Chapter Twelve✨
Hari ini Ares datang lebih awal ke sekolah. Moodnya yang masih tidak baik membuatnya enggan untuk berpapasan dengan lebih banyak orang di gerbang masuk nanti.
Ares menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Rasa kantuk masih menguasai dirinya, bahkan untuk duduk tegak seperti biasapun ia tak mampu. Kantuk yang datang itu benar-benar membuat segala saraf tubuhnya menjadi lemah. Apalagi hari ini akan diadakan upacara tersebut.
Lama Ares tertidur, gadis itu semakin terlelap. Suara gaduh yang diciptakan oleh kedatangan satu persatu teman sekelasnya tak membuatnya terusik sedikitpun. Hingga suara sang guru kesiswaan, Bu Lilya, menggema di seantero sekolah, barulah Ares tersadar dan terbangun dari tidurnya.
"Perhatian! Kepada seluruh siswa-siswi SMA Semenanjung untuk segera berkumpul di lapangan karena sebentar lagi upacara bendera akan di mulai. Terima kasih."
Ares merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu mulai mencari keberadaan kedua sahabatnya, Rea dan Zilva. Kedua sahabatnya itu biasanya akan berada di dalam kelas sebelum upacara dimulai. Namun, sekarang mereka tidak ada didalam kelas. Jangankan mereka, tas mereka saja tidak ada.
'Apa mungkin mereka belum datang?' batin Ares. Ares mengedikkan bahunya, mungkin Rea dan Zilva datang sedikit terlambat, sehingga tidak sempat masuk ke kelas terlebih dahulu.
Ares segera berjalan bersama rombongan teman sekelasnya untuk turun ke lapangan.
"Itu dia Rea dan Zilva," ucap Ares kala mendapati kedua sahabatnya sudah berdiri di lapangan. "Syukur deh mereka gak telat."
Ares melangkahkan kakinya mendekat ke arah Rea dan Zilva. "Hai, Rea, Zil."
Zilva uang mendengar sapaan Ares tersenyum kikuk. "Hai juga, Res."
Sedangkan Rea, gadis itu tidak membalas sapaan Ares ia hanya menatap Ares sekilas, lalu berbalik badan dan berjalan pergi meninggalkan Ares dan Zilva. Ares yang melihat perubahan aneh pada Rea hendak bertanya kepada Zilva. Namun, belum sempat pertanyaannya terlontar, suara Bu Lilya kembali terdengar.
"Bagi yang sudah di lapangan, silakan berbaris dengan rapi di barisan kelasnya. Upacara akan berlangsung 2 menit lagi. Terima kasih."
Ares segera berbaris dengan rapi di barisan kelasnya. Suasana lapangan yang tadinya riuh oleh suara bisikan siswa-siswi SMA Semenanjung, kini tenang tanpa ada sedikitpun suara lagi.
2 menit berlalu, upacara bendera pun dimulai. Para petugas sudah bersiap di tempatnya. Selama kurang lebih 1 jam ke depan, siswa-siswi SMA Semenanjung harus rela terbakar panas dari sang mentari.
•••
Upacara bendera telah selesai. Semua siswa dan siswi SMA Semenanjung langsung terduduk di lapangan karena rasa lelah yang datang menghampiri. Tidak peduli dengan keadaan lapangan tersebut yang bisa membuat seragam mereka menjadi kotor.
Berbagai jenis omelan dari siswa-siswi SMA Semenanjung memenuhi lapangan. Dimulai dari masalah matahari yang begitu terik, hingga amanah dari kepala sekolah yang panjangnya melebihi sungai Nil, sungai terpanjang di dunia.
"Gila, mataharinya hari ini terik banget."
"Iya tuh, kulit gue bisa terbakar nih."
"Panas sih gak masalah, yang jadi masalah tuh ceramahan dari kepsek, panjang benar dah."
"Panas raga, panas juga telinga gue jadinya. Lama-lama tubuh gue kebakaran."
Dan masih banyak lagi omelan lainnya yang keluar dari mulut siswa dan siswi SMA Semenanjung.
Setelah upacara selesai, diberikan waktu 10 menit untuk beristirahat. Sebagian dari siswa-siswi SMA Semenanjung beranjak pergi dari lapangan, hendak mendinginkan diri di dalam kelas.
"Re," panggil Ares kepada Rea yang berjalan di depannya. Sementara Zilva, berjalan di belakang Ares. Gadis itu tidak mampu menyambangi langkah cepat Ares yang berjalan setengah berlari mengejar Rea.
"Re, tunggu dong."
"Rea, ish tungguin elah."
Berkali-kali Ares memanggil nama Rea, namun sahabatnya itu tidak pernah menoleh. Berhenti dari langkah cepatnya pun, Rea tidak.
Sesampainya di kelas, Rea segera mengambil tasnya lalu berjalan menuju bangku paling pojok.
"Kinan, kamu pindah ke tempat aku ya. Aku mau duduk di sini," ucap Rea yang langsung diangguki oleh Kinan. Gadis berkacamata tebal khas anak kutu buku itu langsung memberesi buku serta peralatan sekolahnya, lalu berpindah tempat menuju bangku milik Rea yang berada di belakang bangku Ares.
"Loh, kenapa kamu pindah?" tanya Ares kepada Rea. Rea menatapnya sekilas, lalu kembali fokus dengan ponsel yang berada di tangannya.
"Re, kok kamu diamin aku, sih? Aku ada salah emangnya?" tanya Ares lagi.
"Berisik banget, sih!" ketus Rea, lalu mengambil sebuah headset dari dalam tasnya dan menyumpalkan ujung headset itu ke telinganya.
"Re, ka--" Ucapan Ares terhenti ketika Bu Hilda—guru biologi masuk ke dalam kelas. Mau tak mau, Ares meninggalkan bangku Rea, kemudian duduk di bangkunya.
"Siap, beri hormat."
"Selamat pagi, Bu."
"Selamat pagi juga. Silakan duduk," ucap Bu Hilda. Bu Hilda membuka buku absennya, lalu mulai mengabsen satu persatu murid yang berada di kelasnya saat ini.
"Maharea Luna Absari."
"Saya, Bu." Rea mengacungkan tangannya, kemudian menurunkannya kembali.
"Loh, Rea, kamu kenapa pindah?" tanya Bu Hilda.
"Saya malas berdekatan dengan orang sok cantik, Bu," ucap Rea dengan ketus. Bu Hilda hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan ketus dari Rea.
Sedangkan Ares, entah mengapa gadis itu merasa bahwa ucapan Rea tadi ditujukan olehnya. Namun, jika memang benar ucapan Rea ditujukan olehnya, lalu apa maksudnya?
•••
"Re, udah seharian kamu diamin aku. Jujur deh, kamu kenapa? Apa aku ada salah?" tanya Ares. Tak henti-hentinya Ares bertanya kepada Rea. Sedangkan Rea, gadis itu sedari tadi tak kunjung bicara. Mulutnya seolah tengah dilakban, sehingga tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
"Re, jawab dong," ucap Ares memelas.
"Berisik banget, sih," ucap Rea ketus, kemudian beralih pergi dari bangkunya.
"Re, kenapa suka banget menghindar sih?" tanya Ares setengah berteriak.
"Udah, Res. Biarin aja dulu Rea sendiri, mungkin moodnya lagi gak baik," ucap Zilva.
"Kamu gak tahu dia kenapa?" tanya Ares kepada Zilva. Zilva menggeleng. "Aku enggak tahu."
Ares merasa kecewa dengan jawaban Zilva. Ia pikir sahabatnya satu itu tahu perihal Rea. Namun, nyatanya tidak.
"Kamu gak usah terlalu pikirin Rea dulu. Nanti biar aku bicara sama dia, mungkin dia mau cerita," ucap Zilva tersenyum.
"Iya, Zil. Makasih banyak ya."
Zilva mengangguk, kemudian berucap, "sama-sama, Res."
"Ke kantin, yuk?" ajak Zilva kemudian.
"Ehm, boleh deh. Tapi, sebelumnya temani aku ke toilet bentar," ucap Ares.
"Oke."
Ares dan Zilva berjalan beriringan ke toilet. Melewati koridor-koridor kelas, banyak tatapan aneh dari teman-teman seangkatannya terhadap Ares dan Zilva. Mereka aneh, ketika melihat Ares yang biasanya selalu jalan bertiga bersama Rea dan Zilva, sekarang hanya berdua, tanpa adanya Rea.
"Gak usah terlalu dipikirin omongan mereka," ucap Zilva.
"Iya, Zil."
Setelah dari toilet, mereka berdua menuju ke arah kantin. Seperti di koridor tadi, di kantin pun banyak tatapan aneh dari teman seangkatannya, bahkan dari adik kelasnya.
Ares berusaha memalingkan matanya dari tatapan aneh orang di kantin, dan sesaat kemudian matanya beralih kepada Rea yang tengah duduk berdua dengan salah satu teman sekelasnya.
'Tadi kamu gak mau ngomong sama aku, sekarang kamu malah asik-asikan ngomong sama teman yang lain. Apa salah aku sih, Re?' batin Ares sedih. Zilva yang melihat gurat kesedihan di wajah Ares, hanya bisa menundukkan kepalanya.
'Maafin aku.'
⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰
Perlahan tapi pasti, semua orang terdekatmu akan meninggalkanmu. Seberapa kuatkah kamu menghadapi semua hal ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro