Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PAPAVER RHOEAS



-Tragedy-




Hari ulang tahun James menjadi momen yang berbeda dari biasanya. Di mansion keluarga Orion, sebuah pesta formal digelar dengan penuh kemewahan. Para tamu undangan berdatangan, termasuk beberapa rekan bisnis James. 

Luna, seperti biasa, tampil anggun mendampingi suaminya. Bian dan Stefan pun hadir, meskipun ada ketegangan terselubung yang mulai terasa sejak pagi hari.

Bian yang menyadari perubahan-perubahan dalam cerita merasa cemas, terutama tentang bagaimana ulang tahun ini akan menjadi momen penting yang memicu tragedi besar dalam keluarga. 

Sejak ia bangun pagi tadi, tubuhnya kembali berulah sehingga ia tak bisa melakukan aktivitas apapun hingga malam ini. Dirinya hanya dapat terbaring lemah dikamarnya, dan ini sama seperti yang terjadi saat ia berada di rumah sakit.  

Bian berfikir ini salahnya yang tidak cukup tidur dan memaksakan diri, sehingga tubuhnya kini terasa lemah. Bian, dengan napas yang berat dan tubuh yang terasa lemah, memandangi aula besar yang dipenuhi oleh tamu-tamu berpakaian anggun. Malam ini adalah malam yang dia tahu akan menjadi titik balik cerita, malam di mana keluarganya akan hancur, jika dia tidak bertindak.

Malam itu, saat tamu-tamu mulai memenuhi aula utama mansion, Bian mencoba mencari cara untuk mencegah hal tersebut terjadi. Dia melihat James sedang berbicara dengan Yasmin di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Tatapan mereka tampak penuh rahasia

"Sial, apa ini sudah dimulai?" batin Bian. Dia ingin segera mendekati mereka, tetapi Stefan tiba-tiba memanggilnya.

"Bian, jangan jalan-jalan sendiri. Duduk saja di sini." ujar Stefan sambil menepuk kursi di sebelahnya. Stefan jelas khawatir dengan kondisi kesehatan Bian yang belum pulih sepenuhnya sejak kejadian kolaps terakhirnya.

"Tapi Kak, aku mau-"

"Kakak tau, mereka memang tidak tau malu, bisa-bisanya ibu dan anak itu datang setelah kekacauan yang telah dibuatnya kepada keluarga kita. " potong Stefan dengan nada tegas. "Kakak yang akan menjaga semuanya. Kamu istirahat saja."

Bian merasa dirinya harus mendekati James ataupun Yannis. Ia harus melakukan sesuatu agar James tidak mengumumkan hubungannya dengan Yasmin, malam ini. 

"Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi." pikir Bian sambil mencengkeram dada kecilnya. "Jika aku diam saja, Luna akan meninggal, dan cerita ini akan berakhir seperti dalam novel." 



Malam sudah menunjukkan pukul 22.15. James berdiri di atas panggung kecil, dengan mikrofon di tangannya. Senyumnya begitu tenang namun penuh makna, membuat semua orang di ruangan itu beralih perhatian padanya.

"Terima kasih telah hadir di malam istimewa ini," ucap James. "Hari ini, selain merayakan ulang tahun saya, ada sesuatu yang ingin saya umumkan-"

"Tidak!" gumam Bian dalam hati, memaksakan dirinya berdiri meskipun tubuhnya terasa lunglai. Kedua matanya tak henti-henti menatap sekeliling seperti mencari seseorang. 

Dengan langkah terseok, dia bergerak maju, berusaha menghentikan James sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang pelayan yang mencurigakan. Orang itu berdiri tak jauh dari Luna, matanya tertuju padanya dengan intensitas yang tidak biasa.

"Itu dia!" pikir Bian.

Dia mengenalinya dari deskripsi yang pernah dia tulis dalam novelnya, seorang pria tinggi dengan bekas luka kecil di alis kirinya. Pelayan itu memegang nampan kecil, tapi di bawahnya, Bian tahu, ada pisau berujung tajam.

Bian merasa bersyukur karena ia menemukan Yannis, ia pun menarik tangan Yannis dengan cepat. "Tolong." pinta Bian yang tiba-tiba berhasil membuat Yannis kebingungan.

"Kenapa? Ada apa, Bian?!" tanyanya panik 

Tak menjawab, Bian terus melangkah dengan Yannis sebagai tumpuannya agar tak terjatuh.  


Sementara itu, James melanjutkan, "Saya ingin memperkenalkan seseorang yang sangat berarti bagi saya selama beberapa tahun terakhir..."

Luna yang berada di dekat Stefan, menatap James dengan tatapan terluka. Stefan mengepalkan tangannya, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi, sementara Yasmin tersenyum tipis di sudut ruangan, penuh kemenangan.

"Aku tidak punya waktu!" pikir Bian. Dia langsung berteriak, suaranya serak tapi cukup keras untuk menarik perhatian. "Bunda! Hati-hati!"

Bian menunjuk pada seorang pelayan yang mendekati Luna dengan penuh kecurigaan. Yannis yang merasa ada yang tidak beres dengan pelayan tersebut pun melepaskan pegangannya pada Bian dan segera mencoba menghampiri pelayan tersebut. 

Luna menoleh ke arah Bian, menatap kebingungan begitu juga pada Stefan yang melihat. Tepat ketika pelayan itu mulai bergerak, tanpa berpikir dua kali, Yannis berlari ke arah Luna, mendorong tubuh Luna tepat sebelum pelayan itu bisa mendekat. 

Stefan yang menyadari gerakan aneh pelayan itu langsung menubruk pria tersebut, membuat pisau tersebut jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.

Ruangan itu seketika kacau balau. Para tamu berteriak, beberapa mundur ketakutan. James yang baru saja menyadari apa yang terjadi langsung turun dari panggung, sementara Yasmin mencoba melangkah mundur perlahan, dengan eskpresi yang aneh.

 Pisau di tangan pria itu hampir berhasil diraih kembali, tetapi Stefan lebih cepat menendangnya menjauh.

James akhirnya tiba di tengah kekacauan, wajahnya berubah marah saat melihat pelayan itu. "Siapa kau?!" teriaknya.

Bian yang melihat akhirnya bernafas lega kala pelayan tersebut sudah berhasil diamankan oleh beberapa bodyguard ayahnya. Bian berjalan cepat mendekat Luna yang masih dalam keadaan terkejut, dan Yannis yang berusaha melindunginya. 

Lampu besar yang menggantung di tengah aula pesta tiba-tiba mulai bergoyang dengan suara berderak, menarik perhatian beberapa tamu di bawahnya. Bisikan ketakutan mulai menyebar, dan keributan kecil segera berubah menjadi jeritan saat seseorang menunjuk ke arah langit-langit.

"Lampunya akan jatuh!" seseorang berteriak.

Semua mata tertuju ke atas, termasuk mata Bian, yang terpaku melihat lampu besar itu yang sekarang tepat berada diatasnya mulai kehilangan keseimbangannya. 

Detik itu juga, rasa sakit di dadanya seakan lenyap, digantikan oleh degupan jantung yang kian cepat. "Ini tidak mungkin. Ini tidak ada dalam ceritaku." pikirnya, panik.

Saat matanya kembali fokus ke bawah, ia melihat Luna yang berteriak memanggil namanya, dengan Yannis yang berada tak jauh darinya. Bian tampak kebingungan, dikelilingi oleh para tamu yang berlarian menyelamatkan diri. Namun, langkahnya tertahan karena rasa takut yang membuatnya terpaku di tempat.

"Bian!" Stefan berteriak, berlari mendekat pada Bian.

Lampu itu kini tergantung pada sisa-sisa kabel terakhir. Yannis yang berdiri di dekat Luna segera berlari kearah Bian. 

Detik berikutnya, suara kabel yang putus terdengar jelas di seluruh aula, diiringi jeritan tamu-tamu yang berhamburan. Lampu itu terlepas dari langit-langit, jatuh dengan kecepatan yang menakutkan.

Segala sesuatunya terjadi dalam waktu yang terasa lambat. Tepat saat lampu itu hampir menimpa Bian, Yannis berlari dengan kecepatan penuh, mendorong tubuh Bian dengan kuat hingga mereka berdua terjatuh ke samping. Lampu besar itu menghantam lantai keras, menciptakan suara gemuruh yang menggetarkan ruangan.

Lampu padam seketika, menyelimuti seluruh aula dalam kegelapan. Jeritan ketakutan semakin menjadi-jadi, dan kepanikan menyebar seperti api.

Bian terjatuh dengan tubuh Yannis menindihnya, napasnya tersengal-sengal. Dalam kesunyian yang diiringi oleh jeritan samar, pikirannya kembali teringat pada cerita novelnya sendiri.


Dalam kegelapan, hanya suara jeritan tamu yang terdengar, bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan dentingan gelas yang terjatuh. Bian yang terbaring di lantai mencoba mengumpulkan kesadaran. Tubuhnya terasa sakit akibat jatuh, tetapi pikirannya lebih terganggu oleh sesuatu yang jauh lebih penting.

"Ini... ini seperti dalam novelku..." pikir Bian. Dengan panik, ia mencoba bangkit, mendorong tubuh Yannis yang masih menindihnya.

"Yannis! Aku harus pergi! Aku harus memastikan Bunda selamat!" teriaknya dengan suara serak.

Namun, Yannis yang baru saja sadar memegang bahu Bian dengan kuat. "Apa yang kau bicarakan?! Kau tidak bisa berdiri! Tunggu di sini!"

"TIDAK!" Bian mendorong tangan Yannis dengan sisa-sisa kekuatannya. Dia tahu, jika cerita ini mengikuti alur novelnya, Luna akan diserang oleh seseorang di tengah kekacauan ini.

Dengan terhuyung-huyung, Bian berteriak ke arah kegelapan, berharap seseorang mendengar. "LINDUNGI BUNDA! SIAPA PUN DI SANA, LINDUNGI BUNDA!"

Suara Bian menggema di tengah keributan, cukup untuk menarik perhatian Stefan yang berada tak jauh darinya. Stefan yang baru saja sampai disamping Bian segera mencari Luna, mengikuti perintah Bian. Tetapi dalam kekacauan itu, pria asing muncul dari kegelapan, menyelinap menuju Luna yang masih berdiri tak jauh dari reruntuhan lampu.


Luna, yang mulai sadar dari keterkejutannya, melangkah mundur dengan tubuh gemetar. "Apa... apa yang terjadi?" bisiknya, tetapi kegelapan dan kekacauan membuatnya sulit memahami situasi.

Pria asing itu mendekat dengan langkah cepat, tangannya mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik jasnya, kilau logamnya terlihat samar di bawah cahaya darurat yang mulai menyala. 

Tidak ada yang menyadari keberadaannya di tengah keributan, kecuali Bian yang berusaha berteriak meski tubuhnya hampir roboh.

"BUNDA! HATI-HATI!"

Luna menoleh, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. Pria itu melangkah maju dan menusukkan pisaunya ke perut Luna dengan gerakan yang begitu cepat dan tajam.

"Ah..." Luna terhuyung, memegang perutnya yang mulai berlumuran darah. Dia menatap pria asing itu dengan mata tak percaya sebelum perlahan tubuhnya jatuh ke lantai.

"BUNDA!" Jeritan Bian menggema di seluruh aula.

Stefan tiba tepat ketika tubuh Luna terjatuh ke lantai. Dalam kegelapan yang masih menyelimuti ruangan, Stefan memegang tubuh ibunya yang berlumuran darah. "Bunda! Bunda! Jangan tutup matamu, jangan tertidur! Seseorang tolong panggilkan ambulan, cepat!"

Namun, Luna hanya tersenyum lemah sambil memegang tangan Stefan. "Stefan... jaga adikmu... jangan biarkan dia sendirian..."

Stefan menggeleng keras, air matanya mengalir deras. "Tidak, Bunda! Kau akan baik-baik saja! Jangan bicara seperti itu!"

Bian akhirnya sampai di sisi Luna, tubuhnya gemetar hebat. Melihat darah yang terus mengalir dari luka ibunya, ia merasa napasnya semakin sulit. Ia jatuh terduduk disamping Luna, menggenggam tangan Luna erat.

Bian menundukkan kepalanya, merutuki kebodohannya yang gagal menyelamatkan Luna. "Ini salahku... seharusnya aku bisa mencegah ini... seharusnya aku tidak membiarkan ini terjadi!"

Luna menoleh dengan lemah ke arah Bian. "Bian... jangan menyalahkan dirimu... Bunda selalu mencintai kalian berdua..."

Kata-kata terakhir itu terasa seperti pukulan keras bagi Bian. Meskipun Luna hanyalah karakter dalam novel yang ia buat, namun rasanya begitu menyakitkan bagaimana Luna menyayanginya dengan sangat tulus padanya. Dia mencoba memegang tangan Luna, tetapi tubuh Luna akhirnya tak bergerak. Napasnya berhenti, dan mata cantik itu perlahan tertutup. 


Dalam suasana gelap yang perlahan diterangi oleh cahaya darurat, suara tangis dan jeritan perlahan menjadi lebih jelas. Di tengah aula, tubuh Luna yang berlumuran darah tergeletak tak bergerak di pelukan Stefan. Stefan mengguncang tubuh ibunya, mencoba membangunkannya, tetapi semuanya sia-sia.

Namun, di tengah kekacauan itu, langkah kaki berat terdengar mendekat. James muncul dari kerumunan dengan ekspresi cemas, diikuti oleh beberapa pengawal dan Yasmin. Begitu matanya menangkap tubuh Luna yang tergeletak di lantai, dia terdiam di tempat, wajahnya membeku dalam keterkejutan.

"Luna..." bisik James, suaranya bergetar.

Dia berjalan mendekat, lututnya hampir lemas ketika melihat darah yang menggenang di lantai. Dia jatuh berlutut di sisi Luna, meraih tangan istrinya yang sudah dingin. "Luna... bangun... Luna, tolong bangun!" James mengguncang tubuh Luna, tetapi seperti Stefan, dia tidak mendapatkan jawaban.

"INI TIDAK MUNGKIN!" teriak James, suaranya menggelegar di ruangan yang kini sunyi. Dia memandang sekeliling dengan mata penuh amarah. "SIAPA YANG MELAKUKAN INI?!"



Di tengah kekacauan yang berat, Yasmin berdiri di sudut ruangan, wajahnya sulit untuk dibaca. Matanya menatap tubuh Luna dengan sorot mata yang campur aduk, ada keterkejutan, rasa bersalah, tetapi juga rasa takut.

Seorang tamu yang berdiri di dekat Yasmin berbisik, "Apakah itu benar istri James?"

Yasmin hanya menelan ludah, tidak menjawab. Pandangannya kini beralih pada James, yang terlihat begitu hancur, memeluk tubuh Luna dengan air mata yang terus mengalir. Yasmin mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menenangkan gemuruh emosinya.

Namun, perhatian Yasmin segera beralih ke Stefan yang kini berdiri, memelototinya dengan tatapan penuh kebencian. 


Aula pesta yang sebelumnya penuh dengan suara tawa kini digantikan menjadi suara tangis keluarga Orion. Semua orang terpaku melihat tubuh Luna yang tak bergerak di pelukan James.

"Bunda..." bisik Bian, air mata mengalir tanpa henti di wajahnya.

Stefan menunduk, mengguncang tubuh Luna dengan harapan dia akan bangun lagi. Namun, tidak ada jawaban.


Setiap Stefan meneriaki Bundanya, Bian merasa sakit yang teramat dalam dadanya. Semua rencana untuk mengubah cerita, untuk melindungi Luna, semuanya sia-sia. Tragedi itu tetap terjadi, meski dalam bentuk yang berbeda.



Dan untuk pertama kalinya, Bian sadar bahwa meskipun ia menciptakan cerita ini, ia tidak lagi memiliki kendali atas apa yang akan terjadi.












-BERSAMBUNG-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro