Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua - Temu Lagi, Lagi-Lagi Temu

Setelah 10 tahun beroperasi di tempat sederhana, gedung baru SamTV akhirnya selesai dibangun. Mereka menyewa jasa general cleaning untuk pembersihan, karena itu Kamga disambut beberapa pekerja berseragam yang lalu-lalang. Hari ini, Kamga punya janji dengan Davi, tinjau gedung sekaligus briefing rencana proyek.

"Dav, ingat Alba?"

Mereka keluar dari lift di lantai delapan. Ada dua pekerja yang menegur. Davi memberitahu titik cat dan infokan pada petugas pembersih. Sebelum akhirnya merespons, "Alba?"

Anggukan dalam tawa. "Saya ketemu dia minggu kemarin. Di makam."

"Bawa anak?"

Anak. Kata itu jadi semacam keyword penyentil inside joke. Keduanya kompak terbahak. Mengingat kejadian belasan tahun lalu, Kamga geleng-geleng geli.

"Gue pernah ketemu. Nggak ngobrol sih. Dia masih sedikit-sedikit bebek habis dipotong lah. Tapi nggak separah dulu."

Kamga setuju. Dulu, Alba terisolasi dalam kotak kaca. Orang bisa melihat, bahkan menganalisisnya dengan mudah. Tidak untuk menariknya ke social life. Dia, dunianya, tidak bisa ditembusi kecuali atas keinginan sendiri.

"Tapi gue penasaran tujuan dia mengaku hamil. Buat apa, ya?"

"Senang lihat ekspresi perjaka keder, mungkin?" Kamga mencela diri sendiri. Davi tergelak.

Kalau dipikir-pikir, Alba licik juga. Era itu, dia cukup expert untuk tahu bahwa Kamga adalah perjaka mudah dikibuli. Alba mungkin tidak mengiba-iba secara hiperbola. Pengakuannya tidak mengakibatkan kerugian materiil, immateriil. Hanya membuat jantung muda Kamga jumpalitan. Punya anak di usia yang masih anak-anak adalah ketakutan terbesar remaja. Dengan isu itu, Alba sukses menggertak.

"Kalau dulu dia beneran hamil, mau lo apakan anak itu?"

Mau diapakan?

Dulu, di usia belum genap lima, sang mama kabur tinggalkan Kamga dan kakaknya bersama sang ayah yang miskin. Ia tumbuh membawa abondonment issue di pundak. Karena itu, mungkin, pilihan abai tidak terbersit di kepala Kamga. Takut diabaikan bukan perasaan bagus untuk diwarisi ke orang lain. Tapi, menikah juga bukan opsi tempuh. Rawat anak, apalagi. Minta Alba aborsi? Itu mustahil. Alba bukan tipe orang yang akan biarkan Kamga lolos dengan mudah tanpa membuatnya kehilangan sebelah kuping atau membuat jarinya tinggal tujuh.

Tidak punya jawaban. Topik tentang anak selalu menyetel Kamga ke mode sendu. Ia berjejak muram di balik jendela. Jendela selalu membuat orang jadi perenung. Konsentrasi Kamga serta-merta terlempar jauh di luar walau di belakang sana Davi mulai bercicit tentang ide-ide desain. Renung itu baru pecah oleh gerak ganjil di luar. Mula-mula, hanya seutas tali menjuntai lambat; disusul kaki-kaki ramping berjejak hati-hati ke atas jalur kerangka; selang berapa detik, sosok yang sedari tadi jadi topik utama obrolan dengan Davi meluncur perlahan hingga berhenti tepat di hadapan Kamga; melepas kaca mata, mengelap kaca dari serpihan granular.

Mereka secara teknis bersemuka.

"Astaga," gumam Davi, takjub. Dia berdiri di samping Kamga. "Kebetulan macam apa ini? Bisa-bisanya dia gelantungan di luar sana."

Kamga sendiri tidak mampu bicara. Dia menatap Alba dengan perasaan campur aduk; separuh takjub, separuh heran, separuh takut. Ini cara dunia menunjukkan bahwa hidup punya banyak kejutan absurd.

***

Di hari yang sama, kembali mereka berpapasan di dekat pintu keluar emergency. Alba duduk di bangkai perancah rusak. Merokok, sambil mengetikkan sesuatu di ponsel dengan sebelah tangan. Kaki Kamga diserang tremor kecil. Dari dulu wanita itu tak berubah. Dia manusia yang membuat orang mengambil sedikit jarak lebih lebar, atau berbelok menghindar. Kalau Alba adalah film, dia film dengan taburan jumpscare terbanyak.

"Al," sapanya. Wanita itu menengadah. "Kamu kerja di sini?"

"Sepenglihatan kamu, aku lagi vacation?"

Kamga tidak bisa untuk tidak tersenyum. "Senang ketemu kamu lagi."

"Senang bikin kamu senang lagi."

Pada dasarnya, Kamga bukan manusia yang menggunakan senyum sebagai representasi suasana hati. Tapi, dia baru saja melakukannya terlalu sering dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Perubahan Alba adalah sesuatu yang layak diganjari senyum.

"Kamu terpapar banyak humor dalam sebelas tahun ini," ungkapnya jujur. "Saya takjub, kamu bisa selugas sekarang. Responsif, dan bisa bikin orang lain senyum."

Alba meniru para bangsawan menunduk dengan lipatan tangan di dada. Itu hal manis. Kamga melawan keinginan lontarkan pujian dengan lirikan ke arloji. Sudah hampir jam makan siang. Dia harus pergi.

"Al, kamu ingat Davi?" tanyanya. "Saya berencana akan makan siang. Kamu mau gabung? Sebagai teman?"

"Kita nggak pernah berteman," respons Alba, menyeringai. "Kecuali kalau kamu anggap meniduri sampai hamil adalah cara merekrut teman, pakai standard itu, aku teman kamu."

Roman Kamga berubah. Isi perutnya seperti jatuh ke inti bumi yang mendidih.

"Tapi standardku benda," lanjut wanita itu, "aku nggak berteman dengan ayah dari anak kondom bocorku."

Lagi-lagi mengungkit soal anak antah berantah. Tawaran lunch ini murni untuk pertemanan. Mereka bisa ngobrol bertiga. Dengan cara santai, dan dewasa. Tertawakan semua kenakalan remaja, bahkan saling meledek. Rupanya, mereka berseberangan rasa humor. Kamga meresepkan candaan itu untuk cairkan suasana. Seperti di kuburan tempo lalu. Sementara Alba, entahlah, ada sesuatu dari candaannya yang datang dari bilik berbeda. Bukan semata-mata diproduksi lidah.

"Al, saya minta maaf karena bercanda soal anak kondom bocor. Kalau kamu nggak nyaman, saya nggak angkat ungkit-ungkit lag—"

"Sudah lihat?" potong wanita itu, geli. "Makam anakmu?"

"Al!"

Ini tidak lucu lagi. Sungguh tidak lucu.

Kamga pamit. Bahkan saat berhadap-hadapan dengan sederet makanan enak, Kamga tak mampu menelan lebih dari dua suapan. Suara tenor parau milik Davi paparkan konsep interior ruangan jadi tidak menarik. Upaya pertama untuk kembali fokus adalah pamit ke toilet untuk membasuh muka—tidak mempan. Upaya kedua: merokok—tidak mempan. Kamga menyerah. Dia pamit setelah menjadwal-ulang pertemuan.

***

"Kamga? Bangun! Saya mau bicara!"

Bunyi gawai, auman beker, gedoran pintu, serta teriakan sang mama adalah kombinasi yang sudah lama hilang dari rutinitas pagi Kamga, Tiga hari berturut-turut dibuat terjaga oleh alasan yang sama, Kamga seperti memerani kembali kehidupan amburadul zaman kuliah.

"Ya. Oke, saya bangun," teriaknya seraya mematikan beker.

"Saya tunggu di bawah!"

Ketukan-ketukan stiletto pun menjauh. Masalah gedoran selesai. Beker uzur berusia 10 tahun kembali anteng. Tinggal dering ponsel yang belum teratasi, keburu ditinggal Kamga merenung.

Makam. Anak. Kondom. Bocor.

Empat kata Alba terkodifikasi sebagai tajuk yang harus Kamga bawa sebelum pergi tidur. Dimimpikan berulang-ulang dalam banyak versi. Kamga frustrasi, kenapa informasi sampah itu disortir otak dan dimasukan ke long-term memory sehingga tiga hari belakangan, ia berjuang mempereteli bagian itu agar terpisah dari kepala. Tidak menyenangkan dibayangi sugesti anakmu-pernah-lahir-dan-sudah-mati. Walapun itu omong kosong.

Ia putuskan menerima telepon di Green house milik sang ibu, tanaman hijau mungkin membantu mendistraksi pikiran.

"Hai, Ga," sambar si penelepon. "Kangen aku?"

"Nggak terlalu."

"Aku yang kangennya keterlaluan sama kamu," gelaknya.

Lega. Setidaknya, setelah hilang delapan bulan, wanita gila ini tidak menelepon untuk minta tebusan pembebasan penyanderaan atau apa. Si Biang Kerok masih bisa tertawa. Segala sesuatu masih baik-baik saja.

"Ketemu yuk. Ada yang mau aku kenalin." Dengan kecepatan roket, dia mengaku sedang di perut pesawat. Akan terbang dan landing empat jam lagi. "Kita nonton. Aku WA tempatnya. Sampai ketemu, bye!"

Seperti ciri khasnya: tau-tau timbul. Tau-tau ajak pergi. Tau-tau hilang, dan tak bisa ditolak. Ganggi!

***

"Ada kabal dari Ganggi?"

Samanta, mantan artis 90-an, sudah menunggu di sayap kiri meja makan. Mood-nya jelek. Kamga duga akan ada badai setelah ini. Tanda-tanda itu terpantau dari gawai sang mama yang memampang laman Instagram Ganggi. Jemari wanita itu menyibak kasar slide demi slide foto Ganggi dengan pacar sama jenisnya.

"Belum," dusta Kamga. Dia putuskan mengeliminasi sesi sarapan. Sebagai ganti, lelaki itu menelan beberapa butir anggur.

"Kalau ketemu, selet dia pulang. Aku muak lihat dia beltingkah semau-mau dia dan membuat malu kelualga! Dia halus berlhenti belakting sebagai lesbian dan kawin dengan laki-laki!"

Sebut Kamga durhaka, dia nikmati luapan kemarahan akibat kelakuan Ganggi. Walau sudah antisipasi, Kamga tak kuasa mengandalkan otot-otot di sekitar mulut yang bergerak. Satu senyum kurang lazim berhasil tercetak dan langsung mengundang pelototan. Kalau dibiarkan, Kamga akan tinggal tengkorak oleh tatapan-siap-lumat itu.

"Jangan bilang kamu bersekongkol bialkan kakakmu pacalan dengan pelempuan dan bikin aku malu seumul hidup?" tuduh Sam, keji.

"Ya ampun, saya suka ide itu. Tapi, dia nggak pernah merekrut rekan atau semacamnya."

Samanta mendesah. Wanita itu melepas kacamata. Dia selalu cantik meskipun sedang atau akan menyumpah-nyumpah. "Dia sudah 33 tahun, di umul segitu, aku sudah melakukan banyak hal."

"Termasuk ninggalin kami?"

"Betul," tanggap wanita berlidah cadel itu, kejam. "Kalau aku tidak belgelak, kamu dan kakakmu akan makan tembikal di sisa hidup kalian. Beltelimakasihlah ke aku, kalena aku menyelamatkan hidup kalian dali ayah seniman pemalas yang hanya tahu melukis dan buat patung jelek sampai dia mati."

"Justru itu intinya," sergah Kamga. "Mama adalah guru terbaik. Mama ngajarin kita buat ninggalin sesuatu yang berharga, untuk dapatin hal-hal berharga lain. Ganggi belajar dari Mama."

menyindir a la sandwich adalah cara terbaik. Dua kata terakhir mengubah air muka Sam. Kamga tersenyum. Hadiahkan ciuman singkat di pelipis kencang itu. "Saya berangkat."

"Begini saja." Tiba-tiba Samanta berseru sebelum Kamga hilang di pintu menuju ruang tamu. "Kalau kakakmu tidak pulang, kamu yang akan aku kawini dengan kenalanku. Balangkali kamu yang halus meninggalkan hidup single belhalgamu ini dan masuk ke kehidupan lumah tangga yang tidak kalah belhalga."

Kamga berbalik. Wajahnya berseri-seri menyambut ide cemerlang sang mama. "Itu ide terbaik yang pernah saya dengar di 29 tahun hidup saya," tukasnya. "Carikan yang punya tiga hal ini: brain, beauty, behavior, ya, Mam."

Selain pengakuan Alba—tidak ada hal apa pun di dunia ini yang bisa menakut-nakuti Kamga. Termasuk mamanya yang superior minta ampun. Kamga pikir Samantha akan merilis ancaman lebih berat dari itu. Demi tuhan, perjodohan bukan gertakan. Itu kemudahan luar biasa. Kalau ada, Kamga akan langsung kawin siang ini juga. 

*** 

Ganggi melambai riang di parkiran mal. Koper di tangan kiri tandakan bahwa dia belum sempat pulang. Sampai sekarang, Kamga tidak tahu persis tempat tinggal kakaknya. Sudah bertahun-tahun dia hidup secara misterius. Kalau mau ketemu, dia tentukan tempat. Dan Kamga tinggal menyambangi tanpa harus bertanya lebih jauh.

"Cintaku apa kabar?" Dia langsung melompat seperti kera dan mengikat kakinya ke pinggang Kamga.

"Gi, turun!" Kamga membebaskan pinggang dari lilitan. Dia malu. Orang-orang mulai melirik mereka dengan arti-arti khusus. Dari segi mana pun, mereka lebih mirip pasangan LDR-sedang-lepas-kangen.

"Aku kangen, tauk!"

"Saya tau," desis Kamga geram. "Turun dulu."

Wanita itu malah mencium pipi Kamga dengan gemas. "Nggak!"

"Saya bilang turun! Kalau nggak, saya bilang ke Mama kamu ada di sini."

Berhasil. Ganggi melompat sambil menggerutu. Kamga tak habis pikir, sebenarnya yang dia hadapi ini wanita 33 tahun atau 13 tahun?

Setelah mengamankan koper Ganggi di mobil, mereka menuju bioskop. Beli tiket untuk tiga orang. Masih satu jam lagi sebelum masuk ke teater, mereka putuskan ke toko buku sambil menunggu pacar Ganggi.

"Kerutan Mama udah nambah berapa, Ga?" tanya Ganggi di sela-sela memburu buku. Kamga hanya mengekor. Sesekali meraih sebuah buku, baca sampulnya, dan campakkan kembali.

"Mungkin 60. Di dahi semua karena dia sering mengernyit akhir-akhir ini."

Kakaknya terbahak. "Aku harap dua kali lipat lebih banyak dari itu."

"Tiga kali lipat kalau perlu."

Samanta itu jahat. Sejauh ini, mereka sebagai anak yang pernah terbengkalai karena ulah wanita itu bertahun-tahun lalu, hanya sanggup menyumpah seputar kerutan, uban, punggung penuh jerawat, kuku jelek, sanggul miring, dan jempol bergerigi. Tak lebih.

"Kamu nggak ada niat pulang, Gi? Sekali-kali jenguk Mama?"

"Pengin. Kalau nggak ada acara paksaan menikah."

Siap pulang, artinya siap dirongrong perihal pernikahan. Ganggi sulit pisahkan diri dari rasa rindu pada sang mama, dan juga dorongan untuk bertanggungjawab melindungi hak hidupnya yang jelas-jelas direnggut wanita itu. Lebih baik tidak pernah pulang.

Pacar Ganggi sudah datang. Mereka berpelukan, bahkan berciuman singkat. Adegan ini bukan pertama kali bagi Kamga. Namun, ledakan keterkejutan itu masih ada; masih sama noraknya seperti awal-awal dia tau orientasi seksual sang kakak.

"Adik aku, Kamga," beber Ganggi, mengenalkan.

Sopan, Kamga jabati tangan kecil itu. Namanya Qika. Lebih muda satu atau dua tahun dari Kamga. Feminim, manis, memikat. Diam-diam Kamga salut pada kemampuan Ganggi menjaring pacar setia. Tidak ada satu pun deretan mantannya kedapatan mengagumi Kamga. Bukan berarti daya tarik Kamga kurang menyala, Demi Tuhan, dia masih bisa taklukkan 10 perempuan dalam sehari. Kalau dia mau.

Sekarang, mereka bahkan berangkulan mesra susuri lorong-lorong rak buku. Karena mereka lesbian no label, look mereka lebih netral. Malah, lebih mirip dua sahabat ketimbang dating couple.

"Sayang," Qika tiba-tiba tertawa. Tepuk-tepuk lengan Ganggi. "Lihat, ada mini Ganggi di sana."

"Mana?" Ganggi mencari-cari. Tawanya merebak ketika menemukan apa yang dimaksud. "Astaga! Bahkan bajunya pun mirip."

Penasaran Kamga membuat lehernya memanjang elastis. Pandangannya masih terhalang dua kepala.

"Apa kamu punya anak diam-diam?" komentar Qika, geli.

Ponsel ia angkat di udara dalam upaya cocokan lockscreen yang memuat potret kecil Ganggi sedang baca buku, dengan anak kecil di depan rak buku khusus kedokteran. Kostum mereka persis: jumpsuit denim yang sebelah talinya melorot. Turtleneck berwarna terakota, kupluk hitam setengah kepala. Menyembulkan poni bergelombang. Kaca mata berantai. Benar-benar mirip. Qika mengabadikan pose itu sebanyak lima kali.

Anak itu kedapatan terusik oleh suara jepretan dan tawa. Saat dia menoleh, tak hanya Qiqa dan Ganggi, Kamga pun menganga. Masalahnya, persaman fashion item dan pose beberapa menit lalu, tidak ada apa-apanya dibanding wajah. Anak itu seperti doppelganger Ganggi dalam versi lebih mini.

"Hei! Siapa namamu? Kamu mirip aku, loh, waktu kecil. Benar-benar mirip!" umum Ganggi, bersemangat.

Lirikan anak itu waspada dan menilai. "Nggak ada yang mirip," sangkalnya. "Aku bahkan belum menstruasi pertama. Payudaraku belum tumbuh. Sedangkan kamu, gadis dewasa dengan size payudara besar. Maaf, apa itu implant atau semacamnya?"

Kamga tersedak ludah sendiri.

"Astaga!" jerit Ganggi, kombinasi tawa sebal dan gemas. "Siap orangtuamu? Kenapa mereka biarin kamu meresapi banyak info tentang breast implant?"

"Internet bikin aku tau banyak hal. Termasuk,"—Dia membentuk tanda kutip di udara— "spare parts manusia," pungkasnya. "Omong-omong, kamu tadi ambil gambarku, ya?" tanyanya menunjuk Qika.

"Aku? Iya," sahut Qika, polos.

"Kamu tau itu ilegal, kan? Memotret orang tanpa izin?"

Wajah Qiqa masam dan memerah. Dia baru saja diperingati anak kecil. "Maaf, ya. Habisnya lucu, kamu mirip sama pose ini," pamernya sembari menontonkan layar ponsel.

Anak itu berkernyit serius. "Aku sudah biasa ngeliat replika wajahku di orang lain. Jadi aku gak bisa nilai ini mirip apa enggak." Matanya mengitari sekeliling. Mencari- cari sesuatu. Lalu fokusnya kembali berlabuh pada tiga orang dewasa di depan. "Omong-omong, aku hampir nggak pernah bicara dengan orang asing. Tapi, kata kembaranku, kalau ada orang asing yang sedikit bisa dipercaya, ya... orang asing yang ada di toko buku. Tahu, kan, manusia jahat malas ke toko buku?"

"Benar. Lagian, kami bukan orang jahat, kok." Ganggi mengulurkan tangan. "Aku Ganggi. Ini temanku, yang itu adikku. Kamu?"

"Apa-apaan?" gumam Kamga. Melawan keinginan menjitak kepala sang kakak yang berakting layaknya anak TK ketemu teman.

"Malaya." Dia menyambut uluran tangan itu. "Kamu boleh panggil apa saja. Asal jangan tiga huruf awal: MAL. Itu ngingetin aku sama Metode Amenore Laktasi yang habis aku baca dari buku ini." Jari-jarinya menunjuk buku dengan gambar cover seorang ibu menyusui.

Paduan suara tawa Ganggi dan Qika merespons.

"Malaya mau jadi dokter, ya?" simpul Ganggi, basa-basi.

"Kalau aku baca komik pembunuhan, bukan berarti aku mau jadi pembunuh, kan?" balas anak itu, sambil mengambalikan buku ke rak. "Aku baru lima SD. Kecepatan kalau mau ngomongin cita-cita. Butuh lima tahun lagi untuk bisa jawab pertanyaan Tante."

"Iya juga." Ganggi nyengir bodoh. Disusul Qika.

Diam-diam, Kamga mengulum senyum. Sadar bahwa di zaman segila ini, pola pikir anak-anak melesat tinggi lampaui umur mereka. Sebaiknya—saat bicara dengan anak SD—orang dewasa harus terbiasa posisikan mereka layaknya teman sebaya.

"Lagi-lagi bicara dengan orang asing." Seorang anak laki-laki menginterupsi. Dia mirip Malaya, dengan fashion item sejenis. Hanya saja, dia tidak memakai turtlenick melainkan basic tees senada. Minus kaca mata. "Kamu itu manusia, bukan Quokka."

Malaya menoleh. "Oh, ini kembaran yang aku maksud tadi," ujarnya, mengenalkan.

Ketika sadar dihadiahi tatapan penasaran tiga orang dewasa di depan, Malaya menjelaskan, "Jadi, Quokka yang dimaksud kembaranku itu hewan yang mirip kanguru tapi posturnya semini tikus. Dia ramah. Saking ramahnya, dia mau dideketin siapa pun. Jadi dia nggak kenal namanya predator. Makanya dia paling gampang diburu dan terancam punah, karena menganggap semua orang itu teman."

Anak kecil ini baru saja menggambarkan kesenjangan intelektual cukup dengan penjelasan sederhana. Kamga merasa kerdil, slash dungu. Dia menyesal, hanya mengandalkan buku IPA untuk mempelajari tentang makhluk hidup bernama perempuan. Diliriknya Ganggi dan Qika, ekspresi mereka lebih parah. Mungkin, selepas obrolan ini, keduanya langsung berburu animal encyclopedia.

"Well, Well," timpal Qika. "Aku tau manusia memang seharusnya waspada. Tapi, kita juga makhluk sosial. Kita harus membuka diri. Jangan sampai kita kayak Isaac Newton yang mati karena kesepian karena nggak punya satu teman pun." Kamga tahu membawa fisikawan adalah usaha Qika untuk terlihat pintar.

"Tapi," sela si anak laki-laki. "Newton, kan, mengidap Agoraphobia, Tante. Dia nggak bergaul karena punya gangguan mental. Sementara manusia normal kayak kita perlu hati-hati. Karena banyak manusia predator."

Kamga selesai dengan semua ini. Dia harus mencari tempat yang aman untuk tertawa. Tidak mengenakan dikuliti anak kecil. Dia menyambar sebuah buku random, lalu menuju kasir. Di belakang, bisa Kamga dengar anak laki-laki itu berujar, "Bravo, alva, hotel, alfa, yankee, alfa." Tawa Kamga terurai. Menyadari bahwa anak itu sedang berbicara dengan kode fonetik yang mengisyaratkan bahaya. Mereka pasti sering menonton film thriller atau komik berbau psikopat.

Di pintu keluar, Kamga berpapasan dengan satu lagi anak laki-laki yang mirip. Tawanya makin kencang. Ternyata mereka kembar tiga! Anak itu ikut tertawa dan melambaikan tangan pada Kamga seolah-olah mereka sudah kenal lama.

"Hai, Bro," sapanya sok kenal. "Jerseymu bagus."

"Thanks," balas Kamga. "Kuplukmu juga bagus."

Kamga putuskan menuju bioskop lebih dulu. Dia akan menunggu Ganggi dan Qika sambil membaca buku-entah-apa di dalam kantung ini. Saat Kamga berada di atas eskalator untuk turun, tak sengaja matanya menangkap sosok itu. Di eskalator seberang menuju lantai ini. Kamga kenal posturnya; langsing, kulit sawo matang, dan rambut cornrow panjang miliknya. Itu adalah gaya rambut minoritas bahkan satu-satunya di gedung ini. Tidak ada lagi perempuan yang menata rambutnya kepang dempet seperti ini. Hanya Alba!

Tiba-tiba, Kamga merasa seperti belum makan berhari-hari. Dia lemas menyadari satu hal bahwa kostum Alba, dari kepala hingga kaki, adalah kostum yang sama persis dengan milik anak-anak tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro