Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ANTIRRHINUM




-Kemunafikan atau Kepalsuan-









Paginya, Bian yang biasanya dibangunkan oleh Luna, kali ini ia terbangun sendiri. Dilihatnya pesan yang ia kirimkan pada Yannis yang ternyata hanya dibaca olehnya dan tidak memberikan balasan.

Tak ambil pusing, Bian memilih menaruh kembali ponselnya. Ia pun keluar kamar dan pergi ke ruang makan.

Bian mengerutkan keningnya kala tak mendapati Luna yang biasanya tengah menyiapkan sarapan, kini hanya ada beberapa maid yang sibuk menyiapkan sarapan.

"Bunda belum turun, Bi?" tanya Bian pada salah satu maid yang tengah menata sarapan dimeja makan.

Main itu pun menundukkan tubuhnya pada Bian dan menggeleng, "Nyonya sepertinya sedang sakit, tuan muda."

"Sakit?" gumam Bian

Bian pun menatap maid tersebut dan mengangguk mengerti, "Oke, bi. Makasih. Bian cek Bunda dulu ya." ucapnya

Bian pun hendak memeriksa keadaan Luna di kamarnya, namun baru saja dirinya berbalik, Stefan sudah berada di belakangnya, "Tidak usah, kakak sudah cek kondisi Bunda. Bunda sepertinya terserang demam, sudah kakak beri obat, sekarang Bunda sedang istirahat."

Bian pun mengangguk, "Ayah, dimana?" tanyanya

Stefan pun menolehkan kepalanya pada ruang kerja James, "Ayahmu di dalam sana." jawab Stefan

Stefan pun melangkahkan kakinya melewati Bian, berjalan menuju meja makan dan mendudukkan dirinya disana.

"Sini, hari ini kamu sarapannya sama kakak saja."

Bian hanya menurut, duduk berhadapan dengan Stefan. Baru dirinya duduk, tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar.

Samar-samar Bian mendengar suara seseorang diluar. "Tuan, anda tidak boleh sembarangan masuk!"

Bian dan Stefan pun menatap pada pintu utama, tak lama suara gedoran pintu dari luar pun terdengar. Bian dan Stefan pun saling tatap, mereka berdua pun bersamaan bangun dari kursinya.

Bian berjalan menghampiri pintu, Stefan dengan cepat menahan Bian untuk tak mendekat pada pintu. "Kamu diam disini, biar kakak yang cek keluar."

Saat pintu itu dibuka, baik Stefan dan juga Bian melebarkan kedua matanya terkejut mendapati Yannis yang sedang ditahan oleh para penjaga. Melihat pintu terbuka, Yannis menepis kencang dan berhasil lolos dari cengkraman para penjaga.

"Kamu?!"

"Yannis?!"

Bian dan Stefan berucap bersamaa, Yannis dengan raut wajah emosinya masuk kedalam mansion berteriak memanggil nama James.

Yannis melihat sekeliling ruangan, tatapannya berhenti pada Bian. Dirinya pun melangkah dengan cepat mendekat pada Bian, namun dengan cepat Stefan menahannya.

"Mau apa kamu?! Sopan kamu, datang kerumah orang teriak-teriak kayak gitu?!" bentak Stefan

Lagi, cengkraman Stefan yang begitu kuat berhasil ditepis oleh Yannis.

Bian diam memperhatikan saat Yannis berjalan mendekatinya, tanpa sadar dirinya melangkah mundur saat Yannis semakin memojokkannya.

"Dimana pria itu?" tanya Yannis dengan nada yang sangat dingin.

Bian diam tak berani berbicara, entah mengapa aura Yannis sangat mengintimidasinya sampai tak sadar dirinya sedikit bergetar ketakutan.

Stefan dengan cepat menarik Yannis menjauh dari Bian, "Mau apa kamu, hah?! Jangan berani-berani dekati adik saya!"

Yannis pun mendorong kasar tubuh Stefan, "Dimana Ayah lo?! Suruh dia keluar, pria tua bangsat!"

Stefan tentu marah saat ayahnya diteriaki seperti itu, ia pun mendorong balik Yannis hingga terjatuh. Tak lama suara pintu terbuka terdengar, Bian dengan cepat menoleh dan melihat James yang berjalan menuruni tangga.

"Apa yang kamu lakukan disini, Yannis?" tanya James dengan tegas

Melihat kehadiran James, dengan cepat Yannis bangkit dan berjalan cepat menghampiri James.

Pukulan Yannis pada James pun tak terhentikan, menimbulkan teriakkan orang-orang yang melihat.

"Yannis!" teriak Stefan

Ditariknya kembali Yannis oleh Stefan, namun kali ini benar-benar sulit karena Yannis sangat memberontak.

"Puas lo buat Ibu gue hancur?! Lo kan yang maksa dia buat lakuin itu?! Jawab Bangsat!" Yannis berteriak sambil mencekram kerah James erat.

"Lepas Yannis! Saya bilang lepas!" bentak Stefan lagi

Cengkraman erat itu sukses membuat James tercekik, ia pun berusaha memukul lengan Yannis yang tak melonggarkan cengkramannya melainkan semakin bertambah erat.

Setelah sadar dari keterkejutannya, Bian pun mencoba mendekat pada Yannis, namun langkahnya terhenti kala ia melihat Luna sedang menuruni anak tangga.

"Bunda."panggil Bian pelan

"Tanggung jawab, sialan! Gara-gara lo, Ibu gue hamil, bangsat!"

"Hah?!" Bian dengan cepat menoleh pada Yannis, semua pun terdiam. Stefan, James bahkan dirinya langsung diam membeku mendengar penuturan Yannis.

Bian dengan cepat kembali melihat ke arah Luna. "Bunda." panggil Bian panik.

Mendengar Bian memanggil bundanya, Stefan dan James dengan cepat menoleh pada Luna yang tengah terdiam di tengah tangga sambil menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.

"Bunda!" Bian dengan cepat berlari menaiki tangga menghampiri Luna yang meluruh terduduk pada anak tangga.

Stefan pun ikut meneriaki Luna, namun dirinya tak bisa melepaskan Yannis atau Yannis akan terus memukuli James.

Tak lama, para bodyguard ayahnya masuk dan mengambil alih Yannis. Meskipun Yannis terus memberontak, kali ini tenaganya kalah dengan 5 bodyguard yang dengan erat memegangnya.

Stefan pun melepaskan pegangannya pada Yannis dengan nafas yang terengah-engah, ia menghampiri James dan membantunya duduk. Saat hendak mengecek keadaan James, tiba-tiba Bian berteriak memanggilnya.

"Kak Stefan!" mendengar teriakan Bian, Stefan dengan cepat menoleh.

Dilihatnya Luna yang sudah tak sadarkan diri dipelukan Bian, membuat dirinya diam mematung.

Pegangan tangannya dengan James langsung ia lepas, dirinya pun berlari menghampiri Bian sambil berteriak memanggil Luna. Dengan tangan yang gemetar, diangkatnya tubuh kecil bundanya dan langsung berlari keluar berteriak memanggil sopir pribadi keluarganya.

Meninggalkan Bian, James dan Yannis yang sudah terduduk menangis meraung, mengumpati James atas perlakuannya pada ibunya.

James hanya diam terduduk dengan pandangan kosongnya, begitu juga Bian yang masih terduduk di anak tangga.

Bian mengepalkan tangannya erat, memejamkan kedua matanya bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Ia tatap langit-langit mansion yang begitu tenang, berbanding terbalik dengan pendengarannya yang dipenuhi oleh tangisan Yannis.


Bian tak menyangka, pagi ini berakhir dengan sangat kacau.










-ETERNALLY-











Sebuah kamar di rumah sakit yang tenang, dengan suara monitor detak jantung yang pelan. Luna, yang terbaring lemah baru saja sadar dari pingsannya. Stefan, yang duduk di tepi ranjang memegang tangan Luna dengan mata sembab, sementara Bian, duduk bersandar di sofa sambil memejamkan matanya.

Luna menatap pada kedua putranya, "Stefan... Bian... Kalian di sini?" tanyanya dengan suara yang begitu lemah

Menyadari Luna yang sudah sadar, ia pun menyeka air matanya dan tersenyum pada Luna. "Iya, Bun. Kami di sini. Jangan khawatir, Bunda. Semuanya akan baik-baik saja." ucapnya

Luna pun berusaha membalas tersenyum pada Stefan, namun air matanya menetes tanpa ia mau. "Maaf, sayang. Bunda membuat kalian khawatir."

Bian mendekat ke ranjang. "Kenapa Bunda minta maaf? Bunda nggak salah apa-apa." ucap Bian

Dielusnya kepala Bian oleh Luna, dirinya sedikit lega karena melihat Bian yang dalam kondisi baik-baik saja.

"Bunda cuma sedih, bukan karena Ayah saja, tapi karena kalian harus melihat Bunda seperti ini. Bunda ingin selalu kuat untuk kalian." ungkap Luna

Stefan menggenggam tangan bundanya lebih erat, "Bunda nggak perlu berpikir seperti itu. Kalau Bunda sedih, biar kami yang jaga Bunda. Kami di sini buat Bunda." pinta Stefan

Bian mengangguk cepat, "Iya, Kak Stefan benar. Bian tau Bunda pasti sedih dan kecewa, tapi Bian mohon sama Bunda."

Kali ini berbalik, Bian yang mengelus tangan Luna, "Jangan pendam perasaan sedih dan kecewa itu sendiri ya, Bunda. Kami disini ada untuk Bunda." tutur Bian

Mendengar penuturan Bian, dirinya pun tak lagi menahan tangisnya. ditariknya Bian dan Stefan kedalam pelukannya. "Bunda sayang sekali pada kalian. Anak-anak hebat Bunda, kalian adalah alasan Bunda tetap bertahan." ucap Luna dengan isak tangisnya

Stefan pun tak kuasa menitihkan air matanya, diusapnya dengan kasar. " Kami janji akan selalu ada buat Bunda, apa pun yang terjadi, kami di sini buat Bunda."

"Terima kasih, sayang. Bunda juga janji, akan selalu ada untuk kalian."

Hening sejenak. Mereka bertiga saling berpelukan, menikmati kehangatan keluarga meski dalam kondisi penuh luka.

Luna merasa sedikit lega karena kekuatan cinta kedua anaknya yang tulus. Meski luka di hatinya belum sembuh, ia tahu bahwa ia masih memiliki alasan untuk terus melangkah.





Lorong rumah sakit yang sunyi. Bian, keluar dari kamar rawat Luna untuk mengambil udara segar setelah berbicara dengan bundanya. Di ujung lorong, seorang laki-laki yang ia kenali sedang duduk sendirian di kursi tunggu. Itu adalah, Yannis.

Bian pun berjalan mengahampiri, "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pelan.

Yannis yang tadinya menunduk akhirnya mengangkat kepalanya menatap pada Bian.

Dapat Bian lihat mata Yannis yang begitu sembab, ia pastikan orang ini pasti sudah menangis dari semalam.

Yannis memegang kedua tangan Bian dengan tiba-tiba.

"Bian..."

"Apa yang harus ku lakukan?"

Bian pun berjongkok didepan Yannis, menyesuakan tingginya dengannya.

"Kenapa?" tanya Bian

Bian melihat tatapan Yannis dan ikut merasakan perasaan yang begitu menyakitkan.


"Sepertinya ada kebenaran yang harus kita ketahui, Bian."













"Ini, berkaitan dengan nyawa seseorang."










-BERSAMBUNG-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro