Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 | LET IT BE...


Gagal itu hal lumrah, yang hancur hanya rencana, bukan masa depan
_____SAMBUNG RASA____


Ashila pikir setelah menerima pinangan Sagara, semuanya akan berjalan tanpa hambatan sesuai dengan apa yang pernah dia bayangkan; menemukan jodoh, menikah, and happily ever after. Ternyata tidak sesimpel yang dia rangkum dalam benak. Nyatanya hambatan terbesar justru datang dari dalam dirinya sendiri yang masih dipeluk keraguan. Shila tidak akan menampik semua pesona yang terpancar dari seorang Sagara Dhaniswara. Ganteng, sholeh, sangat menghargai perempuan, kurangnya cuma satu; sampai detik ini Ashila belum merasakan chemistry bersama Sagara.

Pinangan telah diterima. Tanggal pernikahan telah ditentukan. Semua persiapan telah dicicil, tapi justru Ashila dipeluk kegamangan dalam hati. Apa benar dia mau menikah dengan Sagara? Laki-laki yang baru dikenal dalam hitungan bulan lewat perantara papanya.

"Mau cari yang bagaimana lagi Nak? Sagara itu baik, Sholeh, punya pekerjaan tetap. Papa sangat menyukainya sejak pertama mendengar bacaan Alqurannya. Katanya Shila mau belajar hijrah? Sagara adalah laki-laki tepat untuk membimbing Shila nantinya."

Itu adalah kalimat Deas - papa Shila beberapa bulan lalu sebelum mempertemukan Shila dengan Sagara.
Terhimpit keadaan yang memaksa Shila akhirnya mau bertemu dengan Sagara atas saran papanya. Dua kali bertemu di acara pengajian, Shila tersenyum sendiri menyaksikan sosok Sagara ternyata mutlak persis seperti yang papanya jabarkan. Lelaki itu sangat santun dan tuturnya sangat halus. Shila mungkin merasakan debar -debar aneh menjalar di aliran darah, khas perempuan jika sedang terpesona dengan lawan jenis.

Pertemuan ketiga Deas langsung menodong Sagara jika serius dengan putrinya, maka lelaki tiga puluh tiga tahun itu dipersilakan datang ke rumah menyambung pembicaraan yang lebih serius. Pintu rumah Deas selalu terbuka kapan pun. Kata papanya.

Shila pikir itu hanya basa-basi biasanya. Nyatanya Sagara menanggapi dengan sangat serius. Lelaki itu datang dan menyatakan ingin meminangnya. Ashila terkejut dengan keberanian Sagara, meski masih kaget dia tidak bisa menampik kekaguman pada laki-laki berkulit putih bersih itu. Ashila menerima, walau hatinya belum sepenuhnya yakin. Dia pikir perasaan cinta akan tumbuh seiring waktu. Begitu yang orang-orang sering bicarakan jika ada pasangan menikah lewat jalur perjodohan.

Ashila juga sudah lelah setiap kali berkumpul dengan keluarga besar dari pihak mama Diandra ataupun mama kandungnya- Rahila, semua orang seakan berpusat padanya dengan memberi banyak rentetan pertanyaan-ah-bukan pertanyaan tapi mirip sebuah cecaran; kapan nikah? Shila sudah 30 tahun kok belum ada tanda-tanda mau sebar undangan?

Pertanyaan itu terus yang merasuki sepasang indera pendengaran Shila. Terganggu? Pasti. Rasanya sangat risih sekali. Seolah-olah dia mendapat cap sebagai perawan tua yang tidak laku. Padahal apa salahnya masih melajang di usia 30 tahun? Shila enjoy menjalaninya. Orang lain saja yang suka usil dan memberi komentar buruk tanpa mereka sadari kalau itu menyakiti mental seseorang.

Shila menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia telah rapi dengan setelan kulot longgar dipadu long tunik toska bermotif horizontal. Rambutnya yang sebahu dikuncir cepol dan tertutup pasmina senada kulotnya. Sudah dua bulan ini Ashila memutuskan memakai hijab, sama seperti sepupunya Azalea. Jika Lea sudah biasa berhijab sejak kecil, Shila justru baru bergerak hatinya baru-baru ini.

Ashila telah siap untuk bertemu Sagara. Bakda magrib ini, keduanya akan mendatangi salah satu mall untuk berburu rangkaian seserahan. Dua kali absen saat fitting baju akad dan saat tasting food vendor katering, kali ini Shila tidak bisa mengelak lagi.
Sebenarnya Shila ingin meminta Lea menggantikannya lagi, tapi Sagara menolak keras. Tidak enak dengan Lea jika direpotkan terus. Lagipula seserahan yang dipilih harus sesuai dengan kemauan Shila sendiri, masa iya harus diwakilkan Lea lagi?

"Kak Shila, assalamualaikum." Suara salam disertai ketukan pintu di depan kamar membuyarkan lamunan Shila.

"Wa'alaikumussalam Le, masuk aja enggak dikunci kok," balas Shila.

Kenop pintu diputar, sejurus Lea muncul dengan senyum dan langkah menghampiri Shila. "Kak, acara apaan sih? Kok minta temenin Lea?" Lea bertanya penasaran. Siang tadi Ashila menelpon, sepupunya itu minta ditemani ke sebuah acara bakda Magrib hari ini. Lea yang sudah terbiasa menjadi partner dadakan si Kaka Sepupu sama sekali tidak keberatan dan mengiakan.

"Nanti juga tau, Le." Shila menyahut singkat. Setelah memastikan penampilannya oke, gadis itu beranjak dari depan meja rias. Shila menyambar hand bag yang tergeletak di ranjang, kemudian isyaratkan pada Lea untuk beranjak.

"Kita jalan sekarang? Yang nyetir siapa, Kak?" Tanya Lea sembari melangkah beriringan.

"Bukan gue ataupun elo, Le," sahut Shila.

Lea tertawa pelan. "Ooh, kita ngegrab ini, Kak?"

"Enggak, udah ayo jangan bawel, Le." Tangan Shila mengamit lengan Lea. Keduanya pamit Diandra yang sedang menyiapkan makan malam di dapur bersih.

"Saga-nya sudah standby itu di depan. Lagi ngobrol sama papa." Informasi yang ditebar Diandra sontak membuat Lea membeliak. Refleksnya menoleh Shila dengan tatapan menyelidik, seakan ingin melempar tanya; "Kak, apa-apaan sih? Kenapa gue dilibatkan lagi?" Tapi hanya tertahan di hati karena tidak enak dengan mama Diandra. Keduanya salim tangan lalu melangkah ke ruang tamu.

"Papa, Shila jalan dulu ya." Ashila langsung pamit pada papanya. Sementara itu Lea refleks menatap Sagara yang duduk di sofa tunggal sedang mengobrol dengan papa Deas. Bersamaan Sagara menatap ke arahnya, pandangan keduanya terkunci untuk beberapa saat, sampai Lea memilih melabuhkan matanya ke arah lain.

"Sama Lea juga perginya?" Deas bertanya heran. Shila mengangguk di antara senyum.

"Kata Papa perempuan enggak boleh berduaan sama laki-laki. Nanti yang ketiganya syaitan, makanya Shila ajak Lea buat nemenin." Alibi Shila.

Lea tertegun. Ini apa-apaan sih? Shila benar-benar keterlaluan. Melibatkan dirinya saat jalan berdua dengan Sagara? Situasi gila yang pernah Lea temui.

"Kak, Lo nyamain gue sama syaitan?" Alih-alih marah, kelakar bernada protes yang keluar dari bibir Lea.

Shila tertawa. "Ya enggak lah, Sayang. Lo adek kesayangan gue. Makanya temenin gue ya." Shila merangkul pundak Lea.

"Om, saya pamit bawa Shila dan Lea. Begitu urusan selesai langsung saya antarkan keduanya pulang." Sagara beranjak, salim tangan pada Deas.

"Papa Deas, Lea pergi dulu ya, nemenin Kak Shila." Lea menyusul salim tangan, dan terakhir Shila.

Ketiga melangkah beriringan menuju Hyundai Palisade putih milik Sagara.

"Le, aja yang duduk depan ya. Gue suka ngantuk kalau di depan." Shila berkata seraya membuka pintu tengah mobil. Lea menggeleng keras.

"Kak, Lo apa-apaan sih. Yang pantas di depan ya Lo, calon istrinya Mas Saga." Tolak Lea.

"Sudah, kalau kalian tidak mau di depan, berdua di tengah tidak apa-apa." Putus Sagara.

"Tuh, dengar sendiri Le. Mas Saga baik kok, enggak keberatan kalau gue duduk di tengah."

Lea tidak perlu mendapat penjelasan tentang betapa baiknya sosok Sagara. Tetapi tidak seharusnya Shila bersikap semaunya sendiri. Mereka mau menikah, harusnya apa-apa diputuskan berdua, bukan condong ke salah satu, kan?

Mengalah, akhirnya Lea menempati bangku kosong di sisi kemudi. Persis di sebelah Sagara, duduk dengan perasaan tak menentu.

"Sabuk pengamannya jangan lupa dipakai ya, Lea." Suara lembut Sagara kembali menyambangi telinga Lea. Sontak kenangan lalu mampir tanpa permisi menjejali otaknya. Pesan yang sama persis setiap kali berada dalam satu kendaraan dengan Sagara.

"Kita mau ke mana dulu, Mas?" Shila membuka percakapan setelah hening beberapa saat. Mobil telah berjalan kurang lebih 10 menit meninggalkan kediaman Deas.

"Sebentar Shila, ada yang perlu diluruskan." Sagara berkata di antara fokusnya pada roda kemudi.

"Apa, Mas?" Tanya Shila.

Lea memilih diam dan menyimak.

Sagara menoleh sepintas pada Lea. "Lea keberatan atau tidak ikut menemani kami hari ini?" Pertanyaannya tertuju pada Lea.

"Ya pasti enggak keberatan-lah, Mas. Lea mau, kok." Shila menukas. "Iya, kan, Le?" Imbuhnya seraya melirik di adik sepupu dari bangku belakang.

Lea dicekam bimbang. Kalau dia tahu dari awal jika acara yang dimaksud Shila adalah jalan bersama Sagara untuk berburu rangkaian seserahan serta souvernir nikahan, pasti Lea akan tegas menolak ikut serta. Lea pikir seperti biasanya, Shila meminta ditemani ke acara makan malam atau hunting sesuatu.

"Shila, kalau Lea keberatan ikut, kita tidak boleh memaksanya." Sagara kembali berujar. "Lea, kalau kamu keberatan, saya bisa antarkan pulang sekarang juga." Tipikal Sagara yang selalu memikirkan perasaan orang lain.

Lea menggeleng. Dia dalam keadaan rumit. Menolak ikut salah, ikut pergi juga bukan sebuah keputusan tepat. Karena Lea tahu, setelah pulang nanti ada perasaan nyeri yang mendera akibat bersinggungan lagi dengan Sagara.

"Enggak papa, Mas. Lea temani kalian nyari seserahan." Lea tertawa dalam hati. Menertawakan dirinya sendiri yang seperti manusia bodoh. Mirip kerbau dicucuk hidungnya karena segan menolak kemauan Shila. Hidup memang sebercanda ini. Dulu, dia yang digadang menjadi calon pengantin Sagara Dhaniswara, sekarang, dia menjadi orang asing yang akan menyaksikan Sagara menikahi gadis lain. Ironinya gadis itu sepupu Lea sendiri.

"Tuh, kan, apa aku bilang Mas. Lea pasti mau. Makasih ya, Lea Sayang." Tangan Shila melingkar di sandaran kursi Lea saat berkata.

Lea hanya menampilkan senyum tipis tanpa berkata-kata. Tidak ada yang tahu ads gejolak yang menggelegak di dalam hati kecuali dirinya sendiri. Afirmasi positif dia rapalkan berulangkali dalam hati; biarlah, yang hancur hanya rencanaku. Qadarullah jika memang harapan bertemu Mas Saga dalam keadaan yang sama seperti dulu tidak tercapai. Masih ada masa depan yang bisa kutata

_____







Katakan sesuatu untuk Lea?

Untuk Ashila?

Untuk Mas Saga?









04-Ramadhan - 1444 H

26-03-23
1466

Tabik
Chan






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro