Chapter Nineteen✨
Hari ini hari Minggu. Rencananya, Ares dan Anan ingin menjenguk Raden ke rumah sakit. Ralat, hanya Ares yang berniat menjenguk, sedangkan Anan hanya ingin menjaga Ares. Ares pikir, Anan sangatlah berlebihan. Gadis itu bisa menjaga dirinya sendiri tanpa Anan. Akan tetapi, lelaki itu tetap memaksa untuk ikut bersamanya.
Ngomong-ngomong, sejak hari dimana Ares menjenguk Raden di rumah sakit. Ares sudah tidak lagi sempat menjenguk lelaki itu untuk kedua kalinya. Tugas yang sangat menumpuk membuat gadis itu baru bisa menyempatkan diri hari ini. Kabarnya, kondisi Raden sudah lebih baik dari sebelumnya.
Tin.. Tin..
Suara klakson motor milik Anan, membuat Ares langsung keluar dari dalam rumah. Ares sudah berpamitan dengan mamanya, namun ia sedikit berbohong kepada mamanya itu. Ia mengatakan bahwa ia akan menjenguk gurunya yang sedang sakit, Ares malas berurusan dengan mamanya jika dia mengatakan yang sejujurnya. Mamanya pasti akan langsung menyerbunya dengan seribu pertanyaan jika mengetahui bahwa Ares akan menjenguk teman laki-lakinya.
“Mama kamu izinin kamu berangkat ke rumah sakit bareng aku?” tanya Anan.
“Ya, mama kan gak tau kalau aku berangkat sama kamu. Dia sibuk menata barang-barang yang baru dibeli.”
“Mama kamu beli barang-barang unik lagi?”
“Ralat, bukan unik,” ucap Ares membetulkan perkataan Anan.
“Oh, iya, bukan barang unik. Aku ganti pertanyaan aku, mama kamu beli barang-barang estetik itu lagi?”
Ares tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, kok kamu tahu?”
“Ya, tahu lah. Kan kamu sendiri pernah cerita,” ucap Anan.
‘Apa sih yang aku gak tahu tentang kamu dan kehidupan kamu?’ ucap Anan di dalam hatinya.
“Hehe, oh iya juga ya, kan aku yang cerita. Makanya kamu bisa tahu soal hobi mama yang suka ngoleksi barang-barang unik itu,” ucap Ares.
“Ralat, bukan barang unik.” Kini, giliran Anan yang membetulkan perkataan Ares. Mereka berdua tertawa kecil.
“Oh iya, salah hehe,” ucap Ares terkekeh.
“Aku penasaran, ini kita ketawa karena memang lucu, atau karena selera humor kita aja yang rendah?”
“Karena selera humor kita rendah, Nan.”
Sekali lagi, mereka berdua tertawa akan percakapan tidak bermutu mereka itu. Bahagia memang sesederhana itu.
“Ya, udah. Jangan ketawa melulu. Ini helmnya dipakai, nanti kita kesiangan jenguk Raden,” ucap Anan lalu memberikan helm kepada Ares.
“Memangnya kenapa kalau kita kesiangan? Ada absen emangnya? Jadi, kalau kesiangan dihitung telat gitu?” ucap Ares terkekeh.
“Ya, enggak ada absen sih. Cuma ya, kalau lebih awal ya lebih bagus. Takutnya juga nanti waktu besuk pasien udah habis.”
“Oh, iya aku lupa. Ya udah, buruan kita berangkat,” panik Ares.
Ares lalu memakai helmnya, lalu naik ke atas motor Anan. Setelah Ares memberi kode bahwa ia sudah siap, Anan segera melajukan motornya menuju rumah sakit tempat Raden dirawat.
Di perjalanan, Ares sedikit bersenandung. Anan yang dapat melihat wajah ceria Ares di kaca spionnya bernapas lega.
‘Akhirnya, beban kamu berkurang sedikit, Res. Tetap seperti ini ya, tetap jadi Ares yang ceria.’
•••
“Hai, tante,” sapa Ares kepada Tyas yang berada di depan ruang rawat Raden. Tampaknya Tyas baru saja berbincang dengan seorang dokter, sehingga wanita paruh baya itu berada di luar ruangan.
“Hai, Ares. Kamu mau jengukin Raden lagi?” Tyas dengan antusiasnya segera memeluk Ares. “Tante kira kamu udah gak mau jengukin Raden, soalnya beberapa hari ini kamu gak datang-datang.”
“Maaf ya, Tan. Ares baru sempat jengukin Raden lagi. Soalnya tugas di sekolah numpuk banget,” ucap Ares.
Anan yang berada di dekat keduanya, dapat merasakan betapa Tyas sangat menyayangi ares, dan menerima gadis itu di dalam keluarganya.
‘Mamanya Raden tampak seperti wanita yang cerdas, tapi kenapa anaknya gak secerdas mamanya ya dalam menilai mana yang benar dan salah?’ batin Anan.
“Iya, gak apa-apa sayang. Dengan kamu datang hari ini aja, tante udah senang banget,” ucap Tyas lalu melepas pelukannya pada Ares.
“Iya, Tan. Ares juga senang bisa ketemu sama tante,” ucap Ares tersenyum.
“Oh, iya. Kamu mau jenguk Raden, kan? Ayo masuk. Kebetulan Raden masih belum istirahat, jadi kamu bisa ngomong sama dia.”
“Iya, Tan.”
Tyas lalu membuka pintu kamar Raden, lalu mempersilakan Ares dan Anan masuk ke dalamnya.
“Tante tunggu diluar ya, Res,” ucap Tyas.
Ares mengangguk lalu tersenyum. “Iya, Tan.”
Setelah Tyas keluar dari ruangan, Ares berjalan mendekati ranjang Raden.
“Ares? Kamu ngapain jenguk aku?” tanya Raden. Kali ini tidak ada nada ketus yang terselip di pertanyaan Raden, melainkan nada lembut yang dulu Raden berikan saat Ares masih menjadi pacarnya.
“Aku gak boleh jenguk kamu, ya?” tanya Ares lalu tersenyum.
“Iya, boleh sih,” ucap Raden yang berucap canggung.
“Gimana keadaan kamu?” tanya Ares yang kini duduk di kursi dekat ranjang Raden. Sementara, Anan memilih duduk di kursi sofa yang berada di pojok ruangan. Mungkin mereka butuh ruang, pikir Anan.
“Udah membaik, kok.”
“Syukur, deh. Oh iya, kenapa kamu gak pernah cerita sama aku kalau kamu mengidap penyakit seserius ini?”
Pertanyaan Ares membuat Raden bungkam.
“Pertanyaan aku ada yang salah ya? Kalau begitu, aku ganti pertanyaan deh,” ucap Ares yang melihat perubahan pada raut wajah Raden.
“Selain aku, siapa yang udah jengukin kamu?” tanya Ares mengganti pertanyaannya.
“Belum ada.”
“Maksud kamu, belum ada?”
“Ya, belum ada yang jengukin aku.”
“Memangnya Rea belum jengukin kamu?”
“Belum.”
‘Jangankan untuk menjenguk, nanyain kabar aku aja enggak,’ batin Raden.
“Teman-teman kamu yang lain gak jengukin?”
“Mereka gak tahu aku masuk rumah sakit. Yang mereka tahu, aku cuma izin karena ada acara keluarga.”
“Kenapa kamu gak kasi tahu mereka?”
“Buat apa kasi tahu mereka? Bahkan yang tahu aku masuk rumah sakit aja pada gak jengukin.”
Jika boleh jujur, Raden sangat kecewa karena baik Rea dan Zilva tidak ada yang menjenguknya. Padahal kedua gadis itu mengetahui perihal dirinya yang masuk rumah sakit.
“Maaf, kalau pertanyaan aku buat kamu kecewa ya,” ucap Ares merasa tidak enak hati.
“Gak apa-apa. Santai aja,” ucap Raden tersenyum.
“Oh iya, nih aku bawain kamu buah-buahan, nanti dimakan ya. Semoga kamu cepat sembuh, Den.” Ares lalu meletakkan parsel buah yang dibelinya tadi bersama Anan di tengah perjalanan menuju rumah sakit.
“Makasih banyak ya, Res.”
“Sama-sama.”
•••
Sepulang dari menjenguk Raden, Anan tidak langsung mengantar Ares pulang ke rumah. Lelaki itu berniat untuk mengajak Ares jalan-jalan sebentar.
“Loh, Nan, ini kan bukan jalan pulang ke rumah aku,” ucap Ares.
“Iya, tahu kok."
“Lalu, ini kita mau kemana?” tanya Ares.
“Aku mau ajak kamu jalan-jalan dulu,” ucap Anan memberitahukan niatnya. Ares yang mendengar ucapan Anan hanya beroh ria.
Gadis itu sudah lama tidak jalan-jalan seperti ini, jadi tidak salah kan jika hari ini ia ingin menyegarkan pikirannya dengan cara jalan seperti ini?
20 menit mengelilingi kota, Anan pun memberhentikan motornya di salah satu tempat makan.
“Mau ngapain ke sini?” tanya Ares.
“Mau bantu cuciin piring, Res. Ya, mau makan lah,” ucap Anan terkekeh. Gadis di sampingnya ini memang cerdas, namun sepertinya kecerdasan gadis itu sudah melampaui batas.
“Ohh …,” ucap Ares sambil membulatkan mulutnya.
“Ayo, masuk,” ucap Anan lalu memegang tangan Ares, membuat sang empunya terdiam.
Ares berjalan mengikuti langkah Anan sambil melihat tangan Anan yang masih memegang tangannya.
‘Dengan kamu pegang tangan aku kayak gini, aku berasa seperti kembali ke masa lalu. Masa dimana kamu dan aku masih berstatus sebagai sepasang kekasih.’
⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰
Bolehkah aku kembali ke masa lalu? Masa dimana bahagia seutuhnya masih menjadi milik kita.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro