LILY
-Kesucian Jiwa yang Telah Berpulang-
Setelah kejadian tragis di pesta ulang tahun James, suasana berubah menjadi hampa. Luna telah tiada, dan keluarga Orion kini terpecah oleh rasa sakit dan kebingungan. Pesta yang seharusnya merayakan kebahagiaan malah berakhir dengan tragedi yang tak terduga.
Bian dan Stefan dibawa ke rumah sakit setelah kejadian tersebut, meskipun tubuh Bian masih terkulai lemah akibat kejadian yang menguras energinya. Di dalam ambulans yang membawanya, pikirannya terus berputar, terperangkap dalam keraguan dan rasa bersalah.
"Aku seharusnya bisa mencegahnya. Seharusnya aku bisa menyelamatkan ibu," pikir Bian, matanya terpejam dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.
Di rumah sakit, keadaan semakin kacau. Luna telah dibawa ke ruang perawatan, dan meskipun dokter sudah berusaha sekuat tenaga, Luna tidak dapat diselamatkan. Stefan duduk di lorong rumah sakit, wajahnya pucat, matanya kosong. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibunya kini telah pergi.
Bian, yang masih merasa pusing dan lemah, duduk di sebelahnya. "Kak," panggilnya pelan. Stefan hanya menoleh sekilas, namun tidak mengatakan apa-apa.
Akhirnya, Bian berkata dengan suara yang hampir tak terdengar, "Maaf, harusnya aku tidak membiarkan ini terjadi... seharusnya aku bisa mencegahnya."
Stefan menatap Bian, matanya penuh keputusasaan. "Bagaimana? Bunda sudah sangat terluka, Bian. Tidak ada yang bisa mengembalikannya. Kau juga hampir mati tadi... Jangan lagi berpikir bisa mengubah apa yang sudah terjadi."
Bian menunduk, rasa sakit di dadanya semakin tajam. Ia tahu, meskipun ia menciptakan dunia ini, ia tidak memiliki kendali sepenuhnya atas apa yang terjadi. Tetapi rasa bersalah terus menghantui pikirannya. "Apakah ini karma? Apakah ini akibat dari cerita yang aku buat?"
Di ruang rumah sakit, di ruang perawatan Luna, suasana semakin berat. Dokter yang menangani Luna keluar dengan ekspresi penuh penyesalan, dan semua mata beralih ke arah pintu.
"Luna tidak bisa diselamatkan. Kami telah berusaha sekuat tenaga, tetapi luka yang diterimanya terlalu parah."
Kata-kata itu membuat Stefan terdiam, tubuhnya gemetar, meskipun ia sudah menduganya, tetapi ia tetap tak bisa menerima kenyatannya ini. Bian tidak bisa lagi menahan perasaan kesalnya. Semua yang ia usahakan, semua yang ia coba untuk mencegah ternyata sia-sia.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan di dunia ini jika kehilanganmu, Bunda." isak Stefan sambil memeluk tubuh lemah Luna yang sudah ditutupi oleh kain putih.
Bian menatap tubuh Luna yang dipeluk oleh Stefan dengan tatapan kosong, perasaan marah, sakit hati, dan kecewa pada diri sendiri begitu Bian rasakan.
Dengan penuh amarah ia berjalan meninggalkan ruangan, bertepatan dengan datangnya James yang sedang berjalan dengan tatapan kosong di koridor rumah sakit.
Bian menghampiri James dengan nafas yang memburu.
"Dari mana aja Ayah baru datang?" tanya Bian dengan nada tegas
James hanya diam tak menjawab. "Oh, habis antar Yasmin pulang, ya?!" Bian menjawab dengan wajah datar namun mengisyaratkan kemarahan.
Bian menghela nafas panjang, "Kenapa sih, kenapa Ayah ga jujur aja sama kita!"
"Kenapa dari awal Ayah ga bilang kalau Ayah diancam sama Yasmin, kenapa Ayah ga bilang sama kita kalau hubungan itu semua adalah paksaan darinya!" tegas Bian
James menatap tak suka pada Bian, "Kamu ga akan paham Bian, ini masalah orang dewasa-"
"Masalah orang dewasa? Memangnya Bunda bukan orang dewasa? Memangnya aku dan Stefan bukan orang dewasa?! Orang dewasa seperti apa yang Ayah maksud, hah?!"
"Bian cukup, jaga perkataan mu, ini di rumah sakit."
Bian semakin memberontak, ia pun melangkah lebih depat pada James. "Apa susahnya sih untuk bilang! Apa susahnya Ayah cerita sama kita, Ayah jelasin semua yang terjadi sama kita! Biar kita tau, Yah--"
"Susah Bian! Mengatakan semuanya pada kalian, tak segampang yang kau katakan!" potong James dengan marah
Bukannya mereda, Bian semakin emosi. "Kalau gitu kasih tau aku dimana letak susahnya! Kasih tau aku alasannya, kebenarannya, semuanya!" Bian berteriak dengan nafas yang memburu.
"Ayah tau ini sulit buat Ayah, tapi Ayah ga pernah mau bicara! Ayah pikir jika Ayah diam aja semua masalah itu akan selesai begitu aja, Hah?!"
Bian pegang kedua bahu James erat, mengguncangkannya dengan kencang. "Gimana kita mau bantu, Yah. Gimana kita bisa selesaikan masalah ini kalau kita aja ga tau letak masalahnya dimana?!"
James menghempas tangan Bian kuat, "Ayah ga butuh bantuan mu Bian!" bentak James. "Ayah ga butuh bantuan kamu dan juga Stefan!"
Bian semakin kalut dalam emosi begitu mendengar ucapan James, ia mendorong tubuh James kencang hingga terdorong ke belakang.
"KALAU GITU SELESAIKAN MASALAH AYAH SEBELUM KITA KENA IMBASNYA! Selesaikan masalah Ayah tanpa perlu kita tau masalahnya apa!!"" teriak Bian begitu kencang, membuat orang-orang yang berlalu lalang di koridor memperhatikan mereka.
"Bian, jaga bicaramu! Kamu ga akan paham, Bian-"
"YA AKU GA AKAN PERNAH PAHAM JUGA KARNA AYAH TERUS DIAM!" potong Bian
Bian menunjuk tepat didepan wajah James, "Kenapa Ayah ga bisa nyelesaikan masalah Ayah, kalau Ayah bilang bisa?! Ayah lihat dong sekarang, Ayah buka mata Ayah! Kalo masalah Ayah itu bisa selesai lebih awal, BUNDA GA MUNGKIN MENINGGAL, YAH!"
"CUKUP BIAN, AYAH BILANG CUKUP!"
James dengan cepat mendekat pada Bian melayangkan tangannya hendak memukul Bian, tak kenal takut, Bian terus menatap nyalang pada James.
Saat tangan itu hendak menyentuh wajah Bian dengan kencang, tiba-tiba tangan Yannis muncul menghentikan tangan James sebelum mengenai wajah Bian. James dengan cepat menatap nyalang pada Yannis, dengan nafas yang memburu ia menarik kembali tangannya. Memalingkan wajahnya dari Bian dan langsung melangkah pergi dari sana.
Bian menatap penuh amarah kepergian James, tak lama ia pun berbalik dan pergi dengan langkah yang tergesa-gesa.
"Bian, tunggu." panggilan Yannis tak ia respon, ia terus berjalan dengan langkahnya yang semakin cepat.
Namun Yannis tak berhenti begitu saja, ia pun mengejar Bian dan berhasil menghentikan langkah Bian dengan menarik tangannya.
"Lepas tanganku, Yannis." ucap Bian pelan membelakangi Yannis.
"Bian, lo mau kemana?"
Dengan isak tangisnya Bian menjawab, "Mau ketemu dokter Jay, katanya dia udah pulang dari pelatihannya."
Lagi, Yannis mencegahnya untuk pergi, "Tunggu, Bian-"
Karena kesal, Bian dengan cepat berbalik menghadap Yannis dan menarik tangannya kencang. "Sakit tau, Kak!"
Yannis diam terpaku, entah mengapa tatapan Bian sedikit berbeda saat menatapnya. Mata itu melayangkan tatapan yang mengisyaratkan rasa sakit yang mendalam, seperti bukan Bian yang ia kenali.
Bian langsung jatuh duduk dilantai dengan meremat erat dadanya. "Sakit, Kak.. Rasanya sakit sekali.. Jantung sialan! Kalau ga mau kerja dengan baik mending jangan berdetak aja sekalian-"
"BIAN!" bentak Yannis
Seakan tersadar dari bentakkan Yannis, Bian menangis sejadi-jadinya. Dirinya sangat kalut, ia bahkan merasa emosi Bian yang asli memenuhi perasaannya dengan rasa sedih yang membuatnya semakin menderita.
"Bian," panggilnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Bian menoleh perlahan, matanya merah dan basah. "Yannis... aku... aku seharusnya bisa mencegah ini..." suaranya patah-patah.
Yannis berlutut di hadapan Bian, memegang bahunya dengan kedua tangan. "Ini bukan salah lo," katanya, mencoba menenangkan Bian meskipun hatinya sendiri terguncang. "Kita semua tidak menyangka ini akan terjadi."
Namun, kata-kata itu tidak masuk ke dalam kepala Bian. Ia terus menggeleng sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. "Tidak... ini salahku... aku tau ini akan terjadi... aku tau, tapi aku tidak cukup cepat..."
"Semua ini... salahku..." bisik Bian sekali lagi, tetapi kali ini suaranya hampir tak terdengar.
Yannis memegang bahu Bian lebih erat, suaranya pelan tetapi tegas. "Kita akan cari tahu siapa yang melakukan ini. Lo harus bertahan, Bian. Jangan pernah berfikir untuk menyerah sekarang, Bian."
Namun, di hati kecil Bian, dia tahu tragedi ini bukan hanya akibat pria yang membawa pisau itu. Tragedi ini adalah bagian dari cerita yang ia tulis sendiri dan sekarang, ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiki semuanya.
Bian menatap Yannis dengan mata yang dipenuhi pertanyaan. "Apakah kebenaran itu bisa mengembalikan segalanya?"
-ETERNALLY-
Hujan turun dengan deras, menambah kelam suasana sekitar pemakaman. Setiap tetesan hujan yang jatuh ke tanah terasa seperti beban yang semakin berat, seolah langit pun ikut berduka atas kepergian Luna. Udara dingin menyelimuti tubuh mereka, tetapi kesedihan yang mereka rasakan jauh lebih membekukan.
Stefan berdiri di depan liang kubur, tubuhnya kaku dan wajahnya kosong, seperti seseorang yang terjebak dalam keterkejutan yang tak berkesudahan. Hujan yang mengalir deras seakan mencerminkan perasaan yang membanjirinya, perasaan kehilangan yang tak terungkapkan. Setiap langkahnya terasa berat, seperti dunia ini menahannya untuk terus melangkah.
Di sampingnya, Bian berdiri dengan kepala tertunduk, pelipisnya basah oleh air hujan yang jatuh tak henti-hentinya. Ia merasakan setiap tetes hujan seolah mencuci perasaan bersalah yang semakin mendalam.
"Maaf.. Aku tidak bisa melindungimu..." pikirnya, seakan bisikan itu bisa sampai ke dunia yang jauh.
James, yang berdiri terpisah, tampak tenggelam dalam kesedihan yang lebih dalam. Hujan tidak hanya menambah kesedihan, tetapi juga membasahi wajahnya yang terhimpit penyesalan. Ia menatap tanah yang kini menutupi istrinya dengan mata kosong, seakan ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Luna tidak akan pernah ada lagi di sampingnya.
Suasana di sekitar mereka begitu hening, hanya suara rintikan hujan yang mengisi ruang kosong. Stefan tetap diam, seakan enggan untuk berbicara, terjebak dalam perasaan hampa yang semakin dalam.
Ia melangkah mundur, tubuhnya yang gemetar menahan perasaan yang tak tertahankan. "Aku tidak bisa menerima ini... Bunda... tidak bisa pergi begitu saja..." bisiknya dalam hati.
Bian mencoba untuk mendekat, tetapi setiap langkahnya terasa seperti ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Stefan. Ia ingin berbicara, ingin menghibur kakaknya, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Ia hanya bisa memandang Stefan dengan kesedihan yang mendalam, merasa hampa dan tak tahu apa yang harus dilakukan lagi.
Di samping mereka, Yannis berdiri diam, menatap langit yang gelap dan dipenuhi dengan awan kelabu. Hujan yang begitu lebat membuatnya merasa semakin jauh dari kenyataan, seolah ia berada di dunia yang penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian.
Lalu, dengan langkah hati-hati, Yannis mendekati Bian, yang berdiri terpaku di tempatnya. "Bian..." katanya pelan, tetapi suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh hujan.
Bian menoleh perlahan, mata yang penuh dengan air mata tidak lagi bisa menahan beban yang ada. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan setelah ini," jawab Bian, suaranya serak. "Bunda... Bunda sudah pergi, Yannis. Apa yang harus aku perjuangkan setelah ini?"
Yannis menatap Bian dengan mata penuh pengertian, tetapi juga dengan kesedihan yang sama. "Bian, lo harus tetap hidup. Bukan cuma lo, gue maupun Stefan, kita semua harus bertahan, meskipun dunia terasa hancur."
Bian hanya mengangguk pelan, meski perasaan kosong itu semakin menyiksa dirinya.
Setelah prosesi pemakaman selesai, hujan tidak juga berhenti. Bahkan semakin deras, seakan langit merasakan kesedihan yang mendalam di hati keluarga Orion. Stefan, yang kini berjalan menjauh dengan langkah cepat, tak memperhatikan Bian atau James. Hujan yang mengguyur tubuhnya hanya menambah perasaan hancur yang ia rasakan. Ia merasa begitu kehilangan, begitu terpuruk dalam ketidakberdayaan.
Bian, yang berdiri menatap kakaknya, mencoba mengerti perasaan Stefan. Namun, ia tahu, Stefan tidak siap untuk berbicara. Ia masih terjebak dalam perasaan kehilangan yang begitu dalam.
Disisi lain, Bian merasa takut. Takut jika Stefan akan berubah seperti yang terjadi dalam cerita novel. Ia takut jika Stefan akan membenci dirinya dan meninggalkan dirinya hingga ia mati direnggut oleh penyakitnya sendiri.
Bian menatap punggung Stfean yang melangkah menjauh, dirinya menatap langit yang terus meneteskan air tanpa henti.
"Aku.... benar-benar harus bertahan, kan?"
-BERSAMBUNG-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro