Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 - Musim Gugur dan Tentang Kau

"Seo Jihyun!?" pekik Daejoon kala tubuhnya telah mendekat pada sebuah mobil yang sudah berasap. Mata Daejoon mengerjap sekali lagi untuk memastikan bahwa apa yang ditangkap oleh iris hitamnya bukan sebuah kekeliruan.

Ia sontak membeliak begitu sosok yang terjebak di dalam kendaraan itu benar adalah sahabatnya. Daejoon berusaha membuka handel pintu dari luar, tapi seberapa keras usahanya pun tidak akan berhasil. Lelaki itu mengetuk jendela berulang kali, gerakan tangannya begitu cepat guna menyadarkan Jihyun seraya terus meneriaki nama sang sahabat. Tidak ada respons setimpal dari Jihyun, tubuhnya sudah terkulai lemah.

"Tidak ... tidak," ujar Daejoon dengan bibir bergetar.

Pandangan lelaki itu gusar, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri hendak mencari sesuatu. Iris hitamnya mendapati sebuah benda tumpul yang cukup keras dan ia meraih benda tersebut tanpa berpikir panjang. Daejoon menggenggamnya erat kemudian dihantamkan pada jendela di bagian kursi belakang penumpang. Selisih beberapa detik saja, kaca tersebut sudah berubah menjadi pecahan. Dengan sigap, Daejoon membuka kunci milik pintu pengendara yang kontan membuat tubuh Jihyun terjatuh lemas pada lengan lelaki itu.

"Jihyun!" Teriakan Daejoon seketika memenuhi ruang tidur. Lelaki itu refleks terduduk begitu mimpi buruknya lenyap sebab telah terjaga. Jantungnya masih berdebar cepat, pun peluh bercucuran membasahi wajah.

Daejoon mengatur ritme napas supaya merasa lebih tenang. Setelahnya, ia melirik ke arah jam di atas nakas. Pukul satu malam. Mimpi yang sama terus berulang di waktu serupa pula. Menjauhkan selimut yang membalut tubuh, Daejoon bergeser hingga sampai di tepi ranjang. Tangannya masih sedikit bergetar, tapi sanggup untuk meraih gelas air mineral yang selalu disiapkan dalam kamar.

Setelah dirasa cukup membasahi tenggorokan, lelaki itu mengembalikan gelas ke tempat semula dan membungkuk kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Jemarinya memijat dahi dan pelipis guna menghilangkan resah yang memenuhi ruang hatinya malam itu.

"Rasa bersalahku setelah mimpi datang selalu bertambah besar. Apa harusnya memang aku tidak mengikuti keinginan hati sendiri?"

Pertanyaan tanpa adanya jawaban adalah hal percuma. Beribu perdebatan sejenis berulang, tapi ia tidak pernah bisa menjawab dengan pasti. Yang lelaki itu tahu hanya satu, ia tetap akan kembali pada perempuan impiannya sekeras apa pun ia berusaha untuk menjauh.

"Tidak. Mimpi adalah mimpi."

***

Perempuan dengan pakaian rajut berwarna putih dan rok sebetis bermotif kotak-kotak segera menuruni anak tangga. Fokusnya teralih antara ponsel yang ada di genggaman dengan kaki yang harus bergerak cepat. Menginjak anak tangga terakhir, Nayoung membenarkan posisi tas di bahunya. Ia berhenti sejenak untuk mengambil napas, tapi segera melangkah kembali menghampiri lelaki yang sudah berdiri di dekat pintu masuk.

"Kau datang lebih pagi dari biasanya dan," tegur Nayoung seraya memandangi sekitar Daejoon, "kau tidak membawa mobilmu."

Lelaki yang disapanya itu mengangguk. "Aku mau mengajakmu pergi naik bus hari ini. Tidak masalah, 'kan?"

"Masalah?" Nayoung tertawa pelan sembari mengibaskan tangan. "Yang menjadi masalah di sini adalah kau repot-repot menjemputku."

"Ini murni keinginanku. Sudah kusampaikan juga kalau aku akan datang lagi." Daejoon sengaja menoleh ke arah berlawanan, memperhatikan beberapa orang yang mulai berkeliaran di sekeliling. "Busnya akan segera datang. Kita pergi sekarang?"

"Boleh."

Satu penerimaan ajakan singkat tersebut menuntun kedua pasang kaki insan yang menyelusuri jalan kawasan Jung. Berbagi ruang dengan pejalan kaki lain, baik Daejoon maupun Nayoung sedikit lebih mendekatkan diri dengan tepi. Jemari Nayoung menggenggam erat tali tas seraya melangkahkan kaki ringan, sementara Daejoon menyembunyikan kedua tangan di dalam saku.

Halte yang mereka tuju sudah terlihat dari jauh dan pikiran Daejoon mulai terusik. Lelaki itu mengulum bibir kemudian sedikit melirik perempuan di sisinya. Hanya sebentar saja, ia sudah mengembalikan pandangan ke arah semula.

Aku boleh menanyakan tentang pertemuannya kemarin, 'kan? Aku juga temannya, dia bisa saja bercerita padaku.

Daejoon sibuk bertanya dalam hati, pun kembali memperhatikan Nayoung yang masih fokus dengan jalannya dan tidak menoleh sedikit pun.

Tapi kenapa dia juga tidak mengatakannya padaku? Apa itu akan membuatnya tidak nyaman?

"Katakan saja," ujar Nayoung kemudian mendongakkan kepala ke atas, kontan membuat kedua alis Daejoon mengangkat. "Kau memperhatikanku sejak tadi. Ada yang ingin kau bicarakan?"

Netra Daejoon mengerjap, suaranya tergegap-gegap. "Oh? Kemarin kau—"

"Tanaman mulai layu." Perempuan berambut gelap itu membawa lengannya menghalau silau yang mengenai mata. "Anginnya juga sedikit lebih dingin. Apa waktu berjalan secepat itu? Musim gugur sudah mau datang lagi."

"Kau benar." Berkat tuturan Nayoung yang terlampau tiba-tiba, Daejoon ikut memandangi pepohonan yang berdiri di sepanjang jalan.

Nayoung menghentikan gerakan kaki kemudian memutar tubuh 90 derajat supaya dapat melihat Daejoon sepenuhnya. "Kemarin kau kenapa?"

Yang ditanyanya memiringkan kepala, telunjuknya segera menggaruk pelipis. "Aku lupa. Bukan hal penting juga. Bicara tentang musim gugur ... kita bertemu pertama kali juga saat itu."

Tepat ketika Daejoon membuka memori lama tentang pertemuan mereka, Nayoung tidak lagi berdiri di sampingnya. Ia sudah melangkah kembali lebih dulu. "Kau membahas itu dan aku jadi ingat betapa memalukannya diriku dulu."

Senyum di wajah Daejoon mengembang sesaat. Tungkai yang sejak tadi dibiarkan pun ia bawa mengayun lagi, mengejar Nayoung yang tampak terburu-buru menuju halte—atau sedang menghindarinya?

"Pertemuan pertama selalu punya kesan tersendiri, 'kan?" timpal Daejoon yang sudah memelankan ayunan kaki sebab berhasil menyamakan langkah dengan Nayoung. "Membuka jalan baik untukmu juga. Kau tidak mau melakukannya lagi? Kembali berkarya denganku ... dengan Chaegoo?"

"Tidak bisa," tanggap Nayoung cepat, bahkan tidak butuh waktu untuk berpikir. "Sampai hari ini aku belum bisa memberanikan diri."

Keduanya telah sampai di halte dan Nayoung memilih untuk duduk sembari menunggu bus tiba. "Maaf, pasti aku sangat menyusahkanmu. Seharusnya aku sudah kembali, tapi ternyata waktunya tidak sesingkat itu. Maaf juga karena bersikap egois. Aku pernah menolakmu dan menjaga jarak dulu, tapi sekarang justru tidak mau ditinggalkan olehmu."

Nayoung mengambil satu jeda untuk tertawa hambar. Perempuan itu mengangkat kepala dan melihat ke arah Daejoon yang berdiri tepat di sebelahnya. "Manusia memang sulit bertahan dengan perkataannya."

"Aku hanya bertanya, bukan untuk membuatmu menyesal atau merasa bersalah." Daejoon bersandar kemudian mengangguk. "Beri tahu aku kalau kau sudah siap. Aku akan sangat senang."

"Hanya itu? Kau tidak memaksaku?" Perempuan yang sudah meletakkan telapak tangan di atas kursi itu menggeleng dengan tatapan heran.

"Belum."

Daejoon mencondongkan tubuh ke depan, sedikit melangkah kala kendaraan yang mereka tunggu sebentar lagi akan sampai. Tepat ketika pintu bus membuka usai menghentikan lajunya, Nayoung beranjak. Banyak orang mulai berkerumun, mempersempit ruang gerak antara mereka.

Agaknya Daejoon datang terlalu pagi hingga harus bersusah payah bersama pekerja lain yang diburu waktu. Hari ini juga Senin. Semua berawal dari rencana Daejoon meninggalkan mobilnya di rumah dan memilih untuk menaiki angkutan umum demi bisa berbicara lebih panjang dengan Nayoung.

Perempuan yang pergi bersamanya sudah berdiri lebih depan, sementara Daejoon mengawasi dari belakang sebab orang lain lebih dulu mengambil posisinya di dekat Nayoung. Beberapa pengguna telah masuk, pun akhirnya Daejoon berhasil merebut tempat kembali. Namun, ketika satu kaki Nayoung hendak melangkah naik, seorang pria dengan jas hitam menghantam tubuhnya—ingin masuk lebih dulu.

"Ah!"

Tepat ketika pekikan singkat tersebut refleks terlontar dari mulut Nayoung, seseorang menjaga tubuhnya supaya tetap imbang. Iris perempuan itu menyusuri pemilik tangan yang mencengkeram bahunya kuat hingga akhirnya bertemu dengan pemilik bola mata hitam. Lelaki yang juga melihat ke arahnya.

"Hati-hati," kata Daejoon singkat kemudian membantu Nayoung berdiri. Tersadar akan sopir yang memperhatikan mereka, Nayoung lekas menegakkan tubuh dan menaiki busnya.

***

Berbagai jenis buku tersimpan rapi di rak dengan nomor masing-masing. Laki-laki yang baru tiba mempercepat langkah kaki karena sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal temu. Ia memperhatikan setiap lorong dengan meja terisi, perlahan sampai matanya menemukan sosok perempuan dengan mantel merah muda dan masker sedang fokus membalik halaman buku.

"Aku terlambat. Kau sudah menunggu lama?" tanya Daejoon begitu mendudukkan diri pada kursi di seberang sang perempuan.

Menyadari seseorang yang dinanti telah muncul, Nayoung menutup buku fiksi yang dibaca kemudian meletakkan siku di atas benda tersebut. Perempuan itu menggeleng. Masker yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya juga ia lepas. Ini pertama kalinya Nayoung keluar, menunjukkan diri pada semesta, setelah kepergian Jihyun.

"Jadi, apa yang ingin kau bahas denganku? Aku tidak menduga kau ingin kita bertemu di tempat umum seperti ini," tanya Daejoon memperhatikan sekelilingnya sesaat. Tempat yang Nayoung pilih tidak begitu ramai. Perempuan itu juga pasti sudah merencanakan.

Mengambil sesuatu dari dalam tas, Nayoung pun menggeser selembar kertas berisi tinta hitam. "Aku ingin cuti selama setahun. Mungkin lebih cepat, sampai kondisiku membaik. Jihyun jadi orang pertama yang mendukungku keras sampai berada di titik ini. Semua perjuangan yang kubangun dari nol, hanya dia yang mengerti. Sekarang setiap kali aku memaksa diri untuk menulis, ingatan dan rasa rinduku pada Jihyun semakin besar. Bahkan kecintaan terhadap menulis tidak bisa membuatku merasa lebih baik. Aku perlu menyembuhkan diri."

Pena di genggaman masih dimainkan—berputar di antara jemari—seiring dengan ingatan Daejoon bertahun lalu yang teringat lantaran perbincangan dengan Nayoung pagi tadi. Lelaki itu terus bergeming di kursi, tangannya beralih memangku dagu.

"Timku sudah mengunggahnya. Kau sudah memeriksa?" tanya Hyejin yang telah sampai di depan meja kerja sahabat sekaligus koleganya. Namun, Daejoon tetap membisu—setidaknya sampai Hyejin menepuk bahu lelaki itu.

"Sejak kapan kau di sini?"

Satu pertanyaan yang keluar dari mulut Daejoon membuat Hyejin terperangah. "Kau bukan orang yang mudah kehilangan fokus saat bekerja. Pasti ada yang mengganggu pikiranmu. Tebakanku benar, 'kan?"

Lelaki yang sudah tidak lagi bersandar pada punggung kursi itu lekas melihat berkas yang masih ada di atas meja. "Bukan apa-apa. Tadi kau bilang apa?"

Daejoon hanya berpura-pura, Hyejin yakin. Perempuan berambut sebahu itu mendesis tidak suka kemudian meletakkan telapak tangan tepat di atas dokumen. "Berbagi saja denganku. Aku ini sahabatmu juga, kalau kau lupa."

Hyejin masih menatap tajam, sementara Daejoon sudah menoleh kepada sang pembicara. "Aku sudah bicara dengan Nayoung dan dia bilang belum siap kembali."

"Kapan? Kau benar-benar sudah meyakinkannya?" Hyejin mendadak semangat menanggapi pernyataan Daejoon. "Kenapa kau tidak mengajakku? Aku juga berhak membantumu, 'kan? Nayoung masih tanggungan kita berdua. Apa kau tidak bersikap tegas padanya?"

"Bicara pelan-pelan saja," timpal Daejoon kemudian melipat tangan di atas meja. "Kami sudah membahasnya baik-baik. Direktur Nam juga memberi waktu sampai satu bulan lagi. Biar Nayoung mempersiapkan diri dulu saja."

"Kenapa kau memperlakukan Nayoung berbeda? Kau bersikap lebih santai dengannya. Ini karena kalian sudah bekerja sama tiga tahun sehingga kepercayaanmu tinggi atau kau bersikap seperti ini karena dia adalah mantan kekasih sahabatmu?"

Daejoon menjeling begitu mendengar ucapan Hyejin. "Kau terlalu banyak berasumsi."

Perempuan yang sedang berbicara dengannya segera berkacak pinggang usai menghela napas. Sorot mata Hyejin sedang dipenuhi keyakinan. "Tidak bisa. Kalau begini, aku juga harus turun tangan dan tidak membiarkan sahabatku kesulitan sendiri."

Keputusan yang diambil Hyejin masih menimbulkan banyak tanda tanya dalam kepala Daejoon. Ia mengerutkan dahi, pun memandang perempuan itu guna mencari jawaban. Namun, menyebalkannya Hyejin hanya tersenyum lebar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro