Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu - Si Nyamuk Dan Kondom Bocor

11 tahun lalu...

Badannya melemping. Dibalut kulit gelap hasil panggangan matahari. Rambut tidak pernah menyentuh tengkuk. Haircut setipe Demi Moore di Ghost, sehingga orang bisa langsung mempelajari muka rumitnya sekali lihat.

Di kelas, dia melamun. Di luar, dia berlintang pukang dengan mata kosong. Guru-guru bilang, dia seperti bebek habis dipenggal kepala; mengepak sana-sini tapi sebenarnya sudah mati. Itu benar. Kalau dilihat-lihat, yang ke sekolah hanya badan. Sementara jiwanya, tersangkut di mana pun di luar sana.

Kadang kala, dia lebih mirip wanita 40 tahun serta segudang problema, bukan siswi tahun akhir dengan konflik ringan-sedang-lucu.

Jumlah teman tak lebih dari dua. Lantaran tak punya waktu bersosialisasi. Sekali punya waktu, malah membuat skandal. Nyaris setiap haridia terlambat ke sekolah. Tersangkut di setiap razia kedisiplinan. Ada dia di barisan murid kena hukum jemur; turut masuk dalam list siswa kena skors; customer prioritas guru BK, dan siswi favorit kepala sekolah—jalur kemurkaan.

Dia, Si Nyamuk. Perempuan problematik seangkatan. Suatu sore yang gerah usai ospek hari akhir, Kamga mendapatinya di parkiran kampus. Berselonjor santai, gunakan badan pintu mobil Davi sebagai sandaran. Sadar dihampiri, dia menggumam, “Datang juga” Sambil menyundut sisa rokok ke pijakan.

Kamga gugup. Setahunya, toleransi Alba pada ritual yang berhubungan dengan menunggu orang, sangat tipis (Atau malah tidak ada). Duduk-duduk santai bukan gayanya. Kenapa dia melakukan dua hal itu, sekarang? 1. Dia dikeluarkan dari sekolah. Bahkan sebelum UAN. Otomatis, keberadaan di kampus bukan untuk urusan perkuliahan; 2. Seharusnya dia sedang mendaftar ulang, pindah sekolah, atau apa; 3. Dia nyaris tidak pernah bicara dengan Davi. Bisa dipastikan Kamgalah yang ingin ditemui.

“Al?” tegur Davi, heran. “Kamu ngapain di sini?”

“Cari dia.”

Kamga menunjuk hidung. “Saya?”

Perempuan itu mengangguk, berseru, “Ada bayi di sini.” Matanya mengikat Kamga, sementara telunjuk menuding perut. “Bakal bayimu.”

Informasi itu raih beberapa tolehan kepala, lirikan menyipit satu-dua pelintas. Gadis pemilik vespa pink tertawa kencang; sementara gerombolan MABA yang  kebetulan di TKP untuk jemput kendaraan, terang-terangan menonton dengan khidmat; duo Kamga-Davi, mendadak dungu untuk cepat tanggap.

“Maaf. Apa?”

“Bayimu nih. Di dalam sini.”

Pandangan Kamga menggelinding ke perut rata yang tertimpa jaket itu. Kemudian mengerjap-ngerjap denial. Dia salah dengar, barangkali. Kegiatan ospek melibatkan teriakan ekstrem. Gendang telinganya trauma pasca dibentak-bentak senior, barangkali. Atau, bisa jadi, ini prank ulang tahun, barangkali. 

“Maksudnya, kamu hamil?"

"Ya."

"Tau dari mana?”

“Insting seorang ibu.”

“Insting seorang ibu?” jerit Kamga, skeptikal.

Omong kosong macam apa yang didengungkan Si Nyamuk? Insting ibu dibawa-bawa. Kamga bahkan tidak yakin, dia bisa memonitoring siklus menstruasi sendiri. Dia tersangkut sweeping sekolah sebagai siswi pembawa kondom. Tertangkap mesum di wc guru; memukul murid cowok slash pelanggan yang tidak mau membayarnya. Paling tidak bisa dilupakan, dia datang ke kepala sekolah. Letakkan bulu pubis di meja lalu bilang, “Ini punya anak bapak. Nyangkut di gigi saya”.

Alba itu problematik. Boleh saja dia punya otak, tapi sehari-hari dia berpikir atas perintah kelenjar seks. Orang macam dia mengungkit soal insting ibu? Kacau!

“Tapi saya pakai kondom, kalau kamu lupa.”

“Bocor kali. Aku hamil buktinya.”

“Sssh,” tegur Kamga, mencekau tangan kurus itu. Lalu membawanya ke mobil Davi. Detail ini, tidak boleh bocor ke orang lain. Walaupun kenyataan lapangan, ada Davi yang jantungnya dibuat terbirit-birit keluar melalui lubang hidung dan sprint keliling kampus. Terlalu shock menyimak obrolan terlampau ’21+’.

“Oke, saya akui, kita memang ngelakuin itu beberapa kali.”

Hanya saja, Kamga tegasi, tidak semua aktivitas itu membuat hamil. Mereka selalu menyertakan kondom. Lagi pula, reputasi Si Nyamuk sebagai Cewek Tester, bukan desas-desus semata. Itu fakta tanpa perlu dikroscek. Mereka berakhir di tempat tidur, pun, atas alasan profesional.

Kronologinya: seminggu setelah UAN, Kamga ulang tahun ke-18. Teman-teman kurang ajar ‘mengkadokan’ Alba. (Hadiah atas kemampuan Kamga untuk tetap perjaka sampai lulus, katanya). Kamga tolak. Walau dia tahu tradisi kotor itu sudah lebih dulu merenggut keperjakaan tiga temannya baru baru ini—dan secara kurang ajar dia menunggu giliran—namun, Kamga masih berharap hal itu dilalui dengan anak kuliahan. Seperti Haikal, kapan lalu. Jangan Alba. Walau dia rabel, degil, atau nakal beserta jargon-jargonnya, Kamga selalu menganggap dia anak kecil.

“Nggak apa-apa,” bisik Alba, saat Kamga mengutarakan penolakan. “Aku butuh duitnya. Kamu nggak usah takut. Sebagai Cewek Tester, aku tau apa yang harus aku lakuin."

Bodohnya, Kamga cepat luluh. Mereka pun melakukannya beberapa kali, dalam beberapa kesempatan, pada bulan yang sama.

Sekarang, tiga bulan kemudian, Gadis Tester mengaku hamil. Sulit untuk percaya di tengah terpaan trust issue, dan ribuan kemungkinan bahwa kehamilan bisa saja terjadi sebab laki-laki lain. Pun, dengan ekspresi sesantai itu, dan perut setipis itu, kalau Alba bilang sedang kembung, orang belum tentu akan percaya. Mustahil membayangkan ada setelampap manusia dalam perut yang—secara geografis—hanya dataran. 

“Maaf, saya bukannya nolak atau apa. Saya hanya nggak yakin.”

“Kamu orang terakhir yang gituan sama aku  setelah mens. Abis itu, aku sibuk. Nggak sempat gituan lagi. Tahu-tahu telat.”

“Sudah kamu cek?”

Cara Alba menggeleng santai, bikin Kamga ingin mencopot kepalanya lalu menggantikannya dengan kepala kuda. Dia menjerit setengah depresi, “Belum dicek, tapi seenaknya nuduh saya?!”

“Oke, oke, gini saja,” sela Davi, gregetan. Dia sudah terlibat. Mau tidak mau aksi heroisnya dibutuhkan untuk menengahi dua orang tolol yang selalu mengakhiri dialog dengan pertanyaan baru. Kalau tidak dilerai, mereka bisa membuka lomba cerdas cermat. Dengan pemenang yang baru akan diketahui dua tahun kemudian setelah anak-entah-ada-entah-tidak sudah lahir.

“Kita beli test pack, deh. Kalau sudah tahu hasilnya, baru kalian obrolin lagi.”

Usul itu langsung diangguki dua kepala.

Agar aman, mereka berkendara ke tempat terjauh dari kampus dan rumah masing-masing. Demi mendapat lima buah test pack dengan merek berbeda. Biar akurat, katanya. Hari sudah malam saat mereka kembali. Kamga tercenung muram, sembari pelototi cawan urin di pangkuan. Sementara Alba, jauh dari kesan gugup, namun tidak bisa dibilang santai.

Sembari menyetir, Davi melirik dua temannya. “Andai nih,“ bukanya, hati-hati. “Andai Alba beneran hamil, kalian bakal nikah?”

Keduanya disetrum kilatan bayangan itu. Lalu tersengat kompak di tempat. Davi tergelak-gelak puas. Akhirnya ada momen lucu yang layak ditertawakan setelah parodi kalut sepanjang sore.

“Coba tatap-tatapan, apa kalian siap jadi suami-istri pitik?”

Tanpa bisa ditahan, Kamga menoleh ke belakang. Alba mengacungkan jari tengah ke arahnya demi menghalau percobaan Kamga lakukan pengamatan. Cowok itu mendengkus jengkel.

"Dengar, ya, cowok nggak takut middle finger. Mereka lebih takut sodoran jari manis cewek. Apalagi sambil bilang: marry me.

Dalam guncangan gelak, Davi membenarkan komentar itu.

“Jadi, jangan lakukan itu ke saya.”

Belum jelas yang dimaksud Kamga: jangan lakukan itu (baca: meminta dinikahi), atau, jangan lakukan itu: (acungkan jari tengah) ke laki-laki lagi. Davi ingin bertanya, tapi telepon dari sang pacar menyita perhatiannya. Dia mulai sibuk berkisah seputar ospek. Tidak ada tuntutan penjelasan lagi. Bahkan oleh satu-satunya orang yang seharusnya diberi penjelasan: Alba. Gadis itu terlalu letih untuk ambil pusing. Dia palingkan wajah tontoni dua pengendara ugal menderum-derumkan mesin.

Selanjutnya, tak ada lagi orbolan. Waiting On The World to Change mengalun samar-samar. Lagu itu tentang hal lain. Namun, dua baris di sana menyindir situasi mereka:

So we keep waiting.

Waiting on the world to change...

Nyatanya, mereka memang akan menunggu. Apakah dunia—setidaknya dunia mereka—akan berubah?

Besok penentuan.

Sampai di titik turun Alba, mereka janjian akan bertemu pagi-pagi sekali di kampus. Nyatanya ... tidak pernah ada pertemuan keesokan harinya. Maupun esok esoknya lagi. Si Nyamuk, tidak pernah datang untuk membuktikan apa pun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro