Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02


Ruby tidak punya teman, jadi ia sering sekali menghabiskan waktunya untuk membaca. Ibunya yang mengajarkannya cara membaca, meskipun ibunya sendiri hanya mengerti beberapa huruf dasar dan perhintungan sederhana.

Buku-buku masa lalu dan yang akan terbit tidak ada habisnya. Ruby tahu bahwa dirinya tidak akan bisa membaca semuanya seumur hidupnya, maka daripada itu untuk memenuhi rasa penasarannya, dirinya mulai membaca sejak dini.

"Gerakanmu salah! Seharusnya kau mengayunkan tanganmu seperti ini!"

Seruan itu membuat Ruby yang sedang membaca buku di balik pohon pun  sedikit terganggu. Kerutan heran di kening Ruby timbul lagi. Ia mengalihkan pandang, memperhatikan anak-anak desa lain yang sedang latihan menari. Perhari ini adalah hari pertama para bangsawan dari negeri sebelah memulai perjalanan mereka ke Kerajaan Kilau dan itu artinya hari kedatangan bangsawan semakin dekat.

Ruby sebenarnya masih ingin bergabung berpartisipasi menyambut para bangsawan yang datang, karena bagaimana pun juga desa ini akan menjadi jalur utama dan mereka pasti akan bermalam di sini selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan. Namun, Ruby tidak bisa mendapatkan kesempatan itu.

"Stt, jangan terlalu berisik, dia sedang melihat ke arah kita."

Kalau saja Ruby punya pilihan untuk tidak ke sini, Ruby juga ingin membaca buku di atas tempat tidurnya yang empuk. Ada beberapa hal yang menghalanginya; Pertama, ibunya memintanya untuk bermain di luar. Bermain. Itu saja sebenarnya sudah tidak masuk akal karena Ruby sudah empat belas tahun dan dia tidak punya teman.

Kedua, Ruby baru saja mendapati bahwa buku tentang arah mata angin yang ditulis oleh seorang pelaut ternyata memiliki pesan rahasia. Jika buku itu dibaca di bawah sinar matahari, Ruby bisa menemukan tulisan yang menggunakan bahasa imperial kuno. Ruby sudah mencoba menerjemahkannya, tetapi dia belum kunjung mengerti. Ruby menyimpulkan bahwa itu adalah bahasa imperial kuno karena memang hanya abjad imperial kuno-lah yang belum pernah dilihatnya selama ini.

Karena masih sangat penasaran, dia masih belum meminta buku baru kepada ayahnya. Oh, juga, buku ini sudah tujuh hari bersamanya. Lima hari telah dihabiskan untuk membaca teori mata angin yang katanya konsisten tidak akan berubah, kecuali jika ada pergerakan matahari—inti dari ratusan lembar kertas hanya itu—dan dua hari lainnya untuk mencoba mengerti pesan rahasia itu, tetapi buntu karena tidak ada satu pun bukunya yang bisa dijadikan petunjuk cara membacanya.

Ketiga—

"Mengapa dia masih melihat ke arah kita?" bisikan anak desa itu terdengar oleh Ruby, membuat dirinya terheran lagi.

Padahal, Ruby hanya sedang melamun. Percaya diri sekali mereka.

Segera, Ruby beranjak naik dari rerumputan empuk yang didudukinya, lalu membuang muka dan mengambil langkah besar untuk menjauhi tempat itu. Namun, dalam perjalanannya meninggalkan tempat itu, Ruby bisa mendengar bisikan mereka membicarakan tentangnya.

"Angkuh sekali dia. Padahal kata ibuku, dia cuma—"

Tidak perlu didengarkan. Tidak perlu penasaran.

Karena tanpa perlu diberitahu pun, Ruby sudah tahu apa yang akan mereka ucapkan. Kata-kata yang menyakitkan dan hanya akan melukai dirinya sendiri. Yang seperti itu memang tidak seharusnya Ruby dengarkan sampai selesai, tapi—

"Cepat sekali kau pulang."

Ruby meletakkan buku itu di atas meja, memperhatikan sejenak ibunya yang berhenti menjahit karena tak mendapat balasan dari putrinya.

"Kenapa?" tanya ibunya.

"Apa aku bukan anak Ayah dan Ibu?" tanya Ruby langsung pada intinya.

"Oh, itu lagi." Ibunya malah beralih pandang dan kembali menjahit sepatunya, sudah bosan dengan pertanyaan berulang yang terus ditanyakan. Ruby memang sudah menanyakannya berulang kali sejak dirinya masih belia. "Siapa yang bilang begitu?"

"Orang-orang di desa," jawab Ruby.

"Bukan mereka yang melahirkanmu," sahut ibunya dengan tenang dan tetap menjahit.

"Tapi, aku tidak mirip dengan Ibu."

"Kau mirip dengan Ayah," jawab ibunya.

"Warna rambutku tidak mirip dengan milik Ayah atau Ibu." Ruby mengangkat rambut hitamnya, lalu menghempaskannya dengan asal seolah rambutnya tak seberapa berharga.

"Rambutmu sama dengan milik Ayah, tapi warna rambut Ayah berubah karena terkena matahari," balas ibunya lagi.

"Warna mataku—" Ruby memejamkan matanya erat-erat, menghalangi ibunya melihat sesuatu yang selama ini dibenci dirinya sendiri. "Mengapa hanya aku yang warna matanya merah?"

"Itu anugerah dari dewa. Warna matamu memang unik dan berbeda daripada yang lain." Tangan ibunya menjangkau kepalanya untuk mengelusi rambut hitamnya.

"Menurut buku yang kubaca, genetika tidak bisa hanya dimanipulasi oleh anugerah dewa. Semua anak-anak di desa juga seperti itu, semuanya punya warna mata dan warna rambut yang sama dengan salah satu orang tua mereka."

Ibu Ruby meletakan jarum besar di atas meja, lalu menatap Ruby dengan serius, "Lupakan apa yang mereka katakan. Ruby, kau adalah anak Ayah dan Ibu."

Itu jawaban yang selalu diucapkan oleh ibunya, berulang kali. Meskipun memang ia begitu dicintai oleh kedua orangtuanya tanpa syarat, tanpa kekurangan, Ruby tetap saja merasa janggal. Aneh. Apakah memang begitu kenyataannya? Namun buku yang dibacanya tentang genetika adalah buku yang sudah diresmikan dan diterapkan bahkan sebelum mereka semua tahu tentang genetika.

Ruby juga beberapa kali mengajukan pertanyaan serupa kepada ayahnya. Namun, jawaban ayahnya lebih berbeda. Ruby hanya pernah menanyakannya sekali dan itu akan selamanya menjadi pengalaman yang tidak bisa dilupakannya.

Ayahnya hanya membantah dengan kata, "Mengapa kau berkata begitu? Tentu saja kau adalah putri Ayah." dan setelah itu, setiap malamnya ayahnya akan datang ke kamarnya untuk berbincang sedikit—yang mana halnya sangat aneh bagi Ruby, karena ayahnya tidak punya waktu seluang itu untuk memeriksanya tiap malam—mungkin mengira bahwa Ruby akan pergi dari rumah.

"Jadi, apakah kau jadi mengikuti seleksi untuk menari?" tanya ibunya, mengalihkan perhatian.

"Sebelum sempat mendaftar, aku langsung ditolak oleh kepala desa, katanya putaranku tidak sempurna. Mungkin dia menolakku karena aku lebih mencolok daripada putaran putrinya yang payah itu. Satu desa sudah tahu, dia baru saja habis membelikan pakaian baru untuk anaknya ketika menari nanti. Dia sangat ingin putrinya mencolok di acara itu," oceh Ruby panjang lebar.

"Oh? Dia baru membeli pakaian baru?"

"Iya, memangnya Ibu tidak tahu?" tanya Ruby.

"Tidak. Yang Ibu dengar dari Ayah, penyakit kulit putrinya kambuh lagi, jadi dia hendak meminjam uang untuk pengobatan anaknya."

"Kuharap Ayah bisa ikut bersama denganku tadi, ketika anak itu menari dengan sehat," gerutu Ruby. "Aku tidak suka mengadu, tetapi Ayah akan tetap meminjamkannya, kan?"

"Ayah sudah meminjamkannya," koreksi ibunya yang membuat Ruby menghela napas lelah. "Tapi kalau kau memang sangat ingin mengikuti seleksi, ayahmu bisa berbicara lagi dengan kepala desa."

Ruby langsung mengibaskan tangan, "Tidak perlu repot-repot, Bu. Aku hanya ingin melihat bangsawan dan sebenarnya aku bisa melihatnya tanpa harus ikut menari."

Sebenarnya, hidup ini sangat sederhana. Ruby tidak mau ambil pusing juga. Keuntungan orang-orang yang menari hanya karena mereka bisa berkeliaran bebas sesuka hati di area camp ketika para bangsawan sedang bermalam. Di luar daripada itu, tidak ada yang boleh masuk karena akan dianggap penyusup atau pembunuh bayaran. Ruby tidak butuh keuntungan yang satu itu, karena belum tentu para bangsawan yang ditemuinya nanti bersedia mengobrol dengannya.

Itu bukan masalah besar. Yang terpenting saat ini adalah suasana hati Ruby sudah jauh lebih membaik setelah berbicara dengan ibunya. Ia tahu, ibunya akan membela dan menghiburnya apapun yang terjadi.

"Tapi bukankah kau ingin melihat mereka lebih dekat? Apa kau tidak penasaran?" tanya Ibu Ruby yang sepenuhnya mengerti sebesar apa rasa penasaran yang dimiliki putrinya.

"Aku bisa mengobservasi dari jauh, itu tidak masalah," jawab Ruby dengan santai.

Gadis itu meraih buku arah mata angin yang tadinya diletakan di atas meja, hendak berjalan ke arah kamar, sebelum akhirnya langkahnya terhenti mengingat bahwa dirinya mungkin saja akan membaca buku itu sembari berbaring di atas tempat tidurnya ..., tepat di atas pintu rahasia itu.

"Kenapa?" tanya ibunya lagi, membuyarkan pemikiran Ruby.

"Tidak, bukan apa-apa," jawab Ruby dengan gugup, tidak ingin ibunya curiga dengan sikapnya barusan. Ruby tertawa pelan sembari bercanda, "Aku bersyukur bahwa aku adalah anak Ayah dan Ibu, karena kalau bukan, mungkin aku adalah rakyat Kerajaan Ilusi?"

Ibunya berhenti menjahit, lagi.

Sadar bahwa ibunya bukan tipikal orang yang mengikuti berita dengan cepat, Ruby langsung menjelaskan, "Menurut kabarnya, semua rakyat Kerajaan Ilusi memiliki manik mata berwarna merah. Kebetulan sekali, aku juga sama."

"Ruby, Kerajaan Ilusi hanyalah mitos. Mereka adalah ilusi, seperti namanya."

Ruby masih bisa menjawab dengan sedikit tawa memaksa, "Iya, aku tahu."

"Jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi."

Hanya perasaan Ruby, tetapi ibunya bersikap sangat aneh. Ibunya kembali menjahit sepatunya dalam diam, tetapi kali ini Ruby bisa merasakan dengan jelas bagaimana perubahan suasana hati ibunya.

Untuk beberapa alasan, rasa penasaran Ruby malah semakin bertambah.

Tbc

9 Juli 2022

a/n

Aku update ini jam 1 pagi, maka sudah dipastikan aku ngalong, padahal sudah lama paus tidak kalong.

Aku pengin ngobrol sama kalian, tapi sumpah aku ngantuk banget. Silakan kalian komen aja ya, soalnya aku besok kudu bangun dan kudu nulis cerita ini / princess lagi.

Iya, gampang ini mah. Gampang ketebak kan yaaaa, yuk yuk baca ajaaa.

Ga janji bisa bikin plottwist yang wadidaw, as long as you all happy deh.

Paus bobok duluu!

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro