
[7] KITA SATU TIM (?)
[FOLLOW IG SAYA SYFAADS]
[CHAPTER SUDAH DIEDIT RAPIH]
-
Metafora telah berkata.
Kau tak bisa ambil dirinya.
Kita tak pernah sama, berbeda.
Coba saja rebut, kalau bisa.
-
Low-key🎶
[ESREGNET]
"Besok kamu kumpul bersama perwakilan Jakarta lainnya." Ucapan Pak Retno membuat Cello berhenti mengaduk minuman jus mangga. Mereka saat ini sedang makan malam, tepatnya karena Cello lapar lagi dan Pak Retno ingin mengajaknya bicara.
"Loh? Saya sama Cella nggak berdua doang?"
Pak Retno menggeleng. "Satu perwakilan Biologi, dua fisika, satu kimia, satu matematika."
Cello batuk beberapa saat. Kemudian cowok itu kembali menetralkan pikirannya, raut wajahnya mulai serius. "Cella sudah tau?"
"Belum. Bapak nggak bisa ke tempat perempuan, sudah malam." Pak Retno tampak menghela napas kasar. Tangannya bergerak mengambil hape-nya, ada dering telpon disana. "Bapak juga baru tau kabarnya."
Cello menganggukkan kepala, ia sudahi makan malam-nya itu lalu beranjak berdiri, "Saya mau keluar dulu pak,"
Cello mendengus, rasanya ia malas jika setiap perwakilan akan menjadi tim dalam satu wilayah. Ah, Cello malas berpikir panjang. Lebih baik jika dirinya berjalan-jalan ke sekitar taman hotel. Mungkin ia bisa merenggangkan otot badan dan menghirup udara segar. Baru hari pertama, rasanya ia sudah penat.
Cello menghentikan langkahnya saat baru menginjak rumput taman. Disana ada Seorang perempuan dan cowok yang tampak mengobrol memunggunginya. Suara mereka tidak asing. Cello menyipitkan matanya.
"Cella?"
Benar itu Cella, dan satunya lagi..., Hanz? Kenapa dia bisa ada disini? Cello menatapnya tidak percaya. Berbeda dengan Cella yang terkejut saat membalikkan badannya, Hanz terkekeh. "Eh, ketemu lagi."
"Cella, ini wilayah cowok. Lo ngapain disini?" Tatapan Cello berganti ke Hanz, cowok itu tampak menjulurkan tangannya mengajak berjabat tangan. Cello menepis kasar, "Lo siapa? Nggak usah sok kenal."
Hanz tersenyum simpul, lalu menarik uluran lengannya lagi. "Ah, begitu ya."
Cello merangkul pundak Cella, lalu berbisik pelan, "Balik gih," Cella hanya membalasnya dengan elakkan karena risih.
"Dia cewek lo?" Pertanyaan Hanz sontak membuat Cella dan Cello saling tatap. Hanz menaikkan alis matanya sebelah, Cello malah mempererat rangkulan tangannya di bahu Cella.
"Kalau iya, kenapa?"
"Pala lo peang, lepasin!" Cella mendorong Cello agar menjauhi badannya. Hanz tampak tersenyum miring. "Gue bukan ceweknya!"
Cello mendengus, lalu melepaskan rangkulannya. "Balik ke kamar lo Cella."
Cella menyipitkan matanya, Cello membalasnya dengan raut wajah serius. Cella baru menyadari ada hawa panas diantara dua cowok itu. Ingin rasanya menolak, tapi ia juga sudah takut dengan tatapan Cello. Dengan terpaksa, Cella mengangguk dan melenggang pergi.
"Kenapa? 'Kan lo tau gue pinter, kita satu tim ilmiah di Jerman." Hanz tampak bernada meremehkan, "lomba begini gue juga bisa."
Cello hanya diam, enggan merespon.
"Kenapa? Lo mau nanyain kabar Alantha?" Hanz tampak tertawa kecil. Cello memutar bola matanya jengah. "Gue tahu lo nggak punya perasaan sama dia. Nggak perlu jadi pahlawan."
Cello masih diam, hal itu membuat Hanz mengerutkan dahinya. Andai mereka tidak ditempat lomba, Cello pasti sudah menonjok anjing itu. Well, Panggilan yang cocok untuk Hanz memang anjing. Mereka mirip, sebelas dua belas lah.
"Ah, gue tahu." Hanz tampak menganggukkan kepalanya. "Lo pasti penasaran kan, kenapa gue bisa berdua sama Cella disini?"
Cello menarik kerah baju Hanz, cowok itu tampak mengangkat kedua tangannya, "Selow, gue nggak mau ngajak ribut sekarang."
"Kalau Alantha hamil gimana?" Cello sudah hapal dengan tabiat cowok itu. Sudah sekitar sepuluh perempuan lebih yang dijadikan teman malam Hanz. Jangan kira Cello nggak tahu, mereka teman lama dan sama nakalnya di Jerman. Hanya saja Cello tidak tertarik bermain wanita, tidak ada yang memikat menurutnya.
"Tenang, gue pake pengaman." Hanz melepas lengan Cello dari kerah bajunya dengan kasar. "Apa lagi yang lo mau tahu dari gue?"
Cello terdiam lama, lalu menatap Hans sinis. "Gue tahu isi pikiran lo. Jangan coba-coba."
"Kenapa? Lo takut?" Hanz tampak tertawa, baru kali ini ia melihat Cello dengan raut wajah khawatirnya. "Gue baru tahu lo bisa naksir cewek pake hati."
"Cella bukan mainan."
"Sayang banget, gue udah tertarik." Hanz tersenyum menyeringai. Cello mendecih, sesekali menggeram kesal. "Ayo deh, kita taruhan lagi."
"Lo mau apa?"
Hanz menepuk bahu Cello singkat. "Lo kan tahu gue mau apa, lo juga nggak bisa ngelarang gue. Ayo, biar seru."
"Terserah." Cello menyapu bahu nya dengan tatapan jijik, Hanz menatapnya tidak sabar. "Tapi kali ini pake hati. Dia yang milih."
"Oke."
[ESREGNET]
"Kamu dari SMAN Mardha ya? dulu itu favorit aku karena nempatin peringkat pertama se-DKI Jakarta. Tapi sayang, aku nggak keterima." Ucap gadis itu panjang lebar, sesekali ia memanyunkan bibirnya. "Ngomong-ngomong aku Sena, perwakilan kimia dari SMAN 4 ranting."
Cella membalasnya dengan perkenalan diri. Disebelahnya ada seorang cowok yang menatapnya sangat ramah, "Gue Rasen, Perwakilan matematika dari SMAN 2 Tanjung."
Cella menganggukkan kepalanya, namun ia agak risih dengan Hanz yang menatapnya disudut meja bundar tanpa henti. Cella menaikkan alis matanya sebelah, Hanz malah membuang mukanya ke arah lain.
"Gue Hanz, perwakilan Fisika dari SMAN Alexis."
Cella tak habis pikir, sekolah yang mereka sebutkan masuk peringkat lima besar di Jakarta. Pantas saja, mereka terlihat semangat sekali mengikuti perlombaan. Cella mengedarkan pandangannya. Ia tidak menemukan wujud Cello disini.
Cella mengkode Pak Retno, namun ia malah dibalas geraman kesal dan raut wajah marahnya. Hadeh, Cella tahu kalau cowok itu berulah lagi. Gadis itu bangkit berdiri dan meminta izin keluar sebentar ke pengawas.
Dilain tempat, suara Farell dari laptop mengisi langit kamar Cello. Cowok itu tertawa keras. Diikuti dengan ocehan teman lainnya. Cello terlalu asik video call-an dengan mereka.
"Wanjir, tumben lo pake sarung Vid,"
Farell tertawa keras. David membalasnya dengan decakan.
"Jumat berkah, jumatan lah gue."
Cello tertawa keras. "Bilang aja khilaf abis diputusin pacar."
Arya menoleh, "Daripada hidup lo nggak berguna. Lahir di Jerman, gede di Jakarta, balik lagi ke Jerman, sekolah lagi di Jakarta, mending lo mati aja di Bali."
"Wah, mantab Arya, setuju gue!" Suara Devano membuat yang lain bersorak setuju. Cello hanya mendecih.
"Nanti gue nggak kasih oleh-oleh." Suara Cello membuat semuanya terdiam, lalu diikuti senyuman masing-masing.
"Bawa bule aja dari Bali, lumayan,"
"Mau jadi mucikari lo? Kuy lah, ajakin Devano tuh,"
"Bule-nya yang bohay dong, enak tuh,"
"Anjir si Farell. Kurang cukup lo punya Rachel? Udah tidur bareng mulu lagi, kalah kita."
"Beda. Gue sama Rachel mah bisa tahan."
"Wah, ajarin gue dong bang," Suara Arya sontak membuat gelak tawa. Cello hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Cella manaa? Kangen nih gue,"
BRAKK
"Siapa panggil-panggil gue?"
"Lu sih pake acara nyebut nama dia, bawa sial tau nggak." Bisik Cello tak karuan, ia sudah mendelik ketakutan saat Cella menatapnya dalam diam. "Mati gue."
"Aku di pihakmu Cello," Sahut Devano asal-asalan. Setelah itu, ia malah berbisik pelan. "Pesan untukmu; jangan kangeni aku, tau kok kamu cinta mati sama aku."
"Bacot."
Cella berjalan pelan mendekati Cello, kamera laptop juga menghadap gadis itu membuat mereka semua terdiam. Biarpun dalam video call, tapi mereka sudah tau apa yang akan terjadi oleh Cello.
"Mau ikut gue atau nikmatin bercanda sama teman-teman lo?" Ujar Cella dengan penekanan di setiap katanya, gadis itu tersenyum manis sekali. Cello pun meneguk salivanya.
"Ada pilihan lain?"
Bego kan. Kambuh.
PLAKK
[ESREGNET]
"Kamu sama Cella kembar?"
Cello yang sedari tadi mengusap pipi kanannya, dan tidak mengubris buku tebal di tangan kirinya, menoleh ke asal suara. Disana Sena menatapnya datar.
Mereka kini sedang berkumpul bersama di ruang khusus sambil mengerjakan banyak lembaran kertas. Rasen sudah kembali ke kamarnya. Cella pun telah menyelesaikan tugasnya dan diikuti Hanz, kini keduanya sedang berlarian dipinggir pantai membuat fokus Cello hanya ke mereka, bukan ke bukunya.
"Nggak," Cello menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Banyak sekali yang mengira mereka kembar hanya dengan nama panggilan. "Gue Avicello Korth laimer, dia Raden Marcella. Beda."
"Oh," Sena melirik keluar kaca jendela, ikut menyaksikan dua orang yang asik bermain air di pantai. "Namanya mirip."
"Lo bisa ngomong pake lo-gue nggak?" Cello mengubah topik dengan cepat, namun Sena malah tertawa kecil.
"Aku nggak terbiasa dengan cara panggilan seperti itu."
Cello hanya ber-oh ria. Gadis itu memang tidak bisa diajak mengobrol santai seperti kebiasaannya. Harus hati-hati, pasti lebih mudah tersinggung. Sena menyentuh telapak tangan kanan Cello sekilas, "Kamu siapanya Cella?"
Cello mengerutkan dahinya.
"Kalian keliatan deketnya beda aja gitu." Sena tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Kamu suka ya, sama Cella?"
Cello tertawa, "lo lucu."
Sontak pipi Sena merah merona. Hal itu membuat Cello jadi gelagapan sendiri, "Eh, maksud gue ucapan lo tadi bukan lo nya, eh nggak gitu juga, bukan maksud gue--"
"Aku paham kok," Sena tertawa lagi, "Hati-hati, beberapa orang bisa naruh ke hati. Aku duluan, mau ke lab kimia."
Sena melenggang pergi menyisakan Cello yang melongo sendiri kayak orang bego. Cello memang pinter, tapi untuk urusan perasaan, dia terbelakang. Cello hanya mengendikkan bahu singkat dan menyelesaikan tugasnya yang tinggal sentuhan akhir.
"Cello, ayuk kesini!" Teriak Cella keras membuat Cowok itu menoleh, tersenyum kecil, lalu mengangguk kecil. Berbeda dengan Hanz yang malah menatapnya sinis, tidak suka. "Temenin gue cari bintang laut!"
"Tadi udah gue ajak, lo nggak mau." Sahut Hanz tiba-tiba, Cella hanya menyengir kecil dan menyipratkan air.
"Gue mau nya bareng Cello. Lo balik lagi aja ke kamar." Cella tertawa saat Hanz tampak memanyunkan bibirnya. "Dadah Hanz! Makasi udah nemenin."
Hanz membuang wajahnya, kesal. Namun Cello yang sudah berada disebelah Cella langsung Menjulurkan lidahnya, "bye, anjing gue. Makan tuh kamar!"
Hanz melenggang pergi sambil misuh-misuh. Lantas, Cello membalikkan badan Cella agar menghadapnya, seraya memakaikan topinya diatas kepala gadis itu. Cello menghela napas, "lo pasti ada maunya manggil gue."
Cella menyengir kecil, "Gendong gue sampai bukit disana!"
"Gila lo."
[ESREGNET]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro