujan badai.
TOK! TOK!
Ketukan yang sama sekali tidak membuat Ruby antusias sedikitpun.
Ruby benar-benar tidak ingin membuka pintu itu, tapi bagaimana jika ayahnya yang pulang? Itu artinya ia durhaka karena membiarkan ayahnya kehujanan lebih lama.
Tapi bagaimana jika itu bukan ayahnya? Bagaimana jika itu adalah warga desa yang datang untuk mengabarkan berita duka?
Semua kejadian yang terjadi saat ini persis seperti apa yang terjadi tadi. Ruby tidak tahu apakah itu halusinasi belaka, tetapi semuanya sangat nyata dan itu menakutkan baginya.
Namun pada akhirnya, Ruby tetap harus menghadapi kenyataan.
Ia mampu mencapai pintu dalam kegelapan, membuka pintunya dan harus menelan kepahitan yang dalam ketika menyadari bahwa siluet yang datang kepadanya adalah siluet ramai yang tidak menyenangkan.
Warga desa.
"Mengapa malah anak ini yang—sudahlah. Dimana ibumu?" tanya salah satu orang di sana.
"Apakah pantas kau bilang begitu? Dia bahkan bukan anaknya."
Ruby langsung menatap tajam sumber suara, tepat ada di depannya. Sayangnya, Ruby tidak bisa melihat wajah orang yang mengatakan begitu, karena masih ada di kegelapan. Ruby yang baru saja membuka pintu pun harus menerima keberkahan hujan karena arah hujan memang tak menentu akibat badai.
"Kalaupun mereka berdua tidak tahu harus mencari anak asuh dimana, tidak seharusnya juga mereka sembarangan memungut anak terbuang dari Negeri Ilusi."
Rumor yang selalu didengar Ruby akhirnya harus terdengar lagi olehnya hari ini.
Bahwa dirinya adalah anak yang dibuang oleh orang-orang dari Negeri Ilusi. Negeri itu seperti namanya, hanya ilusi belaka. Katanya, negeri itu dibawahi oleh Kerajaan Ilusi—yang sampai sekarang masih menjadi mitos dan cerita rakyat di desa ini. Mereka juga percaya bahwa hutan yang ada di belakang rumah Ruby adalah tempat dimana Kerajaan Ilusi berdiam.
Meskipun tidak ada yang benar-benar pernah melihat Kerajaan Ilusi secara langsung, mereka semua percaya bahwa semua rakyat yang tinggal di kerajaan itu memiliki manik mata berwarna merah.
Sama seperti warna mata yang dimiliki Ruby.
Ruby pernah mendengar rumor bahwa ayahnya menemukannya di hutan itu, lalu mengasuh dan merawatnya bersama ibunya. Namun mereka berdua sudah membantah mengenai hal itu. Ruby adalah putri mereka dan itu yang akan selalu Ruby ingat.
"Kalau mereka punya telinga untuk mendengarkan pendapat kita, mereka pasti akan mendengarkannya dari dulu, tapi apa yang bisa kita lakukan? Mereka mengancam akan pergi dari desa ini jika kita tidak menerima anak buangan ini."
...Ya ..., seperti itu.
"Dimana Ibu asuhmu?"
Ruby hanya diam, tidak mampu menjawab celaan mereka. Ia mencoba untuk tetap tenang dan tidak terlalu mempedulikan kata-kata buruk yang mereka keluarkan.
"Ada apa?" tanya Ruby.
"Kau tidak perlu tahu, ini tidak ada urusannya denganmu."
Salah satu dari mereka mencoba masuk dan langsung mendorong bahu Ruby, membuat gadis itu terjatuh ke lantai. Ruby akan terus mengingat hal yang dilihatnya saat ini. Dari perspektifnya, orang-orang itu terlihat sangat besar dari bawah. Kilatan petir membuat Ruby melihatnya semakin jelas. Ia merasa seperti tengah disudutkan, seolah eksistensinya begitu tak diinginkan.
Ruby tersadar begitu mendengar suara barang-barang jatuh dari dalam rumahnya.
"Apa yang kalian lakukan dengan putriku?!" Ibunya datang menghampiri mereka, lalu berdiri di depan Ruby untuk melindunginya.
"Kami datang di tengah hujan badai begini, sementara putri Anda tidak menawarkan kami untuk masuk ke dalam."
"Itu pantas, kami yang mengajarkannya untuk tidak membiarkan orang lain masuk tanpa persetujuan kami," jawab Ibu Ruby dengan tidak suka. "Untuk apa kalian kemari?"
"Suami Anda hilang."
Ruby membulatkan mata.
"...apa?" Suara Ibu Ruby berubah parau.
Tidak, tidak, tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi.
"Hari ini para penebang menebang di area pegunungan. Longsornya terlalu tiba-tiba, banyak dari mereka yang tidak berhasil melarikan diri. Semua tubuh penebang lain sudah ditemukan. Hanya suami Anda yang belum ditemukan."
Setelah ini, akan ada petir besar yang datang untuk membuat situasi ini semakin dramatis.
JDAAAR!!!
Dan suara petir itu benar-benar datang lagi, setelahnya membuat keheningan di rumah itu benar-benar terasa begitu nyata.
Tidak mungkin. Itu hanya halusinasinya belaka, hanya ilusinya! Tidak mungkin tiba-tiba menjadi nyata!
Ruby mulai berkeringat dingin, berharap menemukan dirinya terbangun dalam tidurnya, tetapi itu tidak terjadi. Tubuh ibunya mematung di depannya, membuat tangan Ruby yang gemetar berusaha menjangkau bahu ibunya.
Namun, belum sempat Ruby sempat menjangkaunya, tangan Ruby ditangkap oleh salah satu warga desa itu, membuat Ruby teramat terkejut.
"Ini pasti karena kalian mengasuh anak pembawa sial ini!"
"Le-lepaskan putriku!" pinta ibu Ruby sambil berusaha menarik tangan warga desa itu, tetapi usahanya gagal karena tiba-tiba banyak yang menarik Ruby, memaksanya untuk masuk ke dalam rumah.
Ruby tidak ingat detailnya, tetapi Ruby tiba-tiba mencium aromanya tidak begitu Ruby sukai. Tubuhnya membeku ketika menyadari aroma minyak menguar dari sekitarnya. Mereka menemukan gentong tempat keluarga Ruby menyimpan minyak-minyak yang begitu terlarang dan tabu, tempat yang bahkan Ruby juga tidak tahu dimana orangtuanya menyembunyikannya.
Samar-samar, Ruby bisa mendengar suara jeritan ibunya yang begitu frustrasi dari luar rumahnya.
Kini, karena ada salah satu warga yang memegang lampu minyak, Ruby bisa melihat jelas bagaimana rupanya dan Ruby berjanji tidak akan melupakannya. Jika ia menjadi roh penasaran, ia akan menghantui semua generasinya, itu janji Ruby.
"Sampai jumpa di Neraka Ilusi."
Ia melemparkan lampu minyak itu di dekat Ruby.
Ruby terjebak dalam api, hal yang sama seperti mimpinya tadi malam.
... semua mimpi dan halusinasi buruknya menjadi nyata. Ruby benci kenyataan itu.
Yang bisa Ruby lakukan saat ini adalah menjauh dari segala hal, karena api sudah mulai menyala berkobar nyata di depannya.
"RUBY!" jerit ibunya.
Suhu panas yang bisa dirasakannya di dekat api, semuanya begitu nyata. Semua detailnya begitu persis. Apakah siluet yang sama akan datang menghampirinya? Ataukah itu hanya siluet para warga desa yang hanya ingin memeriksa dirinya masih bernapas atau tidak? Ruby tidak tahu.
Ruby tidak akan meminta tolong dengan begitu frustrasi sebagaimana yang dilakukannya dalam mimpinya.
Hal yang jelas diketahuinya saat ini dan mungkin satu-satunya yang membuatnya lega adalah ... Ayah dan ibunya tidak terjebak dalam lautan api yang sama.
Kekhawatiran Ruby di mimpinya, hanya itu, tidak lebih.
.
.
.
"Ruby, kau bermimpi buruk?"
Tangan hangat ibunya menjangkau kedua tangannya. Ruby langsung tersadar kembali, menatap langit-langit kamarnya dalam keremangan malam dan wajah ibunya yang tampak begitu khawatir.
... tidak, bukan seperti ini.
Bukan seperti ini!
"Itu ... hanya mimpi?" tanya Ruby dengan ngeri. Lagi?
"Benar, hanya mimpi. Apa yang kau sebenarnya mimpikan?" tanya Ibu Ruby sambil mengusap lembut wajahnya, menyingkirkan anak-anak rambutnya yang tidak beraturan. "Sampai keringat dingin begini," tambah ibunya.
Seharusnya di pertanyaan ini, Ruby menjawab hal yang sama, "Aku terjebak di dalam api." tetapi Ruby tidak ingin mengulang semua mimpi buruknya.
"Dimana Ayah?" tanya Ruby.
"Kau bermimpi buruk tentang Ayah?" tanya ibunya sambil mengelus lembut kepalanya.
Ruby mengangguk, tidak sepenuhnya berbohong. "Apakah aku boleh tidur dengan Ayah dan Ibu hari ini?" tanyanya.
"Hm? Sudah berapa tahun berlalu sejak kau meminta kamar barumu sendiri?" tanya ibunya sambil tertawa. "Sampai kapan kau akan manja begini?"
"Ibu tidak suka memanjakanku?" tanya Ruby.
"Ibu suka, rasanya seperti kembali ke masa lalu," jawab ibunya. "Ayo, Ruby, malam ini kau tidur dengan Ayah dan Ibu."
Ruby melirik lampu minyak yang dibawa oleh ibunya, melihat detail bahwa itu adalah lampu minyak yang sama dengan yang dipecahkan oleh warga desa di dalam mimpinya.
Ruby bahkan tidak yakin itu hanya mimpi. Semuanya sangat nyata.
... bahkan jika ini hanya mimpi, Ruby ingin menghabiskannya lebih lama dengan Ayah dan ibunya.
Ruby meringis pelan ketika mengandeng tangan ibunya, menyadari ada sesuatu yang menyakitkan di jemarinya.
"Ruby, jarimu berdarah."
Ruby kembali melihat setitik darah di tangannya, lagi.
Tbc
17 Juli 2022
a/n
Illusion has started, ehehe.
Kemarin aku pernah bilang kepada teman sesama penulisku (dan entah kenapa aku yakin dia bakal baca cerita ini meskipun aku sudah minta dia jangan baca) kalau aku bakal munculin deutragonisnya di chap 5. Enggak kesampaian ternyata, ahahah.
Kalian harus tahu sesuatu sih. Setiap kali aku meminta kalian membantuku memberikan judul untuk ADK, aku belum benar-benar menyelesaikan plotline, karena itu sangat mudah bagiku untuk menyesuaikan cerita berjalan seperti nama kerajaannya.
Kerajaan Ilusi adalah nama kerajaan yang kalian berikan kepadaku juga dulu (kalau kalian ingat, sih). Sayangnya waktu itu yang menang adalah Kerajaan Cahaya, jadi aku membuat cerita berdasarkan namanya. Ilusi dan Kilau sama-sama adalah nama kerajaan dengan vote terbanyak setelah Cahaya, ofc akan kugunakan baik-baik.
Karena kalian sudah tahu, aku akan mengucapkan thank you in advance, karena sebenarnya kalian juga ikut andil dalam pembuatan cerita ini.
Aku akan berusaha mengetik lagi besok, dan semoga aku bisa update lagi, ya.
See you again!
<3
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro