EDELWEISS
-Usaha yang Tak Sia-sia-
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Bian dan Stefan kembali tiba di kantor Orion Corp. Gedung pencakar langit itu hampir kosong, hanya ada beberapa staf keamanan yang berjaga di lobi. Stefan, dengan karismanya sebagai pewaris keluarga, berhasil mengalihkan perhatian satpam.
"Bian, cepat. Aku akan memastikan mereka tidak curiga," bisik Stefan sebelum berjalan menuju meja depan.
Bian mengangguk, tubuhnya bergerak gesit menyelinap ke dalam lift. Ia menekan tombol menuju lantai kantor James. Pikirannya terus mengulang rencana yang telah ia susun, dapatkan dokumen itu, pastikan tidak ada jejak, dan keluar tanpa ketahuan.
Sesampainya di lantai kantor James, Bian keluar dari lift dengan hati-hati. Lorong panjang yang remang-remang terasa lebih menakutkan dari biasanya. Namun, ia tidak punya waktu untuk ragu. Dengan mengetaui password ruangan James yang ia dapatkan dari Stefan, Bian berhasil membuka pintu ruang kerja James.
Di dalam ruang kerja yang gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus jendela, Bian langsung menuju brankas yang tersembunyi di balik rak buku besar. Ia berlutut di depannya, tangannya sedikit gemetar saat mencoba memasukan kode yang ia ketahui dalam cerita yaitu tanggal ulang tahun Luna.
'0106'
Brankas terbuka dengan suara berderak pelan. Bian menahan napas saat melihat dokumen-dokumen yang tersimpan di dalamnya. Dengan cepat, ia mencari map berlabel 'Orion Vision'. Saat tangannya menyentuh map hitam itu, ia merasa lega, tetapi hanya sesaat.
Suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Bian?"
Bian membeku. Ia berbalik perlahan dan menemukan Yasmin berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel hitam panjang. Wajahnya tampak dingin, tetapi senyuman kecil yang menghiasi bibirnya membuat suasana terasa jauh lebih mencekam.
"Babi." umpat Bian dalam hati
"Yasmin..." Bian mencoba bersikap tenang meskipun jantungnya berdetak kencang. Ia memeluk map hitam itu erat-erat di dadanya, rasa nyeri mulai datang pada jantungnya yang bertedak kencang.
Yasmin melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan suara klik yang tajam. "Aku sudah curiga sejak awal. Kau dan Stefan terlalu banyak tahu... dan terlalu banyak bergerak."
"Kalau kau sudah tahu, kenapa membiarkan aku sejauh ini?" tanya Bian, berusaha menunda waktu sambil memikirkan cara keluar dari ruangan itu.
Yasmin menyeringai. "Karena aku ingin melihat sejauh mana kau berani melawan. Kau cukup cerdas untuk anak seusiamu, Bian, aku harus mengakui itu. Tapi permainan ini terlalu besar untuk bocah kecil sepertimu."
Bian menatap Yasmin dengan mata tajam. "Permainan ini bukan hanya tentang aku. Kau berusaha menghancurkan Ayahku, keluargaku, dan aku tidak akan tinggal diam."
Yasmin tertawa kecil, tetapi tawa itu tanpa emosi. "Keluargamu? Apa kau pikir keluargamu masih ada? Luna sudah tiada, James sepenuhnya ada di tanganku, dan Stefan..." Yasmin berhenti, lalu tersenyum dingin. "Dia terlalu lemah untuk melawan."
"Kau salah. Kak Stefan tidak akan pernah menyerah, dan aku juga tidak."
Yasmin melangkah lebih dekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Bian. "Dan kau pikir kau bisa menghentikanku hanya dengan dokumen itu?" Ia melirik map hitam yang dipeluk Bian. "Kembalikan itu, sekarang."
"Tidak!" Bian melangkah mundur, tangannya mencengkeram map itu lebih erat. "Aku akan memastikan semua orang tahu apa yang kau lakukan. Dewan direksi, Ayah, semua orang!"
Ekspresi Yasmin berubah dingin, senyumnya memudar. "Kau tidak tahu siapa yang kau lawan, Bian. Jika kau terus mencoba melawanku, kau akan menyesal."
Di luar ruangan, Stefan yang sudah menyelesaikan pengalihannya dan mengecek CCTV, ia berlari menyusuri koridor menuju ruang kerja James. Namun, begitu ia sampai di depan pintu, ia mendengar suara Yasmin dari dalam.
"Bian, kau hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Kau pikir dunia ini adil? Kau pikir kebenaran akan menang hanya karena kau memegang selembar dokumen?"
Stefan mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk langsung masuk. Ia tahu ia harus memilih momen yang tepat.
Di dalam, Bian menatap Yasmin dengan tatapan yang tak tergoyahkan. "Aku mungkin hanya anak kecil, tapi aku tahu satu hal, kau tidak akan pernah bisa mengambil keluargaku sepenuhnya."
Yasmin menyipitkan matanya, lalu berkata dingin, "Kalau begitu, mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan."
Tepat saat Yasmin melangkah maju, pintu terbuka dengan keras. Stefan masuk dengan langkah cepat, berdiri di antara Yasmin dan Bian.
"Cukup, Yasmin!"
Yasmin menoleh dengan ekspresi datar, tetapi matanya penuh kebencian. "Ah, Stefan. Tentu saja kau akan datang."
Stefan menatap Yasmin dengan tajam. "Kami tahu apa yang kau lakukan. Kau pikir kau bisa memanipulasi Ayah selamanya? Tidak kali ini."
Yasmin tertawa kecil. "Oh, Stefan... kau sama naifnya seperti adikmu. Kau tidak tahu betapa kecilnya posisi kalian dibandingkan denganku."
"Dan kau tidak tahu seberapa jauh aku akan melindungi keluargaku." balas Stefan tanpa ragu.
Melihat ketegangan memuncak, Bian memanfaatkan momen itu untuk meraih tas kecilnya, menyelipkan dokumen ke dalamnya, dan menarik lengan Stefan. "Kak, kita harus pergi sekarang!"
Stefan, menyadari bahwa ini bukan waktu untuk berdebat, segera menarik Bian ke pintu. Yasmin mencoba mengejar, tetapi Stefan menahan pintu dengan tubuhnya sementara Bian berlari lebih dulu.
"Pergi, Bian! Aku akan menyusul!" teriak Stefan.
Bian ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut dan berlari ke arah lift. Yasmin, di sisi lain, mencoba mendorong pintu, tetapi Stefan berhasil menghalanginya cukup lama hingga Bian berhasil melarikan diri.
-ETERNALLY-
Lampu-lampu di koridor kantor Orion Corp berkedip lemah, menciptakan bayangan yang bergerak mengikuti langkah kaki Bian dan Stefan. Napas Bian tersengal, tangan kecilnya memeluk tas berisi dokumen Orion Vision, seolah hidup keluarganya bergantung padanya, karena memang itulah kenyataannya.
Di belakang mereka, Yasmin dengan langkah tegas menyusuri lorong, hak sepatunya bergema setiap kali menyentuh lantai marmer. Wajahnya dingin dan penuh tekad.
"Kembalikan dokumen itu sekarang, Bian, atau kalian akan menyesal!" teriak Yasmin dari kejauhan, suaranya menggema.
"Bian, ayo cepat!" Stefan memegang tangan adiknya, berusaha menariknya agar mereka bisa lebih cepat keluar dari gedung.
Namun, Bian tiba-tiba berhenti, tangan kirinya mencengkeram dadanya. Wajahnya berubah pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Napasnya pendek dan tidak teratur.
Lagi, Bian mengumpati penyakitnya ini. "Jantung, sialan!"
"Kak..." Bian berbisik lemah, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku... tidak bisa..."
Stefan langsung menghentikan langkahnya, matanya melebar panik. "Bian! Apa yang terjadi? Jantungmu?"
Bian mengangguk kecil, tubuhnya mulai melemas. Ia jatuh berlutut di lantai, tangannya masih erat memeluk tas berisi dokumen.
"Tidak!" Stefan berseru, menunduk untuk memeriksa adiknya. Dia tahu kondisi Bian tidak cukup baik akhir-akhir ini, ia pun mulai dilanda rasa bersalah karena sudah mengikut sertakan Bian untuk mencuri dokumen ayahnya.
Langkah Yasmin semakin mendekat. Suara hak sepatunya terdengar semakin jelas, seperti penghitung waktu yang menekan mereka berdua.
Stefan mencoba mengangkat Bian, tetapi tubuh kecil itu menolak dengan lemah. Bian menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit.
"Kak... tinggalkan aku. Bawa dokumen itu dan pergi..." Bian berkata dengan suara terputus-putus, matanya penuh dengan air mata yang ia tahan.
"Tidak akan! Aku tidak akan meninggalkanmu!" Stefan menjawab dengan tegas. Ia menggenggam bahu Bian erat-erat. "Kita pergi bersama, apa pun yang terjadi."
Yasmin akhirnya muncul di ujung koridor. Dia melihat keduanya berjongkok di lantai dan tersenyum tipis, penuh kemenangan.
"Ah, jadi ini akhirnya? Stefan, Bian... kalian memang berani, tapi permainan kalian berakhir di sini." ujar Yasmin sambil melangkah mendekat.
Stefan menatap Yasmin tajam, wajahnya penuh amarah. "Kau tidak akan menang, Yasmin. Kami punya semua bukti untuk menghancurkanmu!"
Yasmin tertawa kecil, anggun tetapi penuh ejekan. "Oh, kau pikir kau bisa menghancurkan aku? Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan adikmu. Lihat dia, Stefan. Dia tidak bisa bergerak. Kau mau menyelamatkan dia, atau menyelamatkan dokumen itu?"
"Tidak, tidak boleh gagal seperti ini." lirih Bian dalam hati, menatap tajam pada Yasmin.
Stefan mengepalkan tangannya, tubuhnya gemetar menahan emosi. Tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Bian berbicara dengan suara lirih.
"Kak... biarkan aku di sini. Bawa dokumen itu ke tempat aman. Kau harus... menyelesaikan ini." desis Bian, air mata akhirnya mengalir di pipinya karena rasa sakit yang menyiksa.
"Tidak. Tidak ada yang tertinggal." Stefan menarik napas dalam, berusaha mengendalikan pikirannya yang kacau.
Dia lalu berdiri, menarik tubuh Bian ke dalam pelukannya. Dengan satu gerakan cepat, Stefan mengangkat Bian di kedua lengannya. Adiknya itu terasa ringan, tetapi tubuhnya bergetar karena sakit.
"Kalau kau pikir aku akan memilih, Yasmin, maka kau tidak mengenalku sama sekali." Stefan menatap Yasmin dengan tatapan membara. "Aku akan melindungi Bian dan menghancurkanmu."
Stefan berlari menuju pintu tangga darurat dengan Bian di pelukannya, meninggalkan Yasmin yang mengejar di belakang. Tubuhnya menegang oleh adrenalin, tetapi ia tahu ia harus bergerak secepat mungkin.
Bian, yang berada di pelukannya, berbisik lemah, "Kak... jangan biarkan dia menang... apa pun yang terjadi..."
"Aku tidak akan, Bian." jawab Stefan sambil mendobrak pintu tangga darurat. Tangga itu gelap dan sempit, tetapi ia terus menuruni anak tangga dengan langkah cepat.
Yasmin mengejar mereka dengan napas terengah, tetapi ia mulai kehilangan kesabaran. "Berhenti, Stefan! Kau hanya memperburuk keadaan!"
"Kau yang memperburuk keadaan ini sejak awal!" Stefan membalas tanpa menoleh, kakinya terus melangkah menuruni tangga.
Namun, tubuh Stefan mulai merasakan beban. Ia lelah, dan pelarian ini semakin sulit dengan Bian di pelukannya. Napasnya berat, tetapi ia tidak membiarkan dirinya berhenti.
"Stefan... kau tidak bisa lari selamanya1" teriak Yasmin dari atas tangga, suaranya tajam dan menusuk.
Saat Stefan akhirnya mencapai lantai bawah, ia menyadari pintu keluar menuju halaman belakang gedung terkunci. Wajahnya berubah panik. Ia meletakkan Bian perlahan di lantai, lalu mencoba mendobrak pintu itu, tetapi pintu besi itu terlalu kuat.
Yasmin akhirnya menyusul, berdiri di atas tangga beberapa meter dari mereka. Dia tersenyum lelah tetapi penuh kemenangan. "Sudah kubilang, kalian tidak akan ke mana-mana."
Bian, yang terbaring lemah di lantai, mengangkat kepala sedikit, menatap Yasmin dengan tatapan penuh kebencian. "Kau... tidak akan menang..." desisnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Yasmin melangkah mendekat, tetapi sebelum ia sempat meraih mereka, suara sirene terdengar dari luar.
Stefan dan Yasmin sama-sama terkejut. Yasmin berhenti, menoleh ke arah suara itu. Mobil keamanan perusahaan berhenti di depan pintu keluar gedung.
"Stefan? Bian? Kalian di sana?" Terdengar suara seorang pria dari luar. Itu suara salah satu anggota dewan direksi yang Stefan kenal baik, orang yang sudah ia hubungi sebelumnya untuk meminta bantuan.
Yasmin terdiam, wajahnya berubah tegang. Ia tahu situasi ini tidak menguntungkannya. Dengan napas berat, ia mundur perlahan, lalu berlari kembali ke atas tangga tanpa sepatah kata.
Pintu akhirnya terbuka dari luar, dan Stefan segera menggendong Bian keluar. Anggota dewan yang membantu mereka tampak terkejut melihat kondisi Bian.
"Dia butuh dokter!" kata Stefan dengan nada tegas. "Cepat bawa dia ke rumah sakit."
Bian tak bisa mendengar suara apapun disekelilingnya, ia hanya terus meringis kesakitan sambil meremat erat dadanya.
Dalam hati ia hanya bisa berdoa, "Tolong, siapapun tolong hentikan rasa sakit ini."
Malam itu, Bian dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya benar-benar buruk, ia bahkan kehilangan kesadarannya tepat saat sampai dirumah sakit, membuat Stefan dilanda kepanikan yang luar biasa.
-BERSAMBUNG-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro