Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga - Fakta Beruntun

Alba sedang di rumah pelanggan, selesaikan job tambahan akhir pekan ketika sebuah kiriman foto masuk ke ponsel. Dari Jeni—sahabat yang hilang kabar berapa bulan belakangan. Jeni memotret kamar Alba dengan keterangan: Hari ini jadwal nonton, ya? Kita duluan, ya. Habis kerja lo nyusul.

Dua jam kemudian Alba menyusul. Sesuai instruksi, dia langsung menuju toilet. Jeni butuh bicara, dan toilet jadi pilihannya. Ada dua wanita berjarak satu wastafel, menghadap kaca. Yang satu bedaki wajah, yang satunya—di luar dugaan—adalah jeni.

Alba hampir tidak mengenal. Sahabatnya berbeda. Imej gadis liar yang ia bangun selama ini pudar oleh pakaian sopan yang dulu mereka sebut seperti penampilan ibu rumah tangga baik-baik dalam iklan bumbu masak. Tidak ada lipstik mentereng, alis tegas, kuku akrilik, hair extensions, belahan dada, atau baju mengekspos tato di bahu. Berganti Jeni yang sederhana dan anggun bak Kate Middleton.

"Bu Jeni, terima kasih ya untuk gulai kambingnya kemarin. Ini, saya bawa pepes ikan kakap."

Jeni tersenyum sendu alih-alih mengganjar candaan Alba dengan makian seperti biasanya."Gue udah pantas, ya, jadi ibu rumah tangga baik yang barteran makanan sesama tetangga?"

Sejujurnya Alba merasa tidak memiliki syarat-syarat sebagai orang yang pantas menilai hal-hal seperti ini. "Lo selalu cocok jadi apa aja."

"Al," guman Jeni.

"Hm?"

"Gue mau nikah. Mungkin bulan ini."

Alba terkejut namun berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. Jadi ini alasan perubahan penampilan Jeni? Sepuluh tahun ini, semua hal sudah mereka coba bersama. Akrab dengan stigma negatif, hidup di lahan yang dihindari orang waras, menerabas tepi sinting yang dipatok orang-orang normal di luar sana. Mereka sudah klop dengan imej jelek. Tidak berusaha perbaiki anggapan buruk orang-orang dan merasa akan terus seperti itu. Bahkan berjanji akan single sampai tua dan habiskan hidup di panti jompo bersama.

"Selamat, Jen. Lo akan jadi ibu-ibu iklan pewangi pakaian."

Wajah oriental itu menunduk. "Lo pasti kecewa sama gue, kan?" simpulnya.

"Kenapa kecewa? Karena gue kehilangan partner in crime?

"Karena gue milih rute yang dari awal nggak mungkin bisa kita pilih. Karena gue yang ajak lo lewat jalan itu, tapi gue muter balik."

"Kalau lo muter balik, itu pilihan lo. Lo boleh pilih jalan yang berbeda, kok. Tanpa membuat gue ngerasa jalan yang gue tempuh sekarang ini salah."

Keheningan antar dua sahabat itu membuat gadis lain di samping mereka pergi. Tersisa Alba dan Jeni, bertatapan lewat kaca. Jeni tertawa pahit. Memoleskan lipstik tebal tebal ke bibir pucatnya.

"Gue berubah pikiran, Al. Semua hal yang gue coba, nggak bikin gue damai."

Pada satu titik di hidup Jeni, dia merasa apa yang dia jalani selama ini menghadirkan kebahagiaan palsu. Kebebasan itu indah. Berkelana tanpa alasan pulang itu menyenangkan, tidak ada alasan sentimental untuk tempuh rute hidup seperti perempuan pada umumnya. Pun, kalau ada pilihan itu, pastinya sudah dihabisi gadis baik-baik di luar sana. Orang seperti Jeni dan Alba, tidak pernah dipilih. Belakangan ini, ada orang lain dengan terang-terangan keras kepala menginginkannya. Jeni takluk. Dia tergoda untuk menjadi bagian dari apa yang selama ini dianggap hanya bisa digapai orang baik.

"Gue pengin punya keluarga, Al," kesahnya, "Keluarga gue sendiri—sesuatu yang selama ini nggak gue punya, tapi orang-orang punya—termasuk lo."

Alba tidak mengelak. Dispunya bahu kurus Jeni dengan sayang. "Lo baik, Jen. Lo punya nilai diri yang bikin lo pantas untuk jadi apa pun. Lo akan punya keluarga yang hebat."

Keduanya berpelukan. Jeni berjanji akan segera mempertemukan Alba dengan calon suaminya segera. Ide itu disambut anggukan semangat Alba.

Pintu toilet terbuka. Dua wanita masuk. Alba merasakan tubuh Jeni mengkaku. "Mantan pacar terakhir gue," bisiknya. "Lo duluan. Nanti gue susul ke toko buku."

"Oke." 

***

Alba tidak punya ketakutan bertemu Kamga. Alasan kenapa sebelah alisnya menjulang dapati laki-laki itu di depan pintu toilet adalah: keterkejutan Kamga yang hiperbola. Lelaki itu punya masalah dengan urat kejut yang tidak dia obati sejak 10 tahun lalu. Si Paling Kaget tiap liat Alba. Si Sedikit-Sedikit Terkesiap kalau mereka papasan. Dan, Si Tukang Tergeragap pas mereka bertemu dadakan.

Aneh. Padahal, tidak ada typing ‘tukang-makan-empedu-orang’ di kepala Alba.

“Al,” sapa Kamga. Mukanya uring-uringan. Matanya menari-nari gelisah.

“Apa?”

Lelaki itu tampak ragu. “Nggak. Nggak apa-apa.” Dia bergegas menjauhi Alba. Menuju eskalator. Dan hilang di antara kerumunan pintu bioskop.

***

Keesokan harinya, Kamga datang lebih awal. Ada hal yang harus ia pastikan. Tentu masih berkaitan dengan Alba. Gadis itu datang sedikit terlambat. Dia buru-buru bergabung ke lingkaran pekerja berseragam yang sedang briefing pagi. Dari kesimpulan singkat, Alba tidak punya kendaraan pribadi. Sudah pasti misi rahasia Kamga akan tersendat.

Kamga mengambil jalan pintas ke area lebih sepi untuk pengamatan. Targetnya masih anteng di jam kerja. Sesekali dia mengecek ponsel, tapi itu bukan sebuah bukti. Alba tampak normal. Dan Kamga melupakan misinya untuk beberapa saat karena pekerjaan.

Hal ganjil, baru disadari Kamga di hari ke tiga pengamatan. Ternyata, di jam istirahat, saat tim mereka berkumpul untuk makan siang, Alba didatangi seorang ojek online. Kemungkinan besar menjemput sesuatu karena ojek itu selalu pergi dengan sebuah tentengan. Ini tangkapan penting.

Hari itu juga, Kamga dekati seorang pekerja di sana, Cahyo. Beri rokok, ajak ngobrol seputar pekerjaan yang sudah hampir selesai. Tujuan utamanya tentu saja memulung informasi. 

“Yo, yang kerja semuanya udah nikah, ya? jadi pada pulang lebih dulu?” Saat itu pukul  17.30. Hanya tinggal Cahyo di lokasi. “Kamu pasti jomlo, makanya disuruh pulang paling akhir.”

“Hehe. Justru karena di antara petugas di sini, hanya saya yang udah nikah, makanya saya ngambil late service. Lumayan, surcharge-nya buat biaya mpasi anak. Tiap hari ganti menu terus. Mahal. Hehe.”

Kamga ikut tersenyum. “Mbak rambut gimbal itu, saya pikir udah nikah, soalnya saya lihat dia di mal sama anak.” Itu bohong. Hari itu, setelah insiden depan toilet, Kamga tidak melihat apa pun lagi. Segalanya merambang sebab kesamaan kostum tidak bisa ditunjuk sebagai bukti bahwa anak-anak itu adalah anak Alba.

“Uhm. Setahu saya, Mbak Alba emang belum nikah.” Wajah Cahyo berubah tak enak. Mengitari sekeliling dengan lirikan hati-hati. Seolah ada seseorang yang akan datang menciduk mereka. “Tapi, kata karyawan lama, dia emang punya anak. Tanpa nikah. Ya, saya maklum sih. Orangnya emang ... Agak agak. Hehe.”

“Agak agak?” ulang Kamga bingung. “Maksudnya gimana?”

Bahu Cahyo terangkat. “Anu, Pak. Saya takut salah ngomong. Hehe.”

Kamga sadar dia menginterogasi terlalu jauh. Topik pun ia alihkan.

***

Informasi pak Cahyo bikin nelangsa. Sedkit banyak, Kamga menyesal sudah mengorek hal yang seharusnya tidak ia korek. Akan menyenangkan bila dia bertahan dengan anggapan bahwa semua kesamaan yang dia lihat di mal hari itu, hanya kebetulan.

Tapi, tidak. Sore itu juga, dia malah mengambil satu langkah lancang. Diitumpangi Pak Cahyo, Kamga berhasil menemukan alamat Alba. Tidak spesifik. Dia hanya didrop di jalan. Dengan penjelasan, “Saya nggak tau rumahnya yang mana. Tapi beberapa kali, kami pernah jemput dia di depan gang ini”.

Gang itu kembali mengundang Kamga esok paginya. Mobil ia parkir di seberang jalan. Dia sendiri harap-harap cemas di balik kemudi. Kamga tak tau, fakta seperti apa yang sedang ia buru? Rasio macam apa yang harus ia puasi? Kenekatan ini bertolak dari rasa penasaran.

Ratusan kendaraan lewat, puluhan orang melintas, pagi makin bising. Kamga melewati itu semua dengan kopi kalengan yang ia dapatkan dari warung kelontong.
Saat Kamga putuskan sudahi acara pantauan paginya, gang itu menyuguhkan satu pemandangan yang membuatnya terpancang. 

Anak perempuan itu!

Kamga lupa namanya! Anak perempuan di toko buku berserta dua anak laki-laki lainnya. Mereka keluar dari gang dan berdiri di tepi trotoar. Dalam balutan seragam sekolah. Berbicang-bincang entah apa. Ketika salah seorang anak laki-laki ketahuan memakan bekal dari kotak makannya, si anak perempuan tampak mengomel. Kamga menontoni itu semua dengan kedipan lambat. Sampai seorang pengendara motor menghampiri. Ketiganya berdesakan di atas motor itu lalu punggung mereka menjauh.

Untuk kedua kali dalam pekan yang sama, Kamga hampir dibuat pingsan oleh penglihatannya sendiri.

Alba....

Si Kembar....

Kostum yang sama....

Kemiripan dengan Ganggi....

Gang rumah yang sama....

Bocoran status single, tidak menikah, tapi punya anak.

Anak....

Apakah mereka...?

Kamga menghantam dahinya ke setir mobil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro