VI. Tulip
"I think it is all a matter of love; the more you love a memory the stronger and stranger it becomes"
― Vladimir Nabokov
***
Wanita itu tertidur di atas sofa.
Untuk pertama kalinya setelah nyaris sebulan tinggal bersama wanita ini di apartemen miliknya di Tribeca, Nathan bangun lebih dulu daripada Amelie. Selama ini ia selalu menyadari kalau mereka tidak pernah tidur bersama. Sisi di sebelah kasurnya selalu rapi dan licin, seolah-olah tidak pernah ditiduri sebelumnya. Nathan tidak pernah mempersalahkannya. Amelie masih menjadi wanita asing di dalam kehidupannya. Selama ini ia mengira kalau wanita itu akan pulang dan kembali kerumahnya lalu kembali datang kepadanya sebelum pagi tiba. Namun semua perkiraannya itu terbantahkan ketika melihat Amelie tertidur di sofa.
Badan wanita itu meringkuk seperti anak kecil, berusaha tertidur nyaman di sofa panjang yang berada di ruang tamu pria itu hanya dengan bantal kecil dan selimut tipis. Nathan melihat ke jendela, semburat cahaya matahari bahkan belum bangun. Langit masih sangat gelap. Wanita itu meringkuk kedinginan, selimut yang ia kenakan merosot turun dari bahunya yang kecil dan ramping. Dia kedinginan.
Nathan berjalan kembali ke kamarnya, mengambil selimutnya yang besar dan hangat lalu menyampirkannya ke badan Amelie yang masih meringkuk kedinginan. Dia lalu duduk melantai, bersandar pada sofa besar yang menjadi alas tidur Amelie. Awalnya ia hanya ingin mengistirahatkan matanya sesaat, mengingat ia bangun terlalu pagi. Terlalu awal dari biasanya, namun tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya dan membuat jatuh tertidur.
***
Masa depan adalah hal yang paling tidak bisa ditebak atau diprediksi dalam hidup Nathan. Beberapa bulan, bukan, beberapa tahun yang lalu mungkin kalau orang menanyakan masa depannya ia akan bisa menjawabnya dengan pasti. Menjadi penerus usaha keluarganya dan menikah dengan wanita yang ia cintai, Cassidy. Namun sekarang semuanya terasa begitu kabur dan tidak jelas. Ingatannya terhenti di masa kuliahnya saat ia masih bersama Cassidy, namun ketika ia terbangun dari kecelakaan itu, ia sudah menikah dengan wanita asing yang sama sekali tidak dikenalnya.
Nathaniel menatap kanvas kosong yang berjejer rapi di ruang lukis Amelie. Sejauh apakah hubungannya dengan wanita ini? Hingga dia bahkan menyediakan ruangan khusus untuk wanita itu? Nathan menyentuh kanvasnya satu demi satu, dia bisa merasakan lapisan tipis debu yang mengotori kanvas-kanvas itu. Mereka mungkin akan berpisah, tapi itu tidak membuatnya merubah ruangan ini.
Nathan duduk di bangku kayu yang biasa Amelie gunakan untuk melukis dan menatap kanvas kosong yang berada di hadapannya. Wanita itu menghindarinya lagi. Nathan tidak tahu apa yang membuat wanita itu selalu enggan berada di sebelahnya, apakah karena mereka sebentar lagi berpisah? Tidak, Nathan tidak yakin karena dia bisa melihat raut wajah kecewa Amelie ketika dia menyinggung Cassidy. Apakah mereka berpisah karena Cassidy? Atau mungkin karena pria yang selalu bersama Amelie itu? Tapi tidak mungkin mereka menikah bila Nathan masih mencintai Cassie. Nathan membayangkan Cassidy lalu membandingkannya dengan Amelie. Mereka begitu berbeda. Cassie merupakan tipe wanita mandiri yang tidak bisa diatur, sementara Amelie sepertinya merupakan wanita yang bebas dan lembut. Apa yang ada di benak Amelie ketika wanita itu merawatnya?
"Apa yang kau lakukan di sini?" Nathan tersentak kaget melihat Amelie masuk ke dalam ruangan membawa dua gelas kopi dan bungkusan kertas berisi croissant. Aroma harumnya mengalahkan aroma minyak dan cat yang begitu pekat di ruang lukis Amelie. Amelie menaruh barang bawaannya di atas meja dan membuka jendela lebar-lebar. Udara segar segera masuk ke dalam ruangan itu. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelie mengulangi pertanyaan sekali lagi.
Nathan memperhatikan wanita itu, ia membuka bibirnya kemudian mengatupkannya lagi. Bingung hendak menjelaskan apa kepada wanita yang berada di hadapannya ini. "Kau darimana?"
"Aku membeli ini." Amelie mengangkat bungkusan yang dibawanya. Ia mengeluarkan croissantnya kemudian mencubitnya lalu memakannya. Wanita itu punya cara makan yang unik, pikir Nathan. Amelie tidak langsung segera menggigit croissantnya, dia memilih menikmatinya pelan-pelan. "Kau mau?"
Nathan hanya mengangguk sekilas. Amelie mengeluarkan croissant lainnya, melapisinya dengan tissue lalu memberikannya kepada Nathan. Nathan menggigitnya pelan dan merasakan mentega yang segera lumer di lidahnya. "Ini enak."
"Aku tahu." Amelie tersenyum kepadanya dan mengangguk antusias.
"Kau terdengar antusias pagi ini." Nathan merasakan aura bahagia dari Amelie. Biasanya tiap pagi wanita itu terlihat lelah dan menghindarinya, namun kini ia duduk di hadapan Nathan dan menikmati sarapannya di ruang lukis bersamanya.
"Aku hanya merasa senang." Amelie lagi-lagi tersenyum kepadanya. Amelie menepuk tangannya yang dikotori remah roti, ia mengeluarkan kopinya dan mendesis pelan ketika menyesapnya.
"Hati-hati." Nathan memperingatkan Amelie begitu melihat wanita itu baru saja melukai lidahnya sendiri.
Amelie menaruh gelas kopinya lalu menyerahkan gelas lainnya kepada Nathan. Nathan menerimanya dengan susah payah mengingat tangan kirinya masih di balut gips. Amelie mengambil croissant yang berada di tangan Nathan dan menaruhnya berdampingan dengan gelas kopinya agar pria itu tidak kesulitan memegang keduanya. "Bagaimana kakimu?" Amelie melihat ke arah kaki Nathan. Jauh lebih baik. Sangat baik malah jika dibandingkan saat pria itu masih terbaring koma di rumah sakit.
"Tidak sesakit yang terlihat." Nathaniel menggerakkan kakinya yang kini hanya terasa sebatas ngilu dan kaku. Setidaknya dia masih bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga apalagi kursi roda sialan itu.
"Ibumu mengajak kita ke Cape Cod."
"Cape Cod?" Nathan melihat gambar lukisan Cape Cod yang tercetak jelas di gips yang ia kenakan. Dia ingat bagaimana mata Amelie yang terlihat seperti penuh harapan ketika ia menyebutkan Cape Cod.
"Menurutnya ini bagus untuk kesehatanmu."
Nathan melihat Amelie, kedua mata biru keabuan wanita itu memandang lurus melihat pemandangan kota New York yang terlihat jelas dari jendela besar yang berada di belakang Nathan. Nathaniel tidak akan bisa mengerti wanita yang berada di hadapannya ini. Kenapa mereka menikah? Kenapa mereka berpisah? Kenapa dia dipertemukan dengan wanita ini? Nathan tidak tahu. Mereka tidak lagi sejalan, memori tentang wanita ini tidak ada lagi dalam benaknya. Dia sudah terhapuskan. Tapi anehnya Nathan masih merasa kalau dia tidak bisa mengecewakan wanita ini dan dia masih tidak mengerti kenapa. "Baiklah."
"Hm?" Amelie mengalihkan pandangan matanya ke Nathan dan menyadari kalau pria itu dari tadi memperhatikannya yang melamun.
"Baiklah. Ayo ke Cape Cod." Nathan teringat peristiwa tadi pagi sebelum ia masuk ke dalam ruang lukis Amelie. Wanita itu sudah bangun dan meninggalkannya lagi, melipat selimutnya hingga rapi lalu menyampirkannya di atas sofa. Nathan ingin menyinggungnya, tentang kebiasaan wanita itu tertidur di sofanya namun ia memilih untuk mengabaikannya melihat Amelie pagi ini. Wanita itu terlihat senang dan ia tidak ingin mengganggu kesenangannya.
***
Amelie bersenandung mengikuti irama lagu yang terputar di player mobilnya. Nathan tahu lagu itu, dia pernah mendengarkannya dulu. Namun ia tidak ikut bersenandung bersama Amelie, ia lebih memilih untuk melihat jalan tol yang kosong. Nyaris tanpa pemandangan apapun. Sebuah iklan bergambar bunga tulip baru saja mereka lewati.
"Apa kau lelah?" Amelie melirik Nathan lalu kembali memusatkan perhatiannya ke jalan raya. Raut wajah Nathan berubah menjadi kesal sejak mereka masuk ke dalam mobil. Amelie tidak tahu apa yang salah, mungkin karena mereka menggunakan mobilnya atau mungkin juga karena Amelie yang menyetir.
"Tidak." Pria itu menjawab pendek. Nathan merasa dirinya benar-benar tidak berguna karena masih harus bergantung kepada wanita itu. Seandainya saja ia bisa segera lepas dari gipsnya ini.
"Sebentar lagi kita sampai."
"Hm." Nathan hanya bergumam pelan. Melihat pemandangan jalan tol yang perlahan-lahan berubah menjadi jalan menuju pedesaan. Cape Cod masih seperti yang ia ingat, setidaknya sebelum memorinya hilang. Mobil yang mereka tumpangi tidak lama kemudian memasuki halaman pekarangan kabin yang juga menjadi rumah peristirahat keluarga Wright di musim panas. Nathan melihat mobil ayahnya sudah terparkir lebih dulu di sana. Amelie memakirkan mobilnya di sebelah mobil Gordon.
"Ayo." Amelie tersenyum lebar kepadanya. Sementara Nathan yang masih terlihat kesal keluar dari dalam mobil, mengikuti langkah riang Amelie yang masuk ke dalam kabin.
"Amelie." Savannah memeluk adik iparnya itu dan melihat Nathan yang berdiri mematung di depan pintu. "Apa yang kau lakukan di sana?"
"Tidak ada." Nathan menggerutu kesal.
"Abaikan dia." Savannah berbisik ke arah Amelie yang menatap Nathan bingung. "Dia hanya kesal karena tidak bisa melakukan apapun. Dimana barangmu?" Savannah membantu Amelie mengambil dua buah koper yang berada di bagasi mobil Amelie lalu memanggil Theo untuk mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam kamar Amelie dan Nathan.
"Kami tidak tidur bersama."
"Oh." Savannah mengerutkan keningnya dan menatap Amelie tidak mengerti. "Tapi apartemen kalian?"
"Aku tidur di sofa." Amelie menaikkan bahunya acuh tak acuh lalu duduk di atas sofa panjang. Dia tahu tidak mustahil ia mendapatkan kamar di sini, ada tiga kamar besar yang di bagi secara merata. Untuk Amelie dan Nathan, Gordon dan Isabella, juga Savannah dan keluarganya. Dia bisa tidur di sofa lagi atau mungkin melantai. Tidak masalah baginya. "Dimana Maddie?"
"Madeline!" Bocah kecil yang kini berusia empat tahun itu berlari mendengar ibunya memanggilnya.
"Maddie!" Amelie tersenyum lebar melihat Maddie yang kini sudah menjadi gadis cantik. Hanya setahun. Tapi dalam setahun sudah ada perubahan besar yang ia lihat di dalam gadis kecil itu. Madeline bukan lagi gadis kecil yang biasanya berada di pangkuan atau gendongan Savannah. Amelie membuka lebar lengannya menyongsong Maddie yang segera berlari memeluknya. "Aku merindukanmu."
"Savannah.." Nathan terdiam melihat Savannah, Amelie dan seorang gadis kecil yang juga tidak ia kenali berada di pelukan Amelie.
"Nathan. Kau sudah tidak kesal lagi?" Savannah melihat kerutan di dahi Nathaniel dan menyadari satu hal lagi. Wanita itu tersenyum sedih melihat Nathan. "Kenalkan. Ini Madeline. Anakku."
***
Nathan melihat gadis kecil itu lagi. Dia melupakan keponakannya sendiri. Apa yang sebenarnya salah dari dirinya? Kenapa tidak ada satu pun yang bisa ia ingat?
"Nathan." Amelie menyenggol tangan Nathan, membuat pria itu segera mengalihkan pandangannya dari Maddie yang duduk di antara kedua orang tuanya, menikmati makan malam mereka. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa." Nathan terlihat sedih. Amelie lalu menyadari kalau pria itu juga melupakan satu orang lagi, Nathan melupakan keponakannya sendiri.
"Madeline. Dia keponakanmu." Amelie berbisik lirih. Nathan hanya mengangguk kemudian kembali memakan supnya. "Masih ada Jo, tapi biasanya dia tidak ikut kegiatan seperti ini."
"Jo?"
"Jonathan. Dia juga keponakanmu."
"Ada apa?" Isabella bertanya kepada keduanya yang sedari tadi berbisik sepanjang makan malam.
"Tidak ada apa-apa." Amelie tersenyum kepada Isabella. Dia segera menghabiskan makan malamnya dengan cepat kemudian membantu Isabella membersihkan piring dan gelas-gelas yang kotor seusai makan malam berakhir. Selesai membantu Isabella membersihkan meja, Amelie masuk ke dalam ruang keluarga dan melihat Nathan yang masih menatap Madeline yang tengah bermain bersama Savannah. "Kau baik-baik saja?" Amelie duduk di sebelah pria itu.
"Tidak." Ucap Nathan jujur. Seberapa banyak hal yang ia lewati dalam hidupnya? Apakah ini yang Amelie rasakan ketika wanita itu menyadari kalau ia kehilangan ingatannya? Perasaan putus asa dan tidak tahu harus melakukan apa. "Apa yang salah denganku sebenarnya?"
"Tidak ada yang salah." Amelie menggenggam tangan Nathan, berusaha menyalurkan kehangatan juga keberanian yang ia miliki. Seperti apa yang pernah Nathan lakukan kepadanya dulu, meski mungkin pria itu tidak lagi mengingatnya. "Kau hanya melupakannya. Tapi tidak berarti kau tidak bisa mengingatnya kembali."
"Aku tidak bisa." Pria itu bangkit dari atas sofa menuju ke pekarangan yang dipenuhi jangkrik, membuat suara derik jangkrik setidaknya membuatnya sedikit tenang. Dia berjalan berputar dari sisi satu menuju sisi lainnya, berusaha mengingat berbagai hal. Tapi semua itu kembali ke titik kosong, nada, seperti kanvas putih bersih yang tidak pernah terjamah sebelumnya. Dia masih tidak bisa mengingat Amelie atau Madeline. Dia melupakan banyak hal di dalam hidupnya.
"Nathaniel." Amelie yang sedari tadi memperhatikan Nathan berjalan frustasi di pekarangan memilih untuk mendekatinya.
"Tolong." Suara Nathan membuat langkah Amelie terhenti tapi itu tidak berarti Amelie benar-benar menyerah mendekat kepada pria itu. "Aku tidak bisa mengingatmu."
"Aku tahu." Amelie kembali mendekat kepada pria itu. Cukup dekat hingga membuat Amelie bisa menggenggam tangan pria itu, memaksa Nathan menatap kepadanya. "Kau tidak perlu mengingatnya Nathan, kau cukup merasakannya."
"Apa yang harus aku rasakan?"
"Kau hanya perlu merasakannya. Kau akan tahu Nathan." Amelie berjinjit di hadapan pria itu, menatap kedua mata Nathan. Amelie lalu memejamkan kedua matanya dan mencium pria itu. Selembut mungkin. Nyaris seperti dulu. Tapi kini Nathaniel tidak membalas ciumannya. Saat ciuman yang Amelie berikan kepada Nathaniel berakhir, pria itu masih diam tidak bergeming. Menatap Amelie datar dan dingin.
"Maaf. Aku tidak bisa mengingatmu. Maaf, karena aku tidak bisa menjadi orang yang kau kenal dulu." Nathan mengucapkannya, membuat Amelie tersentak kaget dan mundur. Bukan. Bukan itu yang ingin dia dengar dari bibir Nathan. Untuk sesaat Amelie nyaris lupa kalau dia bukan lagi mataharinya, dia bukan lagi matahari pria itu. Dia mengira kalau Nathan mulai mengingatnya namun semuanya salah. Semuanya sudah berbeda. Nathan bukan lagi pria yang ia kenal dulu. Dia tidak lagi mencintainya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro