Penyesalan yang Haqiqi
Ada seorang gadis, dengan rambut yang menutupi punggungnya yang kecil, dengan jemari lentik menggoreskan angka-angka di permuakaan papan tulis tanpa ragu sedikit pun. Satu menit. Lalu, dia berbalik, memberi kapur yang digenggamnya, lalu duduk di kursi paling depan baris ke dua.
Selagi Bu Anik memeriksa jawaban, Thiya—nama gadis itu—duduk tenang di kursinya.
"Wahyu," panggil Bu Anik tiba-tiba, membuatku lantas yang tengah termenung segera memandang wanita di depan kelas. Aku mengangkat tangan.
"Bisa betulkan?"
Sekarang, semua anak memandangku, tak terkecuali Thiya. Namun, ini sudah berulang kali terjadi. Kegugupanku sudah hilang ditelan bumi. Aku mengangguk, berdiri, dan menghapus jawaban seorang Thiya, gadis paling mahsyur seantero sekolah karena kesempurnannya; cantik, cerdas, kaya dan baik luar biasa.
"Bagus. Ini benar."
Aku mengangguk dan duduk kembali dalam sunyi. Tidak ada tepuk tangan, hanya Thiya dengan senyuman kecilnya. Meski, aku yakin, jika Thiya benar memecahkan soal, ruangan ini akan membahana dengan tepuk tangan. Tapi, aku tidak iri, karena aku tahu, semua orang menyukainya, dan dia pantas mendapatkannya.
***
Seperti biasa, di jam istirahat siang, aku akan membawa kotak bekal berisi nasi yang sudah dingin, telur gulung, acar timun dan sebutir jeruk, juga sebotol air ke atap. Di sana aku akan makan sendirian, sambil bersandar pada tembok dekat pintu dan memandang langit. Namun, barusatu suap, tiba-tiba saja pintu terbuka, seseorang muncul dari sana. Gadis yang sama yang berdiri di depan kelas tadi pagi dan gagal menyelesaikan soal di papan tulis.
Aku mengamati, untuk sejenak Thiya berdiri di dekat pagar pembatas atap yang hanya setinggi pinggang orang dewasa, memanjatnya, berdiri di baliknya, berpegangan di sana, dengan wajah menghadap halaman sekolah, tepat empat lantai di bawah.
Aku berdiri dalam senyap sedangkan dadaku berdegup-degup dengan gila. Apa ia benar ingin melompat?
Ketika gadis itu ingin melepas pegangan tangan, aku secara otomatis berteriak, JANGAN!
Thiya terdiam, lalu berbalik sambil melotot ke arahku yang berdiri takut di dekat pintu.
"Kamu?"
Suara itu tidak sampai ke telingaku. Sangat kecil. Dan getaran yang keluar dari bibirnya terempas angin.
Aku meneguk ludah kasar. Lalu, dengan ragu-ragu menggeleng, tapi Thiya tidak bergeming. Masih kukuh di tempatnya. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, masih dengan sebuah kotak bekal di tangan. Aku tahu ini gila, namun yang aku lakukan selanjutnya adalah menyodorkan makananku padanya—pada orang yang sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri, mungki saja.
Thiya mendengus, memanjat pagar lagi dan dengan dingin berkata, "Apa kamu bicara?"
Aku menggeleng lagi. Dengan bahasa isyarat aku berkata—
"Kamu bisu."
Dengan pedih aku mengakui itu.
Dan tiba-tiba Thiya berlari ke arah pintu. Mengencek ke dekat tangga. Muncul kembali di ambangnya, lalu menatapku dengan curiga. "Kamu lihat seseorang?"
Untuk ke sekian kali di hari ini, aku menggeleng.
Dan sejenak kami bertatapan. Namun, di detik ke sekian, Thiya memutuskan pergi. Meskipun, sebelum di benar-benar menghilang, dengan gerakan tangan di depan sepasang bibirnya yang merah muda, Thiya bicara, "Diam." Tanpa suara.
***
Sejak hari itu, jangankan menyapaku di pagi hari, tersenyum pun tidak lagi. Dia sekadar menatapku dengan dingin dan penuh curiga, yang berani dia lakukan untuk beberapa sekon tanpa disadari siapa-siapa. Karena, Thiya adalah putri pura-pura. Aktris hebat yang mampu pengibuli seantero sekolah, bahwa dia adalah seorang gadis bahagia dengan segunung senyum yang ditebar pada siapa saja—ya, kecuali aku tentunya.
Lucunya, tiba-tiba saja di suatu hari aku menemukan sebuah surat di kolong meja bertuliskan : Aku tunggu di tempat kamu biasa makan siang. Dan satu-satunya manusia yang tahu tempat itu hanyalah Thiya.
Dan di sana, dia menungguku di dekat pagar pembatas, menatap langit, dan segera berbalik ketika mendengar pintu kututup.
Seperti biasa, aku mendekat tanpa suara. Namun sebelumnya, aku sudah menghirup sekantung besar udara hingga memenuhi seluruh ruang kosong di paru-paruku. Dan di saat yang sama jantungku justru menggedor-gedor paksa tulang dadaku. Sial! Kenapa aku deg-degan?
Tepat ketika kami berdiri berhadapan, dengan latar langit yang memerah, dan angin berembus menyibak rambut panjangnya, Thiya justru melipat kedua tangan di dada, mengangkat sedikit dagu, dan menatapku seolah aku ini tukang tipu.
"Coba bicara!" katanya serta merta.
Hah? Dia bilang apa?
"Apa?" Dia memelotot ke arahku. Tatapannya seolah menantangku. Padahal aku hanya menunjukkan ekspresi bingung. "Ngomong! Cepetan ngomong, sialan! Aku tahu kamu nggak bisu." Dan bahasanya yang sopan tiba-tiba saja menghilang.
Dengan tangan agak gemetar aku memegang tenggorokanku, membuka mulut, tapi yang keluar hanya karbondioksida yang bercampur uap air. Tak ada suara. Aku menggeleng putus asa.
Sekarang, dia memelotot lebih lebar. "Aku bilang ... NGOMONG!"
Dan tiba-tiba saja dia meginjak kakiku, sekeras-kerasnya, tanpa sadar aku mengangkat salah satu kaki, memegangnya, dan menjerit dengan selantang-lantangnya, AWW!
"Gotcha!" seru Thiya sambil menuding telunjuknya tepat ke wajahku yang masih mengerut karena sakit.
Ups! Apakah aku baru melakukannya? Aku merasa wajahku berubah ungu saking ngerinya.
"Kamu ngomong pake pikiran, kan? Kamu punya kemampuan telepati, kan? Iya, kan?"
Aku menelan ludah. Sial! Apa jawaban yang harus aku berikan sekarang?
END
.
.
.
.
.
.
.
.
Epilog
Rama, Syahid, dan Eky mengelilingiku. Melempar pandang kesal bercampur penasaran. Sedangkan aku harus berdiri tersudut di bawah tangga ujung koridor. Sialan!
"Bilang, gimana cara lu bikin Thiya suka? Gua nembak dia tiga kali ditolak tiga kali juga!" bentak Rama.
"Gua lima kali," sahut Syahid.
"Gua tujuh!" Eky bahkan tak mau kalah.
Dan dengan gemetar aku menulis di layar ponsel : Aku enggak pernah nembak dia. Sumpah! Kita enggak pacaran.Lalu menunjukkannya pada mereka.
"BOHONG!" teriak mereka kompak di depan wajahku.
Mama, aku ingin menangis. Telingaku berdenging.
"Enggak mungkin 'kan Thiya yang nembak lu duluan? Konyol!" seru Syahid.
"Lu kan bisu, jadi enggak mungkin dia suka lu duluan," tambah Eky.
"Dan lu juga enggak cakep kayak gua."
Semua orang kompak memandang Rama.
"Apaan? Gua emang cakep? Mau protes?"
Dan tiba-tiba senyap. Di saat itulah sebuah pesan Whats App masuk ke ponselku : Yu, enak engga di-bully penggemarku? Bantuin aku makanya pake kemampuanmu itu. Nanti aku bakal stop gosipnya, kok. Sans!
Bukannya ini kesempatanku membuktikan pada mereka bahwa ini cuma akal-akalan si putri pura-pura? Karenanya, dengan segera aku menunjukkan pesan dari nomor tidak dikenal—meskipun aku tahu pasti ini Thiya—pada mereka.
Untuk sejenak mereka membaca, terdiam, lalu tahu-tahu Rama menggeplak kepalaku.
"Lu mau pamer?" teriaknya sambil melotot ganas.
Hah? Dan saat aku mengeceknya, ternyata Thiya telah menghapus pesan sebelumnya, lalu menggantinya dengan pesan : I LUV U, Wahyuuu! Dari pacarmu, Thiya Rahmah. :'*
Ya Allah, aku nyesel. Nyesel! Harusnya aku biarin si setan perempuan ini mati waktu itu!
--Yang ini selesai beneran. Sumpah!—
-Fin-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro