Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

GLADIOL

-Tekat yang Kuat-











Malam itu, mansion keluarga Orion terasa lebih hampa dari biasanya. Setelah kepergian Luna, segala sesuatunya berubah. Stefan, yang biasanya menjadi pilar kekuatan keluarga, mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran emosional. Bian, yang tahu betul bagaimana cerita ini akan berlanjut, merasa dirinya semakin terjebak di antara takdir yang sudah ia ciptakan dan keinginannya untuk mengubah semuanya.

Pasca Kematian Luna, Bian melihat bagaimana Stefan terus menghindari percakapan dengan James. Sang ayah, meskipun tampak sibuk seperti biasa, terlihat mulai sering menghabiskan malam di luar rumah. Bian merasa bahwa saat ini adalah waktu yang tepat bagi Yasmin untuk mengambil perannya dalam cerita, dan ia harus bertindak.

"Kak, kau tahu ayah sering pergi akhir-akhir ini, kan?" tanya Bian suatu malam. Stefan hanya diam, tidak memberikan tanggapan.

Bian menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. "Aku... aku pikir ini ada hubungannya dengan Yasmin. Apa kau pernah bicara dengan ayah soal ini?"

Stefan akhirnya menoleh. Tatapannya penuh kemarahan yang tertahan. "Bicara? Apa gunanya? Bahkan sebelum bunda meninggal, dia sudah menjalin hubungan gelap dengan wanita itu."

Lagi, pembicaraan yang ia buat dengan Stefan akan selalu berakhir seperti ini. Stefan selalu diliputi oleh emosi, setiap Bian berbicara menyinggung soal James ataupun Yasmin, Stefan akan langsung memberikan reaksi marah. 









-ETERNALLY-









Bian duduk di balkon kamarnya, memandangi langit malam yang penuh bintang. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi itu tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya dari serangkaian peristiwa yang terus berputar di kepalanya. Setelah kematian Luna, ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar konflik keluarga atau hubungannya dengan Stefan dan James.

Dia memejamkan mata, mengingat semua hal yang sudah terjadi sejak ia bangun di dunia yang ia ciptakan sendiri. Dunia yang, awalnya, tampak seperti kesempatan kedua. Tapi kini, rasanya lebih seperti jebakan. 

Bian menghela napas panjang, berbicara pada dirinya sendiri, "Aku sudah mencoba segalanya... Aku bahkan mengubah beberapa kejadian, mencoba mencegah momen-momen kritis. Tapi, Luna tetap meninggal." Suaranya bergetar, dan untuk pertama kalinya sejak ia memasuki tubuh ini, ia merasa benar-benar takut.

Kematian Luna terasa seperti tamparan keras dari takdir. Ia ingat bagaimana ia mencoba memperingatkan Stefan tentang Yasmin. Bagaimana ia berusaha membuat James lebih peduli pada keluarga sebelum semuanya terlambat. 

Namun, semuanya berakhir seperti yang ia tulis, Luna tetap pergi. Tidak ada yang berubah, meskipun ia berusaha sekuat tenaga.

"Apakah ini harga yang harus aku bayar karena mencoba bermain dengan cerita ini?" gumamnya. "Setiap kali aku mencoba mengubah alur, aku yang selalu kena dampaknya..."

Bian mulai mengingat kembali semua momen ketika tubuhnya tiba-tiba kolaps atau bahkan kejadian-kejadian buruk yang menimpanya. 

Seperti saat James berbicara kebenaran tentang Yasmin yang mengancamnya, dadanya tiba-tiba terasa nyeri hingga membuatnya pingsan, dan keesokan harinya James melupakan semua percakapan itu bahkan para maid dan bodyguard yang berada disana juga ikut melupakannya. Atau ketika ia mencoba mengatakan kebenaran tentang James dan Yasmin, entah mengapa dadanya menjadi sesak dan tenggorokkannya seperti tercekat sesuatu sehingga ia tak bisa mengatakannya. 

Bahkan sampai pada kejadian malam itu, dimana ia berhasil membuat pelayan yang akan membunuh Luna berhasil ditangkap oleh Stefan, ia hampir saja meninggal karena tertimpa lampu gantung jika saja Yannis tidak mendorongnya. 

"Apa ini semacam hukuman? Apa karena aku menciptakan cerita ini, dunia ini tidak mengizinkanku mengubahnya?" pikirnya. Ia mulai sadar bahwa semakin ia berusaha untuk melawan takdir, semakin besar risiko yang harus ia tanggung.

Namun, ada satu hal yang kini ia pahami dengan jelas: kematian Luna adalah sesuatu yang tak bisa ia ubah. Itu adalah inti dari cerita yang ia tulis. Dan jika ia tidak bisa menyelamatkan Luna, maka bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana ia bisa bertahan hidup jika karakter Bian yang asli ditakdirkan untuk mati?

Bian menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata. "Aku tidak mau mati," bisiknya pelan, hampir seperti doa yang putus asa. "Aku... aku adalah penulis cerita ini. Kalau aku bisa menulis kematian, aku juga harus bisa menulis kehidupan, kan?"

Namun, ada rasa takut yang menghantui setiap pemikirannya. Jika ia terlalu keras melawan alur yang sudah ia buat, apakah itu akan mempercepat kematiannya? Apakah ia juga akan mengalami nasib tragis seperti Bian Luca Orion yang asli?

"Tidak..." Ia menggenggam dadanya yang terasa berat. "Aku harus bertahan. Kalau aku mati, maka semuanya benar-benar selesai." 

Meski rasa takut terus menghantuinya, Bian tahu ia tidak punya pilihan selain mencoba bertahan. Ia harus menemukan cara untuk mengubah alur cerita tanpa membuat dirinya terkena dampak buruk.

"Kalau aku tidak bisa melawan takdir secara langsung, maka aku harus mencari jalan memutar," pikirnya. Ia mulai memikirkan semua karakter dalam cerita ini, Stefan, James, Yasmin, dan bahkan Yannis. Mungkin, kuncinya ada pada mereka. Mungkin, ia bisa memanfaatkan hubungan mereka untuk mempengaruhi arah cerita tanpa terlalu banyak campur tangan langsung.

"Tapi bagaimana?" pikirnya keras. "Aku butuh rencana... sesuatu yang kecil tapi berdampak besar. Aku harus lebih hati-hati kali ini." 

Bian menatap tangannya sendiri, mengingat hari-hari ia menulis cerita ini dengan semangat. Dulu, ia berpikir bahwa membuat karakter menderita adalah seni. Bahwa tragedi adalah sesuatu yang indah jika disampaikan dengan cara yang tepat. Namun, kini ia tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari tragedi itu.

"Apakah aku terlalu kejam pada Bian Luca? Pada Luna? Pada Stefan?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. "Mungkin ini karma... karena aku menciptakan dunia yang penuh penderitaan."

Namun, ia juga tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Jika ada satu hal yang ia pelajari sebagai penulis, itu adalah bahwa setiap cerita memiliki peluang untuk berubah, selama tokohnya cukup kuat untuk melawan arus.

"Aku akan menulis ulang nasibku," katanya, matanya kini penuh dengan tekad. "Mungkin aku tidak bisa menyelamatkan Luna, tapi aku akan menyelamatkan diriku sendiri. Dan jika aku bisa, aku juga akan menyelamatkan Stefan dan membuatkan happy ending untuknya."











-ETERNALLY-













Suatu malam, James memutuskan untuk mengumpulkan kedua putranya di ruang makan. Stefan yang biasanya menghindari makan malam bersama akhirnya hadir, namun dengan ekspresi dingin dan penuh kewaspadaan.

"Stefan, Bian," James memulai, nada suaranya datar tetapi penuh keyakinan. "Ayah ingin membicarakan sesuatu yang penting."

Bian menatap ayahnya dengan penuh rasa curiga. Stefan hanya diam, menyilangkan tangannya di dada sambil menatap lurus tanpa emosi.

"Ayah telah memutuskan untuk membawa Yasmin berkunjung ke rumah kita akhir pekan ini," lanjut James.

Pernyataan itu membuat udara di ruangan seolah membeku. Stefan menatap tajam ke arah ayahnya, matanya penuh kemarahan yang selama ini ia tahan.

"Yasmin?" Stefan akhirnya bersuara, suaranya rendah namun menggema di ruangan besar itu. "Kau serius ingin membawa wanita itu ke rumah ini, ayah? Tidak cukup kau menghancurkan hidup bunda, sekarang kau ingin merusak rumah ini juga?"

James menghela napas panjang. "Stefan, kau tidak mengerti. Yasmin bukan seperti yang kau pikirkan. Dia... dia adalah seseorang yang—"

"Seseorang yang kau pilih di atas bunda?" Stefan memotong, suaranya kini bergetar penuh emosi. "Tidak ada alasan yang bisa membenarkan ini, ayah. Tidak ada!"

Stefan berdiri dari kursinya dengan keras, membuat kursinya bergeser ke belakang dengan bunyi berdecit. Bian melihat tubuh kakaknya bergetar karena amarah.

"Bawa saja dia, ayah. Tapi jangan harap aku akan ada di sini untuk menyaksikan sandiwara kalian." Stefan berbalik, hendak meninggalkan ruangan.

"Stefan!" James memanggil, suaranya lebih keras kali ini. "Kembalilah ke sini, kita belum selesai bicara."

Stefan berhenti sejenak, lalu menoleh dengan tatapan penuh rasa sakit. "Kau selesai bicara saat kau memilih wanita itu di atas keluargamu sendiri."

Bian yang sedari tadi duduk diam merasa napasnya semakin berat. Ia tidak ingin tragedi ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih buruk seperti dalam novel. Saat Stefan melangkah keluar dari ruangan, Bian segera bangkit dan mengejar kakaknya.

"Kak, tunggu!" Bian menarik lengan kakaknya sebelum Stefan mencapai tangga.

"Apa lagi, Bian?" Stefan menatapnya dengan mata yang masih menyala penuh emosi.

"Aku tahu Kakak marah, tapi... tolong jangan biarkan amarahmu menghancurkan semuanya," ucap Bian dengan suara pelan, mencoba menenangkan.

Stefan tertawa pahit. "Menghancurkan apa, Bian? Tidak ada yang tersisa untuk dihancurkan. Keluarga ini sudah mati bersama bunda."

Bian menggenggam lengan Stefan lebih erat. "Kalau begitu, aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa menghadapi ini sendirian, kak."

Kata-kata itu membuat Stefan terdiam. "Bagus, ini berhasil." batin Bian.

Stefan menghela napas panjang, menurunkan bahunya seolah semua energi kemarahannya menghilang. "Bian, aku tidak meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa ada di rumah ini jika dia datang."

Bian tahu ia tidak bisa memaksa Stefan untuk tinggal, tapi ia juga tahu bahwa jika kakaknya terus menjauh, konflik dengan James dan Yasmin akan semakin tak terkendali.

"Setidaknya... beri aku waktu untuk mencari cara," kata Bian, menatap Stefan dengan penuh harap. "Jangan buat keputusan yang akan kau sesali."

Stefan memandang adiknya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik. Tapi jangan harap aku bisa ramah dengan wanita itu."

Bian tersenyum sangat kecil mendengar jawaban Stefan "Jangankan ramah, mau pukul wanita itu sekalipun juga akan ku dukung." ujar Bian dalam hati. 









-ETERNALLY-











Akhir pekan pun tiba. Yasmin datang dengan senyum ramah, membawa beberapa hadiah yang ia klaim sebagai tanda hormat kepada keluarga Orion. James menyambutnya di depan pintu dengan penuh kehangatan, namun suasana itu langsung berubah saat Stefan muncul dari arah tangga.

Bian yang sudah berjaga-jaga berdiri di antara mereka, seolah menjadi perisai yang memisahkan dua kutub yang berlawanan. Stefan hanya menatap Yasmin dengan dingin, tidak menyapa ataupun menunjukkan ekspresi ramah.

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu berpikir kau diterima di sini," ucap Stefan, suaranya rendah namun menusuk.

"Gila, baru juga masuk udah diserang kek gitu." batin Bian sedikit menahan senyum diwajahnya.

"Stefan, cukup!" James memperingatkan.

Yasmin, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh ucapan Stefan, hanya tersenyum tipis. "Aku tidak datang untuk mengambil tempat siapa pun, Stefan. Aku hanya ingin membantu ayahmu melewati masa-masa sulit ini." 

Rasanya Bian ingin mengeluarkan kata-kata mutiara mendengar ucapan Yasmin barusan, "Sungguh manis ucapanmu Yasmin."

"Bantu?" Stefan tertawa sinis. "Kau membantunya menghancurkan keluarga ini, itu yang kau lakukan."

"Stefan!" James mendekat, nadanya kini lebih keras. "Jika kau tidak bisa bersikap dewasa, aku minta kau keluar dari ruangan ini."

Bian, yang merasa situasi semakin panas, ia harus menjadi penengah, segera ia melangkah di antara mereka. "Tolong, kita tidak perlu seperti ini," pintanya, suaranya terdengar putus asa. "Kita harus bicara dengan kepala dingin."

Stefan memandang Bian, lalu menghela napas panjang. "Bicaralah. Tapi jangan harap aku akan percaya pada wanita ini."

Makan malam pun berjalan dengan begitu hening dan dingin. 



Yasmin mencoba mendekati Bian setelah makan malam, mungkin berharap ia lebih mudah berkomunikasi dengan adik yang lebih muda.

"Kau pasti Bian. Aku dengar banyak hal tentangmu," katanya sambil tersenyum. "Ayahmu sangat bangga padamu."

"Bangga? apa yang mau dibanggakan?  Hidup Bian dirumah sakit, kau banggakan." Bian memaksakan senyuman. "Terima kasih, Bu Yasmin. Tapi saya harap Anda tahu, keluarga ini masih dalam proses berduka."

Yasmin menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu ini sulit, tapi aku tidak berniat menggantikan ibumu. Aku hanya ingin membawa kedamaian bagi semua orang." 

Ingatkan Bian bahwa orang ini adalah dalang dari semuanya, setiap ucapannya terlalu manis hingga membuat siapapun bisa dimanipulasi olehnya. 

"Kalau begitu," balas Bian dengan nada tajam, "buktikan itu. Jangan lakukan apa pun yang bisa membuat kakakku atau ayahku semakin jauh."

Yasmin terdiam, senyumnya memudar. Ia menyadari bahwa Bian, meskipun terlihat lembut, bukanlah anak yang mudah dipengaruhi. 



























-BERSAMBUNG-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro