THISTLE
-Pertahanan-
Bian duduk di sudut kamarnya, memandangi papan catatan kecil yang ia susun di atas meja. Nama-nama, foto-foto, dan potongan informasi tentang Yasmin dan James terpampang jelas. Ia tahu bahwa jika ingin menghentikan Yasmin, ia tidak bisa melakukannya sendirian. Ia butuh sekutu. Dan Stefan, meskipun sulit untuk diajak bicara akhir-akhir ini, adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai.
Namun, Bian juga tahu satu hal, jika Yasmin tahu bahwa ia sedang mencari bukti untuk menjatuhkannya, maka Yasmin akan menghancurkan setiap langkah yang ia buat. Yasmin adalah wanita yang cerdik, tapi itu tidak berarti ia tak terkalahkan.
Bian menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu membuka laptopnya. "Kalau Yasmin ingin bermain kotor." gumamnya, "aku akan bermain lebih kotor."
Malam itu, Bian mengetuk pintu kamar Stefan. Tidak seperti biasanya, Stefan membukakan pintu dengan cepat, tetapi raut wajahnya tetap dingin. Bian bisa melihat bahwa kakaknya masih membawa beban emosi yang besar, tetapi ia tidak bisa menunggu lebih lama.
"Kak, aku butuh bantuanmu." kata Bian dengan nada serius.
Stefan menyilangkan tangan di dadanya, mengamati adiknya dengan pandangan tajam. "Bantuan? Bantuan untuk apa?"
Bian masuk ke kamar Stefan tanpa menunggu izin, duduk di kursi dekat meja belajar kakaknya. Ia mengambil napas dalam sebelum menjawab, "Aku ingin menghentikan Yasmin."
Stefan terdiam sejenak, lalu mendesah berat. "Bian, aku tahu kau benci wanita itu. Aku juga tidak suka padanya. Tapi ayah sudah memilih jalannya sendiri. Kau tidak perlu membuang energi untuk ini."
"Bukan itu masalahnya, Kak," balas Bian, menatap Stefan dengan serius. "Aku tahu sesuatu tentang Yasmin, sesuatu yang bisa menghancurkannya."
Stefan menatap Bian dengan alis yang berkerut. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang," kata Bian pelan. "
Tapi percayalah, aku tahu dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia memanipulasi ayah, Kak. Dia memanfaatkan rahasia masa lalu ayah untuk mengontrolnya."
Stefan mengepalkan tangannya, terlihat geram. "Rahasia apa? Apa yang dia tahu?"
Bian menggigit bibirnya, mempertimbangkan apakah ia harus mengungkap semuanya. Namun, ia tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat. "Aku tidak bisa mengatakan detailnya sekarang. Tapi aku tahu satu hal, jika Yasmin berhasil menikahi ayah, dia akan menghancurkan kita semua."
Stefan menghela napas panjang, lalu duduk di ranjangnya. Ia menatap Bian dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Bian, aku tahu kau ingin membantu. Tapi kondisi tubuhmu tidak stabil. Kau baru saja kolaps beberapa minggu yang lalu. Kau tidak bisa membahayakan dirimu sendiri hanya karena ingin melawan Yasmin."
"Aku tahu, Kak." balas Bian, suaranya sedikit melembut.
"Tapi aku tidak punya pilihan. Kalau kita tidak bertindak sekarang, semuanya akan terlambat."
"Bian..." Stefan tampak ragu, tapi ada rasa peduli yang jelas di wajahnya. "Bagaimana jika rencanamu membuatmu semakin sakit? Aku tidak ingin kehilanganmu, cukup Bunda, tidak ada yang lain lagi."
Bian tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. "Aku tidak akan memaksakan diri, Kak. Aku hanya butuh kau untuk membantuku. Aku tidak bisa melakukannya sendiri."
Stefan terdiam lama, menatap adiknya dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Baik. Aku akan membantumu. Tapi ada satu syarat."
"Apa itu?" tanya Bian.
"Kau harus janji, kalau kondisi tubuhmu mulai memburuk, kau akan berhenti, apa pun yang terjadi cukup serahkan semuanya pada Kakak." kata Stefan tegas.
Bian ragu sejenak,"Sial, aku tidak bisa berjanji." tetapi akhirnya ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Bian mulai menyusun rencana sederhana untuk memanfaatkan Stefan. Ia tahu bahwa Yasmin mengawasi setiap gerak-geriknya, jadi ia harus membuat seolah-olah Stefan menjadi pelindung yang menutupi Bian dari perhatian Yasmin. Dengan begitu, ia bisa bergerak lebih bebas untuk mencari bukti.
"Kak, kita harus membuat Yasmin percaya bahwa aku tidak peduli padanya atau pada pernikahannya dengan ayah." kata Bian suatu pagi, sambil berdiskusi dengan Stefan di taman belakang mansion.
Stefan mengangkat alis. "Bagaimana kau akan melakukannya?"
"Aku akan berpura-pura sakit," jawab Bian. "Kalau Yasmin pikir aku terlalu lemah untuk melawannya, dia tidak akan terlalu memperhatikanku."
Stefan tampak tidak senang dengan ide itu. "Bian, itu terlalu berisiko. Kondisimu sudah cukup buruk tanpa kau harus berpura-pura lebih buruk lagi."
Bian memasang senyum masamnya mendengar penuturan Stefan yang cukup melukai hatinya. "Gila, kata-katanya nusuk banget." ucap Bian dalam hati.
"Aku hanya perlu sedikit waktu, Kak." kata Bian dengan nada memohon. "Hanya beberapa hari untuk membuatnya lengah. Sementara itu, kau harus berpura-pura melindungiku dari semuanya. Yasmin pasti akan percaya bahwa kau hanya ingin menjauhkanku darinya."
Stefan masih terlihat ragu, tetapi akhirnya ia setuju. "Baiklah. Tapi kau harus hati-hati."
Hari itu tiba. Yasmin datang ke mansion seperti biasanya, membawa senyuman manis dan pesona palsunya. Ia tampak lebih percaya diri daripada sebelumnya, seolah-olah pernikahan dengan James sudah menjadi kepastian.
Bian, yang duduk di ruang keluarga bersama Stefan, sengaja menunjukkan ekspresi lemah dan tidak tertarik. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa tidak nyaman saat Yasmin mendekat."Oke, Bian. Mari tunjukkan akting terbaikmu."
"Bian." sapa Yasmin dengan nada manis. "Kau terlihat tidak sehat. Apa semuanya baik-baik saja?"
Sebelum Bian bisa menjawab, Stefan berdiri di depan Yasmin, seperti tameng yang melindungi adiknya. "Dia baik-baik saja," kata Stefan dengan nada dingin.
"Tapi aku tidak ingin dia terlibat dalam urusan apa pun sekarang. Dia butuh istirahat."
Yasmin menatap Stefan dengan senyuman yang tidak berubah, tetapi ada kilatan di matanya yang menunjukkan bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti itu. "Aku hanya khawatir, Stefan. Tidak ada salahnya bertanya, bukan?"
"Tidak perlu khawatir," balas Stefan singkat. "Aku akan memastikan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan."
Yasmin akhirnya mundur, meskipun dengan senyuman yang masih melekat di wajahnya. "Baiklah. Kalau begitu, aku tidak akan mengganggu."
Namun, saat Yasmin berbalik untuk pergi, ia menoleh sekali lagi, menatap Bian dengan pandangan yang sulit diartikan. Bian menahan napas, merasa bahwa Yasmin mungkin mencurigai sesuatu.
Setelah Yasmin pergi, Bian menarik napas lega. "Terima kasih, Kak," katanya pelan.
Stefan menatapnya tajam. "Bian, kau yakin ini akan berhasil?"
Bian menatap kakaknya dengan penuh tekad. "Aku tidak tahu, Kak. Tapi ini satu-satunya cara."
Setelah Stefan berhasil memanipulasi Yasmin agar menganggap Bian terlalu lemah untuk menjadi ancaman, Bian akhirnya mendapatkan celah untuk bergerak lebih bebas. Ia tahu waktunya terbatas, karena Yasmin bukan tipe orang yang bisa lengah terlalu lama. Dengan hati-hati, Bian mulai menyusup ke ruang kerja ayahnya di malam hari, tempat Yasmin sering meninggalkan dokumen atau benda-benda pribadinya.
Namun, meski berjam-jam ia mencari, hasilnya nihil. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mengungkapkan rencana busuk Yasmin. Dokumen-dokumen bisnis yang tersimpan di meja ayahnya hanya berisi kerja sama biasa, dan tidak ada surat-surat atau petunjuk langsung tentang hubungan masa lalu James dan Yasmin.
Bian duduk di kursi besar di ruang kerja, menatap kosong ke meja di depannya. Kegagalan demi kegagalan membuat pikirannya semakin kacau.
Setelah kembali ke kamarnya, Bian duduk di tempat tidurnya, memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa Yasmin tidak mungkin melakukan semua ini sendirian. Ada satu orang yang pasti tahu lebih banyak tentang Yasmin daripada siapa pun: Yannis, putranya.
"Yannis..." gumam Bian pelan, matanya memandang ke luar jendela. "Dia sangat menyayangi ibunya. Tapi apakah dia tahu seperti apa ibunya sebenarnya?"
Membawa Yannis ke dalam rencananya adalah langkah yang sangat berisiko. Jika Yannis tidak percaya padanya, hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Namun, jika Bian berhasil meyakinkan Yannis, ia mungkin bisa mendapatkan informasi yang tidak mungkin ia dapatkan dari sumber lain.
"Ini mungkin satu-satunya cara." pikir Bian, meskipun rasa ragu mulai merayap di dadanya.
-ETERNALLY-
Kesempatan untuk berbicara dengan Yannis datang beberapa hari kemudian, ketika Yasmin membawa putranya ke mansion Orion untuk makan malam bersama James. Yasmin tampaknya berniat menunjukkan Yannis sebagai bagian dari rencana besarnya, mungkin untuk mendekatkan Yannis pada keluarga Orion. Namun, bagi Bian, ini adalah peluang emas untuk mendekati Yannis.
Setelah makan malam, ketika Yasmin dan James sedang berbicara di ruang kerja, Bian mendekati Yannis yang sedang duduk sendirian di ruang tamu.
"Yannis." panggil Bian dengan nada ramah.
Yannis menoleh, sedikit terkejut karena Bian memanggilnya setelah sekian lama sejak hari pemakaman Luna. "Oh, Bian. Hey, tolong biasakan untuk memanggil dengan awalan 'Kakak', ingat gue lebih tua dari lo, Bian."
"Oke, Kak. Aku ingin bicara. Hanya kita berdua," kata Bian sambil duduk di sebelah Yannis.
Yannis tampak bingung, tetapi ia mengangguk. "Tentu. Tentang apa?"
Bian mengambil napas dalam. "Tentang ibumu."
Mendengar itu, ekspresi Yannis langsung berubah. "Ibu gue? Kenapa? Apa yang mau lo bicarakan?"
"Aku hanya ingin tahu," kata Bian hati-hati. "Apa kau tahu semua tentang ibumu? Maksudku... apakah kau benar-benar tahu siapa dia?"
Yannis tertawa kecil, meskipun ada nada defensif di suaranya. "Tentu saja tahu. Dia ibu gue. Maksud lo apa?"
Bian menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Aku hanya merasa... ada sesuatu yang dia sembunyikan. Sesuatu yang penting."
Mata Yannis menyipit. "Gue ga tahu apa yang lo maksud, Bian. Tapi ibu gak punya alasan untuk menyembunyikan apa pun. Dia wanita yang luar biasa."
"Dia memang luar biasa," balas Bian cepat, "Luar biasa liciknya." sambung Bian dalam hati.
"Tapi aku hanya berpikir... mungkin dia tidak memberitahumu segalanya karena dia ingin melindungimu."
Yannis menatap Bian tajam. "Melindungi gue dari apa? Bian, kalau lo ingin mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan berputar-putar."
Bian merasa tekanan semakin besar. Ia tahu jika ia tidak hati-hati, Yannis mungkin akan berbalik melawan dirinya. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan.
"Kak." kata Bian dengan suara lebih pelan.
"Aku tahu ini sulit untuk dipercaya, tapi aku pikir ibumu memiliki alasan lain untuk dekat dengan ayahku. Aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang baik atau buruk, tapi aku merasa kau pantas tahu."
Wajah Yannis menjadi tegang. "Bian, ibu gue gak seperti itu. Kalau lo mencoba mengatakan bahwa dia memanfaatkan ayah lo, maka lo salah besar. Dia hanya ingin membantu. Dia sangat mencintai ayah lo."
"Dan kau yakin dia mencintai ayah karena dia benar-benar peduli?" tanya Bian, nadanya masih tenang tetapi menantang. "Atau karena ada sesuatu yang dia inginkan darinya?"
"Berhenti bicara seolah lo tahu segalanya!" Yannis hampir berteriak, membuat Bian sedikit terkejut. "Ibu gue sudah cukup menderita dalam hidupnya. Dia hanya ingin hidup bahagia. Apa itu salah?"
Bian menelan ludah, merasa tekanan di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa Yannis benar-benar percaya pada ibunya, dan itu membuat segalanya menjadi jauh lebih sulit.
"Aku tidak mengatakan bahwa dia salah," balas Bian akhirnya, suaranya tetap tenang.
"Tapi aku ingin kau memikirkan ini, Kak. Jika ibumu tidak punya apa-apa untuk disembunyikan, kenapa dia selalu terlihat begitu defensif? Kenapa dia begitu tergesa-gesa untuk menikah dengan ayahku?"
Yannis terdiam, tetapi matanya penuh kemarahan. "Bian, gue gak tahu apa yang mau lo coba lakukan, tapi gue ga akan membiarkan siapa pun merusak hubungan ibu dengan James. Jadi kalau lo mencoba sesuatu, gue pastikan lo akan menyesal."
Yannis bangkit dari duduknya, menatap Bian sekali lagi dengan tajam sebelum pergi meninggalkan ruangan. Bian hanya bisa duduk diam, merasakan kekalahan besar menghantam dirinya.
Setelah Yannis pergi, Bian merasa seluruh tubuhnya lemas. Ia menundukkan kepala, merasakan rasa frustrasi yang luar biasa. Ia tahu bahwa Yannis sangat menyayangi ibunya, dan itu membuatnya hampir mustahil untuk membujuknya berpihak pada Bian.
"Bagaimana aku bisa melawan Yasmin kalau dia bahkan bisa membuat putranya sendiri membelanya seperti itu?" gumam Bian, tangannya mengepal di atas lututnya.
"Aku butuh cara lain. Cara yang tidak melibatkan Yannis... atau setidaknya, sesuatu yang bisa membuatnya melihat kebenaran tanpa merasa aku menyerang ibunya."
Namun, apa pun rencana itu, Bian tahu ia harus segera menemukannya. Waktu semakin menipis, dan Yasmin semakin dekat dengan tujuannya.
-BERSAMBUNG-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro