DANDELION
-Harapan atau Keinginan yang Terkabul-
Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Stefan berdiri bersandar di dinding dengan wajah sembabnya. Ia baru saja keluar dari ruang rawat ibunya yang kini terbaring lemah akibat kabar mengejutkan tentang perselingkuhan suaminya.
Di sudut ruangan, ia melihat seseorang yang tak ingin ditemuinya, Yannis. Namun, yang lebih membuatnya marah adalah sosok Bian yang sedang berbicara dengan Yannis.
Stefan melangkah cepat, amarah membara di wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini dengan adikku, Yannis?" suaranya menggelegar, membuat beberapa orang di ruangan itu menoleh.
Yannis menatap Stefan dengan tenang, meski matanya sedikit lelah. "Gua ga melakukan apa pun yang salah. Gua cuma mau menemui adik lo."
"Cukup alasanmu! Kau sudah cukup membuat keluarga kami hancur!" bentak Stefan. "Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mendekati adikku setelah semua yang kau lakukan? Memukul ayah kami dan—"
"Kak Stefan!" Bian menyela, berdiri di antara mereka.
"Sudah cukup! Ini bukan waktunya untuk bertengkar."
Stefan menatap adiknya dengan sorot tak percaya. "Kau masih membelanya setelah semua yang dia lakukan?"
Bian menghela napas dalam, mencoba meredakan suasana. "Aku tidak membela siapa pun, Kak. Aku hanya ingin pulang ke mansion. Kita hentikan ini."
Stefan menggeleng keras. "Tidak! Kau tidak bisa pulang sendiri. Aku tidak akan membiarkanmu."
"Kak, aku bisa menjaga diri," kata Bian dengan suara pelan namun tegas.
"Lagipula, kau seharusnya di sini, di sisi Bunda. Ia lebih membutuhkanmu sekarang."
Stefan tampak bimbang, tapi sebelum ia sempat merespons, Yannis membuka suara.
"Kalo lo ga mau Bian pulang sendiri, biar gua nemenin dia pulang."
Mata Stefan menyipit, tatapannya penuh kemarahan. "Beraninya kau ikut campur urusan keluarga kami? Ini bukan tempatmu!"
Yannis menatap Stefan dengan tenang, tak sedikit pun terintimidasi.
Bian memegang lengan Stefan, mencoba menenangkannya. "Kak, tolong. Aku akan baik-baik saja. Yannis, aku bukan anak kecil yang harus ditemani." Yannis memandang tak suka jawaban Bian
Stefan tetap menggeleng tak setuju, "Bian, Kakak ga mau kamu kenapa-napa saat di mansion sendirian nanti. Kalau Bunda nanti nanyain kamu dan sampe tau kalau kamu di mansion sendiri, gimana?"
Bian menghela napas panjang, merasa percakapan itu semakin memanas. Ia memandang Stefan dengan tatapan penuh harap. "Kak, aku tahu kamu khawatir, tapi aku juga perlu waktu untuk menenangkan diri di rumah. Kamu harus percaya padaku."
Stefan masih terlihat bimbang, pandangannya bergantian antara Bian dan Yannis. Akhirnya, ia menatap adiknya dengan sorot mata lembut meski penuh kekhawatiran. "Baiklah. Kamu boleh pulang. Tapi hanya jika kamu benar-benar menjaga dirimu. Dan aku akan memastikan bodyguard tetap bersamamu."
Ia menatap Yannis tajam. "Dan kau, lebih baik kau pergi dan jangan pernah memunculkan diri dihadapan saya. Dan satu lagi, jangan dekati adik saya."
Yannis hanya mengangguk tanpa banyak bicara, sementara Bian tersenyum kecil pada kakaknya. Meski situasinya masih penuh ketegangan, ia merasa lega akhirnya bisa pulang, meskipun dengan pengawasan ekstra.
Malam telah larut ketika Bian tiba di mansion. Udara dingin menyapa kulitnya saat ia turun dari mobil, diikuti oleh dua bodyguard yang diperintahkan Stefan untuk memastikan keselamatannya. Lampu-lampu besar di teras menyala terang, menerangi jalan menuju pintu depan mansion yang megah.
Begitu masuk, ia disambut oleh para maid dengan ekspresi penuh perhatian. Salah satu dari mereka, Clara, yang paling senior, mendekat dan menatap Bian dengan cemas.
"Tuan muda Bian, kami semua sangat khawatir. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Clara lembut.
Bian tersenyum tipis, meski lelah terlihat jelas di wajahnya. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."
"Tuan Stefan sudah memberi tahu kami bahwa Anda akan pulang. Silakan langsung beristirahat, tuan. Anda pasti lelah." kata maid lainnya sambil mengulurkan segelas air hangat.
Namun, sebelum Bian sempat menjawab, ponselnya bergetar. Ia melirik layar dan mendapati nama Stefan tertera di sana. Ia mengangkatnya dengan cepat.
"Halo, Kak." sapanya lembut.
"Bian, kau sudah sampai di mansion?" suara Stefan terdengar, masih penuh perhatian, meski ada nada tegas di baliknya.
"Ya, aku sudah sampai." jawab Bian.
"Bagus," balas Stefan, suaranya mereda sedikit.
"Pastikan kau istirahat. Kalau ada sesuatu, langsung hubungi aku. Aku sudah memastikan semuanya aman di sana."
"Iya, Kak. Terima kasih." ujar Bian sebelum panggilan terputus.
Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega meski masih ada beban yang mengganjal di hatinya. Clara mengikutinya menuju kamar dengan membawa selimut tipis.
"Tuan muda, silakan beristirahat. Jika membutuhkan sesuatu, Tuan tinggal panggil saja saya atau maid yang berada disekitar." ucap Clara, tersenyum lembut.
Saat pintu kamar tertutup, Bian membiarkan dirinya bersandar sejenak di dinding, memejamkan mata.
Meski tubuhnya berada di mansion, pikirannya masih berkecamuk, ia memikirkan Luna dan Stefan di rumah sakit, Ayahnya yang tidak tau kabarnya sekarang berada dimana, mengingat kembali cerita Yannis dan ibunya, serta memikirkan bagaimana nasib masa depan dirinya.
Pikiran-pikiran buruk kembali mulai bertadangan. Namun, ia menggeleng pelan, mengusir pikiran buruknya. "Aku hanya butuh tidur," gumamnya pada dirinya sendiri, berjalan menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang lelah.
-ETERNALLY-
Matahari sudah tinggi dan Bian baru membuka matanya. Ia menggeliat pelan di atas tempat tidur, tapi segera meringis saat rasa nyeri menyerang sekujur tubuhnya. Ia berfikir, mungkin kelelahan dari perjalanan dan semua emosi kemarin. Dengan malas, ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah, berusaha mengumpulkan tenaganya untuk memulai hari.
Setelah berganti pakaian, ia turun ke ruang makan untuk sarapan. Namun, langkahnya terhenti di tengah lorong ketika suara gaduh dari arah pintu depan menarik perhatiannya. Ia melihat dua bodyguard mansion sedang memapah seseorang masuk yaitu ayahnya, James. Wajah pria itu merah dan kacau, aroma alkohol tercium tajam meski dari kejauhan.
"Ayah?" panggil Bian dengan nada bingung dan sedikit marah.
Mendengar suara Bian, James segera menoleh. Mata pria itu tampak bengkak, mungkin karena menangis. Tanpa memperdulikan kondisinya yang berantakan, James melepas pegangan bodyguard-nya dan berjalan tertatih mendekati Bian.
"Bian! Nak...!" suara James serak, penuh emosi. Tiba-tiba ia menghambur memeluk Bian, tubuhnya gemetar.
Bian kaku, tak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba menjauhkan diri, tapi pelukan James semakin erat. "Ayah, apa yang kau lakukan? Kau mabuk!"
James menangis terisak di bahu Bian, suaranya terdengar kacau. "Bian, maafkan Ayah... Ayah tak tahu harus bagaimana lagi. Ayah terjebak, nak. Ayah tidak pernah melakukan itu... Ayah tidak pernah berselingkuh!"
Bian membeku, tubuhnya tegang mendengar kata-kata itu. Ia melepaskan pelukan ayahnya dengan paksa, memandang wajah James yang basah oleh air mata. "Apa maksud Ayah?"
Air mata James mengalir semakin deras. "Nak.. semua ini jebakan! Yasmin... wanita itu! Dia yang menjebakku! Ayah tidak pernah mengkhianati ibumu!"
Bian terdiam, memejamkan matanya sebentar. "Ingat, sebagai Bian." ucapnya dalam hati.
"Bagaimana aku bisa percaya, Ayah?" Bian akhirnya bertanya.
James memegang kedua pundak Bian erat. "Nak, kau harus percaya pada Ayah. Bundamu.. Ayah sangat mencintainya. Semua ini hanya rencana jahat Yasmin untuk menghancurkan keluarga kita! Dia ingin balas dendam pada Ayah karena.. karena sesuatu yang terjadi di masa lalu."
Bian menatap ayahnya dalam-dalam, sebelum ia sempat menjawab, Clara muncul dari balik pintu ruang makan, wajahnya penuh kecemasan.
"Tuan muda Bian, Tuan Besar.. semuanya baik-baik saja?"
Bian hanya mengangguk pelan, tapi pikirannya masih penuh kekacauan. James, di sisi lain, kembali terisak. Dalam hati, Bian tahu ini bukan sesuatu yang bisa ia abaikan. Spekulasi akan alur cerita dari novel aslinya masih berjalan, membuat ia mendapat secercah harapan akan masa depannya.
Bian hanya terdiam duduk disamping James yang terbaring diranjang kasur miliknya, menangis tanpa henti. Napasnya terasa berat, dadanya sesak. Ia tentu sudah tahu kebenarannya. Fakta bahwa Yasmin telah menjebak ayahnya untuk membalas dendam sudah ia ketahui, karena itu adalah alur cerita asli novel yang ia tulis.
James mengangkat wajahnya yang sembab, menatap Bian dengan harapan yang putus asa. "Nak.. tolong percaya pada Ayah. Ayah tidak pernah melakukan itu... tidak pernah. Kau harus percaya..."
Bian hanya bisa menatapnya, sorot matanya penuh kesedihan dan rasa bersalah. Bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu kata pun yang keluar.
"Ayah.." Suaranya akhirnya keluar, pelan, hampir berbisik. Ia menelan ludah, "Aku, tahu." ucapnya pelan.
James menatapnya, kaget. "Kau tahu?"
Bian mengangguk pelan, pandangannya jatuh ke lantai. "Aku tahu Ayah tidak bersalah. Aku tahu semua ini ulah Yasmin. Tapi.. aku belum bisa melakukan apa-apa untuk Ayah."
James terdiam, tubuhnya terlihat semakin lemas. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Nak.. maafkan Ayah. Ayah seharusnya melindungi kalian semua, bukan malah menjadi beban."
Bian menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang meluap-luap. Ia ingin membela ayahnya, meskipun dirinya hanyalah jiwa orang lain yang tak sengaja masuk kedalam tubuh ini, tetap saja dirinya memiliki rasa kasihan, ia ingin berteriak pada dunia bahwa James tidak bersalah. Tapi situasinya begitu rumit. Ibunya masih terbaring di rumah sakit, Stefan penuh amarah dan dendam, dan Yasmin memiliki pengaruh besar yang sulit disentuh, yaitu Yannis.
"Ayah, aku.. aku akan mencari cara," kata Bian akhirnya, suaranya bergetar. Ia mendekat dan berlutut di depan ayahnya, menggenggam tangannya yang gemetar. "Tolong bertahan, Ayah. Aku belum tahu bagaimana, tapi aku janji akan membantumu."
James memandang putranya dengan mata penuh air mata, mengangguk pelan. "Kau anak yang baik, Bian. Ayah hanya berharap kau tidak terbawa dalam kekacauan ini.."
Bian menggeleng, menatap ayahnya dengan tegas meski matanya basah. "Kita keluarga. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Bian tentu merasa sangat bersalah, jika bukan karena dirinya yang membuat cerita menyedihkan ini, pasti mereka tidak akan merasakan penderitaan ini.
Bian berdiri dari kursi tempatnya duduk tadi, berusaha untuk mengumpulkan kekuatan meskipun tubuhnya terasa lemah dan nyeri. Ia menatap James yang sudah tertidur di tempat tidur kamarnya, tubuh ayahnya yang tampak tak berdaya dengan napas yang teratur. Sementara itu, pikiran Bian masih terombang-ambing karena pernyataan kejujuran ayahnya yang tidak ia tebak akan datang secepat ini.
Ia menghela napas panjang dan mengambil ponselnya. Segera, ia menghubungi Stefan, untuk memberitahunya keadaan James.
Begitu panggilan terhubung, suara Stefan langsung terdengar cemas. "Bian, ada apa? Kenapa kau menelepon?"
"Ayah... dia datang dalam keadaan mabuk, Kak. Dia.. menangis dan mengaku tidak bersalah. Ia bilang Yasmin menjebaknya..." Menjeda kalimatnya, "Tapi dia sekarang, sedang tertidur."
Namun, saat Bian melanjutkan pembicaraan, ia merasa dadanya terasa sesak, nyeri yang mulai menjalar seperti ada yang menekan. Sebagai seseorang yang sudah pernah merasakan rasa sakit ini sebelumnya, Bian mengenali gejala itu dengan cepat. Rasa sakitnya semakin tajam dan membuat tubuhnya goyah.
"Bian? Bian, kamu mendengar aku?" suara Stefan terdengar semakin panik, membuat Bian terkejut sejenak.
"Ada yang salah, aku.. aku merasa sangat sakit, Kak," jawabnya, suara seraknya semakin jelas. Ia terhuyung-huyung menuju meja, berusaha mencari tempat untuk duduk, namun rasa sakit di dadanya membuatnya hampir jatuh.
Stefan, yang mendengar ketegangan dalam suara Bian, langsung berteriak, "Bian! Bertahanlah! Jangan tutup telepon, aku akan segera ke sana!"
Namun, rasa sakit yang semakin parah membuat Bian tidak bisa melawan lagi. Dengan satu langkah goyah, ia terjatuh ke lantai kamar James. Ponselnya terlepas dari tangan dan jatuh ke samping, suara Stefan yang semakin cemas terdengar samar-samar, memanggil-manggil namanya.
"Bian? BIAN!" suara Stefan menjadi semakin panik, tetapi Bian tidak bisa lagi menjawab. Tubuhnya terasa semakin berat, dan kesadaran mulai menghilang begitu saja.
Di sisi lain, Stefan, yang masih memegang ponsel dengan cemas, mendengar hanya suara rintihan lemah dan napas yang terputus-putus. "Bian, tolong jawab Kakak." Suaranya hampir putus-putus karena kepanikan.
Dengan langkah cepat, ia segera meninggalkan rumah sakit, berlari menuju mobil dan menuju mansion, berpikir hanya satu hal, yaitu untuk menyelamatkan adiknya.
-BERSAMBUNG-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro